Wednesday, December 30, 2020

Dilema PTM



Bismillahirrahmanirrahim

Dua pekan terakhir ini, banyak guru yang tidak menikmati liburan karena harus tetap ke sekolah untuk mempersiapkan PTM. PTM atau Pembelajaran tatap muka memang sedang menjadi wacana di Indonesia. Ini semua karena Mas Menteri Pendidikan, Nadiem, telah mengizinkan diadakannya PTM mulai Januari.

Sudah sembilan bulan, sekolah-sekolah melaksanakan PJJ atau pembelajaran jarak jauh terkait adanya pandemi Covid-19. PJJ telah menimbulkan berbagai dampak yang kurang baik sehingga dipandang perlu membuka kesempatan PTM. Di antara dampak yang negatif akibat PJJ adalah semakin banyaknya anak-anak yang kecanduan gadget. Karena belajar online sangat tergantung dengan gadget, hal itu menyebabkan anak-anak semakin lekat dengan benda elektronik yang satu ini.

Maka, ketika Mas Menteri membuka wacana bahwa mulai Januari sekolah sudah boleh melakukan PTM, banyak pihak yang menyambut keputusan ini dengan gembira. Namun, tak dipungkiri, ada juga beberapa kalangan masyarakat yang masih belum setuju dengan keputusan ini.

Di satu sisi, orang tua merasa senang dengan adanya PTM, terutama mereka yang tidak bisa mendampingi anaknya belajar. Dengan adanya PTM, para orang tua ini berharap anak-anak akan bisa lebih fokus lagi dalam belajar karena dibimbing langsung oleh guru-guru yang memang berkompeten dalam pelajaran yang diampu. 

Selain orang tua, para peserta didik pun merasa senang dengan akan diadakannya PTM. Mereka sudah jenuh belajar hanya dengan menatap layar. Tidak bisa bertanya langsung kepada guru bila ada materi yang kurang dipahami, tidak bisa bercanda dengan teman-teman, dan tidak bisa bermain di sekolah.
Tetapi bagi orang tua yang memiliki waktu untuk mendampingi pembelajaran anaknya, merasa PJJ lebih aman daripada PTM. Alasannya, mereka khawatir anak-anak belum bisa disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan klaster baru Covid-19. Kekhawatiran ini semakin membesar dengan adanya penemuan virus baru yang katanya lebih berbahaya daripada Covid-19. 

Meski ada berbagai pro-kontra terkait akan dilaksanakannya PTM, PTM tetap dipandang perlu untuk direalisasikan. Terutama untuk sekolah yang menuntut adanya praktikum, seperti sekolah-sekolah kejuruan. Siswa tidak mungkin dan tidak bisa melakukan praktikum sendiri di rumah karena tidak ada fasilitasnya. Otomatis, mereka harus ke sekolah.

Di samping itu, PTM perlu dilakukan karena PJJ dirasa kurang efektif. Saat PJJ, anak lebih banyak bermain game atau mengakses media sosial daripada mempelajari materi dari guru. Akibatnya, tugas-tugas pun banyak yang diabaikan atau dikerjakan tidak tepat waktu. 

Memang, PTM bukannya tidak mengandung risiko. Namun PJJ pun bukan tanpa risiko. Oleh karena itu, PTM mungkin bisa menjadi solusi yang terbaik dengan beberapa syarat yang harus diperhatikan. Di antaranya adalah semua warga sekolah harus disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan: menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Dengan mematuhi protokol kesehatan dan juga berbagai peraturan yang telah ditetapkan pemerintah untuk kegiatan PTM nanti, diharapkan para siswa dan guru, juga warga sekolah lainnya tetap sehat. Semoga tidak akan muncul klaster sekolah. Aamiin.


#KelasArtikel
#Tugas1

Tuesday, December 29, 2020

Belajar Editing (1)


Bismillaah


Belajar lagi, lagi, dan lagi. Kali ini belajar tentang editing. Pekerjaan saya di sekolah, selain mengajar, adalah mengedit. Edit soal dan materi rekan-rekan guru dari kelas 1 sampai kelas 6. Selama ini, kemampuan mengedit hanya berdasarkan otodidak. Belajar sendiri dengan memahami PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tak punya background pelatihan atau kursus editing. Maka, saat ada kelas belajar editing, tentu ini kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan.


Pematerinya adalah seorang editor berpengalaman dari sebuah penerbit yang sudah menasional juga. Oleh karenanya, ilmu yang saya peroleh pun sangat luar biasa bermanfaat. Saya jadi banyak mendapatkan ilmu baru. "Oo ... mengedit tuh, seperti itu, to?"

Berikut materi yang disampaikan oleh Kak Jarwati dalam Kelas Belajar Editing yang diadakan KMOClub.



Editor itu makhluk apa sih?

edi.tor
(n) orang yang mengedit naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya; pengedit; penyunting

pe.nyun.ting
 (n) orang yang bertugas menyiapkan naskah siap cetakn 
 (n) orang yang bertugas merencanakan dan mengarahkan penerbitan media (massa) cetak
 (n) orang yang bertugas menyusun dan merakit film atau pita rekaman

Jadi, editor sama dengan penyunting.

Jenis-jenis editor:

Saat mengedit naskah, secara garis besar akan melewati 3 tahapan berikut: 

1. Editing mekanik, tugasnya ialah untuk memperbaiki dan memeriksa naskah dari segi bahasa, tanda baca dan pemilihan kata menurut gaya selingkung suatu perusahaan penerbitan. 
2. Editing substantif, jenis editing ini bertugas dalam memperbaiki dan memeriksa isi atau konten sesuai dengan bidangnya.
3. Editing materi visual/ Pictorial editing, jenis ini tugasnya ialah untuk memperbaiki dan memeriksa ilustrasi atau gambar pada naskah.

Editor berfokus pada tujuh hal berikut:

1. keterbacaan (readablity) dan kejelahan (legibility) dari segi perwajahan dan tipografi pada naskah yang sudah didesain (pruf);
2. ketaatasasan dari segi konsistensi penerapan kaidah-kaidah pada gaya selingkung (house style) penerbitan;
3. kebahasaan dari segi ejaan, tata bahasa, dan perjenjangan usia;
4. kejelasan gaya bahasa (ketedasan) dari segi kemudahan naskah untuk dipahami;
5. ketelitian data dan fakta dari segi akurasi, validitas, dan relevansi;
6. kepatuhan hukum (legalitas) dan kepatutan dari segi penghormatan terhadap hak cipta orang lain dan penghindaran konten berbahaya;
7. ketepatan rincian produksi dari segi spesifikasi produk yang akan diterbitkan.

1. Mencari naskah
mencari naskah yang potensial untuk diterbitkan. Potensial berdasarkan tema, nama penulis, komunitas, dll

2. Mengurasi naskah yang masuk ke redaksi
mengurasi naskah dari naskah-naskah yang masuk ke redaksi. Editor akan melakukan review naskah sebelum naskah diajukan untuk diterbitkan di rapat redaksi.

3. Memastikan keabsahan naskah
harus memastikan keabsahan naskah terutama terkait originalitas naskah.

4. Editing
melakukan editing naskah mulai dari konten, tata bahasa, fakta, data, dll.

5. Melakukan pekerjaan pra-produksi
memastikan naskah OKE dan tidak ada kesalahan baca, letak, layout, cover, harga jual, dan pra-marketing - marketing berjalan lancar dan siap cetak

6. Memastikan naskah terbit
melakukan koordinasi dengan marketing bahwa naskah sudah selesai cetak dan siap terbit. Koordinasi dengan penulis juga bahwa naskahnya sdh terbit (hendaknya juga diskusi marketing buku ke depannya).

Namun, secara garis besar tugas editor itu adalah:

“Pada dasarnya, tugas seorang penyunting naskah adalah membuat sebuah naskah dapat dibaca. Akan tetapi, bukan hanya itu. Seorang penyunting naskah pun harus dapat membuat naskah itu enak dibaca.” (Buku Pintar Penyuntingan Naskah, Pamusuk Eneste: Hlm. 41)

Channel Kelas Ngedit Naskah KMO Indonesia Batch 5:
Di dalam perusahaan penerbitan, editor merupakan jantung perusahaannya. Kami di redaksi yang menentukan jalannya produksi. Oleh karena itu, ada syarat-syarat saat kita akan menjadi editor:

1. Memiliki kepekaan bahasa
2. Memiliki pengetahuan yang luas
3. Sabar dan teliti
4. Memiliki kepekaan terhadap sara dan pornografi
5. Memahami kode etik penyuntingan naskah
6. Mudah bergaul (gampang cair sama orang dan komunikatif tentunya)
7. Memiliki kemampuan menulis
8. Menguasai bidang tertentu
9. Menguasai bahasa asing

Penjelasan singkat seperti ini ya, teman-teman ...

1. Memiliki kepekaan Bahasa (jangan hanya peka sama dia aja ya ☺️)
Seorang editor dituntut memiliki kepekaan bahasa. Kita harus tahu mana kalimat yang kasar dan kalimat halus; kalimat yang luwes dan yang kaku; serta kalimat yang kurang tepat dan kalimat yang seharusnya dipakai.

2. Memiliki pengetahuan yang luas
Seorang editor tidak boleh malas meng-update informasi. Semakin banyak pengetahuan seorang editor, maka semakin matang hasil editannya. Hal ini berarti seorang editor haruslah banyak membaca, membaca, dan membaca agar editor paham jika ada data atau fakta di dalam naskah yang kurang tepat.

3. Sabar dan teliti (sama dia bisa sabar kan, sama naskah harus lebih sabar lagi 👌)
Saat melakukan penyuntingan naskah, editor harus bolak-balik mengecek naskah tersebut sebelum akhirnya siap cetak dan terbit. Pertama editor melakukan review naskah untuk proses kurasi, lalu editing. Setelah dilayot, editor harus mengecek lagi tata letak dan pemenggalan kata dan suku kata, juga termasuk nilai estetiknya layout. Proses ini dinamakan pruf. Cek lagi bisa sampai 3x pruf baru kemudian ACC isi dan siap cetak. 

Bayangkan ini: 1 naskah bisa 2-3 bulan prosesnya dari edit sampai cetak. Padahal mungkin editor juga ada target terbit per bulan, misalnya 3-4 naskah. 😎 

Jangan khawatir, jadi editor itu mengasyikkan kok. Yakin!

4. Memiliki kepekaan terhadap sara dan pornografi
Seorang editor harus tahu kalimat mana yang layak terbit dan tidak, kalimat yang perlu diubah konstruksinya, ataupun kata yang perlu diganti dengan kata lain.
Dalam hal ini, editor harus peka terhadap hal-hal yang berbau SARA karena jika sampai kelolosan bisa berakibat fatal ke depannya.

5. Memahami kode etik penyuntingan naskah
Misalnya, editor harus bisa tetap mempertahankan gaya bahasa penulis asli, editor tidak boleh membuka rahasia naskah asli yang pernah diedit tanpa izin penulisnya, editor harus mengonsultasikan hal-hal yang akan diubah dalam naskah, dan lain-lain.

6. Mudah bergaul
Seorang editor tak hanya bekerja di depan komputer dan tenggelam di dalam kamus, tapi juga harus keluar mencari naskah dan bertemu dengan penulis atau calon penulis. Ada baiknya jika editor bersikap luwes dan open minded.

7. Memiliki kemampuan menulis
Editor yang mempunyai kemampuan menulis biasanya akan lebih luwes dalam menyunting naskah. Dia bisa menyarankan teknik menulis yang lebih bagus, misal ada sudut pandang yang perlu diubah, setting yang harus diperjelas, referensi yang harus ditambahkan, dan seterusnya.

8. Menguasai bidang tertentu
Alangkah baiknya jika seorang editor buku juga menguasai salah satu bidang ilmu tertentu, misalnya editor ekonomi dan bisnis harus menguasai naskah yang disuntingnya.

9. Menguasai bahasa asing
Seorang editor buku perlu menguasai bahasa asing, paling tidak bahasa Inggris karena dalam menyunting naskah, seorang editor akan berhadapan dengan istilah-istilah asing. Selain itu, tidak jarang editor akan menyunting naskah luar negeri untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa.

Kita harus paham bahwa editor bukanlah penulis. Jadi, kita tidak bisa seenaknya sendiri mengedit naskah tanpa sepengetahuan penulis; dalam hal ini makna dan kandungan isi naskah ya. Batasan-batasan editor adalah membuat naskah lebih enak dibaca dan dipahami pembaca.

Monday, December 28, 2020

Si Cokelat Penyelamat


Bismillaah


Tinggal di pondok, bagi anak yang normal, mungkin tak terlalu mencemaskan. Mereka bisa survive dengan fasilitas yang diberikan oleh pihak pondok. Tapi buat anak yang tak mau makan nasi? Sungguh membuat khawatir dan kepikiran tiada henti.


Salah seorang anak saya tidak mau makan nasi sejak kecil. Nasi dalam bentuk dan warna serta rasa apa pun, dia tidak mau. Kecuali satu, kue kering yang diolah dari nasi yang dikeringkan, lalu digoreng dan diberi gula. Itu saja. Mana ada gizinya?


Saat di rumah, keadaan itu tak terlalu merisaukan hati karena di rumah ada alternatif makanan yang bisa disantapnya. Ada kentang, donat, roti, ikan atau ayam goreng, dan lain-lain.


Tapi saat di pondok? Pihak pondok tidak ingin membeda-bedakan antara satu santri dengan santri lainnya. Begitu pun dalam hal menu makanan. Hanya satu jenis menu yang disediakan: nasi dan lauk-pauk. Tak ada roti atau pun donat, apalagi kentang goreng. Alhasil, anak saya hanya makan makanan instan. Sereal, biskuit, kadang-kadang mie instan. 


Sebagai seorang ibu, saya tentu khawatir dengan kesehatannya, bila makanan yang dikonsumsi hanya seperti itu. Sayur yang disediakan pondok pun tak menggugah seleranya. Otomatis hanya makanan kering itu yang menjadi menunya sehari-hari.


Alhamdulillaah, Allah menyediakan makanan sehat namun tahan lama. Kurma. Selain menyehatkan karena mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan tubuh, kurma juga dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Tidak seperti buah pada umumnya, yang hanya bisa bertahan beberapa hari, kurma bisa bertahan selama berbulan-bulan. 


Di balik warna cokelat itu terkandung banyak zat gizi yang diperlukan oleh tubuh kita. Kurma mengandung:
  • Kalori: 281 kcal per 100gr
  • Lemak total: 0.03 gr
  • Karbohidrat total: 5.33 gr
  • Serat: 0.6 gr
  • Gula: 4.5 gr
  • Protein: 0.17 gr
  • Vitamin B6: 0.012 mg
  • Zat besi: 0.07 mg
  • Magnesium: 3 mg
  • Potassium: 47 gr.

Begitu lengkapnya nutrisi di dalam sebuah kurma, sehingga hanya dengan mengonsumsinya saja, insyaaAllah kebutuhan nutrisi harian kita sudah tercukupi. Meskipun tidak makan nasi sekalipun. MasyaAllah.


Karena kandungan gizinya yang sangat lengkap, membuat kurma memiliki banyak manfaat. Mengutip dari laman m.klikdokter.com, manfaat kurma antara lain:
1. mencukupi kebutuhan gizi dan kalori
2. melancarkan sistem pencernaan
3. mencegah penyakit kronis seperti seperti penyakit jantung, kanker, diabetes, dan alzheimer
4. menstabilkan gula darah dan pengganti gula yang sehat
5. membantu melancarkan proses persalinan normal
6. jadi menu tambahan dalam diet
7. mengganti elekrolit tubuh yang hilang
8. meningkatkan kesuburan
9. mencegah anemia
10. melindungi tubuh dari peradangan.


MasyaAllah, sungguh luar biasa buah kurma ini. Kecil, tapi kaya manfaat. Rasanya pun manis. Enak di mulut. Anak-anak pun suka. Alhamdulillaah, dengan adanya si cokelat ini, jadi berkurang rasa khawatir saya. InsyaaAllah kebutuhan nutrisi anak yang tidak doyan nasi ini tetap tercukupi hanya dengan mengonsumsi kurma. Alhamdulillaah 'alaa kulli hal. Terima kasih ya Allah.







Wednesday, December 23, 2020

Akhirnya

Bismillaah


Hampir empat tahun saya belajar menulis lagi dengan bergabung di grup ODOP (One Day One Post). Dengan tantangan menulis setiap hari, ternyata tanpa disadari, semakin mengasah kemampuan menulis saya. 


Setelah menulis setiap hari, saya pun ditantang untuk mengirim naskah ke media cetak dan elektronik. Alhamdulillaah, beberapa tulisan saya dimuat dan honor pun mengalir ke rekening. 


Selain di ODOP, saya pun mulai belajar di komunitas lain bersama Bu Ida Nur Laela dan Pak Cahyadi Takariawan. Di sana, saya berhasil membuat buku antologi JCA (Jejak Cinta Ananda) dan sekarang sedang proses menerbitkan buku solo perdana, serta buku antologi bersama teman-teman di API (Angkringan Penulis Indonesia).


Dan, akhirnya, saya memberanikan diri untuk mengikuti lomba menulis cerpen yang diadakan oleh BPKK DPD Bekasi. Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga Dewan Pimpinan Daerah Bekasi. 


Waktu itu, saya mengirim naskah sudah mendekati deadline. Saya mengirim ke penanggung jawab melalui WhatsApp dan melalui email juga. Yang melalui WhatsApp, saya perhatikan kok, belum dibaca juga. Tapi saya tetap berhusnudzon, mungkin belum sempat.


Sampai kemarin, tanggal 20, Bu Dani, seorang teman yang juga ikut lomba, mengirim link untuk bergabung di grup peserta lomba. Dan, ternyata ....
Ternyata, naskah saya yang via WhatsApp, salah kirim! Memang nama yang saya kirimi sama dengan nama penanggung jawab. Tapi, ternyata beda orang. Dan, ternyata juga, naskah yang saya kirim via email, tidak ada profil penulisnya. Hal inilah yang membuat panitia tidak menghubungi saya. Syukur alhamdulilah, Bu Dani memberikan link ke saya.


Hati ini sempat berkecil hati, rasanya tidak akan menang, mengingat proses pengiriman naskah yang seperti itu. Ditambah lagi, saya juga baru mengisi form pendaftaran. 


Tapi saya yakin ada tangan Allah yang berkuasa melakukan apa pun, bahkan hal yang mustahil sekali pun. Maka, dengan niat ingin mendapatkan hadiah pertama supaya bisa beli laptop buat Nisa, saya pun menguatkan doa kepada Allah. Saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya bisa menang atas izin Allah.


Tanggal 22 Desember 2020 kemarin, waktunya pengumuman sekaligus acara BPKK. Sejak pukul 9, saya sudah join zoom, meskipun disambi dengan pekerjaan lain. Sambil terkantuk-kantuk, saya tetap setia menunggu pengumuman.


Akhirnya, alhamdulillaah wa syukurillah, saya mendapat juara ketiga. Walaupun tidak sesuai harapan, tapi saya sangat bersyukur. Dan saya sangat yakin, ini adalah sebuah bentuk belas kasih Allah, bukan karena naskah saya yang bagus atau layak menang. Bersaing dengan 65 peserta, bukan lah hal yang mudah. Maka, bila tanpa kehendak Allah, hal ini sangat sulit terjadi.


Ternyata bukan hanya itu nikmat yang diberikan Allah kepada saya hari itu. Sebelumnya, saya pun dinyatakan lulus dalam challenge KLIP (Kelas Literasi Ibu Profesional). Di sini, kami ditantang untuk menulis selama setahun, dengan beberapa ketentuan. Saya yang masih belum konsisten menulis setiap hari, ternyata bisa lulus! 


Alhamdulillaah, terima kasih ya Allah. Semua ini membuat saya semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan buku perdana dan semakin memantapkan hati bahwa saya adalah seorang penulis. Ya, saya adalah penulis. Semoga tulisan saya menjadi amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir hingga yaumil akhir. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.





Friday, December 18, 2020

Mengenangmu

Bismillaah


Kemarin, Kamis, 17 Desember 2020, adalah hari pembagian rapor. Pada hari sebelumnya, saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya di ruang kelas yang selama enam bulan ini saya tinggalkan. Karena letak ruang kelas yang berada di lantai tiga, di ujung koridor pula, membuat saya enggan menempatinya selama PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Saya memilih ruang lain di lantai bawah bergabung dengan guru-guru yang lain.


Kemarin, saat kembali duduk di kursi guru yang sudah lama tidak saya tempati, ada rasa pilu menyelinap di relung hati. Sambil memandangi meja siswa yang berderet rapi, membayangkan para siswa duduk di sana. 


Ah, sembilan bulan sudah pandemi ini berlangsung. Sembilan bulan pula, saya sebagai guru online. Berbeda sekali rasanya dengan mengajar secara offline. 


Tak hanya letih dan jenuh yang saya rasakan dengan BDR (belajar dari rumah) ini. Letih karena harus menyiapkan materi pelajaran yang tentunya lebih rumit. Letih karena harus mengoreksi pekerjaan siswa menggunakan laptop atau gawai. Jenuh karena saat mengajar hanya bisa menatap wajah siswa di layar. 


Kerinduan ternyata telah memuncak menggunung menyesak di dada. Rindu mendengar gelak tawa mereka. Rindu celoteh manja mereka. Rindu negosiasi mereka menawar tugas agar lebih sedikit. 
Ah, rindu dengan segala tingkah polah mereka yang menggemaskan dan kadang menguji kesabaran. 


Saat menulis ini pun, air mata mulai menggenang. Sedih, memendam rindu yang tak tahu sampai kapan akan berakhir. Hanya kepada Allah harapan dan doa tak henti dilangitkan, agar pandemi segera berakhir. Agar saya bisa menjadi guru yang seutuhnya lagi. 


Karena, mengajar bukan hanya masalah mentransfer ilmu. Namun, bercengkerama, berdiskusi, saling berbagi cerita dan pengalaman, adalah bagian yang tak bisa saya dapatkan ketika PJJ. Memang, selama pembelajaran daring, saya masih bisa memandang wajah-wajah polos mereka, masih bisa berdiskusi. Tetapi, kendala sinyal sering nengganggu kenyamanan. Belum lagi keterbatasan waktu karena harus bergantian dengan guru lain. 


Bagaimana pun, saya bersyukur masih bisa melihat dan bercakap-cakap dengan mereka, dengan segala keterbatasan. Semoga saya bisa segera bertemu mereka dan mengajar seperti dulu lagi. Karena hanya dengan mengajar dengan tatap muka, saya merasakan kepuasan tersendiri sebagai guru.

I love you all, and miss you 😭😭

Thursday, October 22, 2020

Titik Jenuh

Bismillaah


"Dek, ayo belajar," ujarku kepada si bungsu yang sedang asyik bermain bersama Spuki, kucing hitam-putihnya. 

"Entar, Mi," jawabnya cuek.


Sejak awal tahun ajaran baru ini, minat belajarnya semakin menurun. Sangat berbeda dengan saat sebelum pandemi. Ketika masih masuk sekolah, dirinya sangat giat mengerjakan PR. Meski lelah setelah belajar di sekolah dari pagi hingga Ashar, ia tak pernah lalai dengan tugasnya. Bahkan, pernah suatu kali dia sudah tidur pulas, tetiba bangun. Jam dinding sudah berdentang sepuluh kali.

"Mi, aku belum ngerjain PR!" serunya dengan panik.

"Mau ngerjain sekarang?" tanyaku dengan hati-hati, khawatir dia ngambek karena masih terlihat mengantuk.

"Iya!" jawabnya mantap sambil turun dari tempat tidur dan mengambil buku. 

Wajahnya sudah terlihat agak segar, meskipun raut ngantuknya tak bisa disembunyikan. Gadis kecilku yang satu ini memang luar biasa. Bila anak-anak lain memperlihatkan wajah tak bersemangat dan kadang-kadang ngambek saat bangun tidur, dia bisa langsung menampakkan wajah ceria sambil bercanda. MasyaAllah.


Malam itu, dengan serius dia mengerjakan PR. Tapi ya, namanya anak-anak, saat tidak mengerti, rasa kesal pun muncul. Sudah dijelaskan berkali-kali masih belum paham juga. Mungkin pengaruh dari rasa ngantuk yang bersaing dengan rasa tanggung jawab menuntaskan PR. Maka, senjata pamungkas pun dikeluarkan. Meneteskan air mata. 


"Kalau ngantuk, kerjain besok saja," usulku mencoba memberikan solusi. Daripada mengantuk dan uring-uringan, lebih baik segera tidur agar besok bisa bangun pagi dan melanjutkan pekerjaan malam itu.

"Nggak. Aku maunya sekarang," serunya diselingi Isak tangis. 

Hm ... Berat nian bebanmu, Nak. Tapi daya juangmu pantas mendapatkan jempol. Two thumbs up. 


Itu kenangan waktu dulu. Saat belajar masih dilakukan secara offline. Namun sekarang, setelah enam bulan belajar online, kejenuhan dan kebosanan mulai menyergap. Ditambah lagi kerinduan kepada teman-teman dan guru, serta suasana bermain di sekolah yang tak bisa dilakukan di rumah. Akibatnya, tugas sekolah menumpuk, seringkali malah terlewat sehingga pesan dari guru pun datang menagih tugas yang belum tuntas.



Monday, September 28, 2020

Menggali Potensi, Mendidik Generasi

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Menjadi orang tua adalah profesi yang tak ada liburnya, tak ada istirahatnya, bekerja full 24 jam. Namun, untuk menenkuni profesi ini, tak ada sekolah tempat kita belajar agar lebih mengerti dan memahami seluk-beluk pekerjaan tersebut. Tidak seperti profesi lainnya. Ingin menjadi dokter, ada sekolahnya. Ingin menjadi guru, ada pula tempat belajarnya. Demikian pula profesi-profesi lainnya. Padahal, menjadi orang tua ini bukan pekerjaan yang mudah. Pertanggungjawabannya akan ditanyakan nanti di akhirat.

Karena tidak ada sekolahnya, banyak orang tua yang terpaksa terjun ke profesi ini dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang tidak memadai, bahkan nol. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka mendidik anak-anak hasil pernikahan mereka. Seadanya. Ada yang terlalu permisif sehingga memberikan segala apa yang diminta anaknya dengan prinsip “yang penting anak diam dan senang”. Padahal, bisa jadi apa yang diberikan  tidak sesuai dengan kebutuhan anak, bahkan malah merusak anak. Seperti pemberian gadget di usia balita, pemberian motor di usia SD, dan sebagainya. Di sisi lain, ada orang tua yang sangat otoriter dan keras dalam mendidik anak sehingga sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga, yang mengakibatkan anak jadi tidak betah berada di rumah.

Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita tidak perlu pusing dan bingung. Meski tidak ada sekolah untuk orang tua, tetapi Rasulullah telah memberikan banyak contoh teladan kepada kita, bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Bahkan, Allah pun telah memberikan model pendidikan yang bisa kita tiru melalui kisah Luqmanul Hakim yang diuraikan dalam surat Luqman.

Allah dan Rasulullah telah memberikan panduan bagaimana mendidik anak agar bisa menjadi qurrota a’yun bagi kedua orang tuanya. Agar anak menjadi tabungan investasi untuk di akhirat kelak. Agar anak tidak menjadi fitnah bagi ibu bapaknya.

Beberapa metode pendidikan anak dalam Islam menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya "Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam" adalah sebagai berikut.

1. Keteladanan

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam adalah suri teladan terbaik yang pernah ada. Beliau tidak pernah menyuruh sebelum beliau sendiri melakukan terlebih dahulu. 


لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا ۗ 


"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."

(QS. Al-Ahzab: Ayat 21)

Dalam mendidik anak, prinsip pertama yang harus dimiliki orang tua adalah keteladanan. Ini adalah modal utama. Dengan memberikan contoh yang baik secara nyata, akan memudahkan anak untuk mengikuti apa yang kita ajarkan. 


Tak mungkin kita mengajarkan dan menyuruh anak salat sedangkan kita sendiri belum bisa salat atau tidak pernah salat. Tentu anak akan sulit menaati orang tua yang seperti itu. Tanpa keteladanan, ketaatan akan sulit terealisasi.

Bicara tentang keteladanan, tentu tak bisa dipisahkan dengan akhlak mulia. Untuk mendidik anak, orang tua tidak harus pandai apalagi jenius. Yang paling penting dimiliki oleh orang tua adalah akhlak mulia. Bagaimana mau memberikan keteladanan, kalau akhlak dan perilakunya tidak baik? Bisa-bisa malah jadi bahan ledekan dan tertawaan. Na'udzubillahi min dzalik.


2. Adat kebiasaan

Namanya anak-anak, saat diajari sesuatu, tidak bisa sekali langsung bisa atau mengerti. Oleh karena itu, orang tua harus membiasakan segala sesuatu yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Misalnya membiasakan membaca doa saat hendak makan. Anak tidak cukup hanya diajari sekali. Untuk membuatnya hafal, doa itu harus diulang-ulang. Lalu, untuk membuatnya terbiasa melafazkan doa tersebut sebelum makan, perlu dibiasakan dan dicontohkan. Maka, orang tua harus banyak bersabar dan telaten dalam mendidik anak. Tidak boleh terburu-buru dan memasang target terlalu tinggi. Karena masing-masing anak punya karakter yang berbeda. Ada yang dengan cepat dan mudah apa yang diajarkan. Ada juga yang memerlukan pengulangan yang tidak sedikit.

3. Nasihat

Bila orang tua sudah memiliki keteladanan yang baik, maka anak akan lebih mudah mengikuti nasihatnya. Nasihatnya bahkan selalu dinanti oleh anak-anaknya. Tetapi bila orang tua belum memiliki keteladanan dan akhlak yang baik, akan sulit bagi anak untuk mendengarkan dan melaksanakan nasihatnya. Dalam hatinya, anak akan berkata, "Ayah saja tidak salat, masa aku harus salat? Enak, aja." 

Begitu kira-kira kata hati sang anak.

4. Memberikan perhatian

Orang tua yang baik tidak hanya memberikan nasihat terus-menerus. Tetapi ia juga memberikan perhatian khusus kepada masing-masing anak. Sehingga setiap anak merasa, dialah yang paling istimewa di mata Ayah-Bundanya. Perhatian ini akan mengeratkan bonding antara orang tua dan anak sehingga terjalinlah keakraban. Dari keakraban, timbullah kepercayaan sehingga ketika ada suatu masalah, anak tak segan untuk bercerita dan mengadu kepada orang tuanya, bukan kepada temannya. 

5. Memberikan hukuman

Dalam mendidik anak, kadang perlu ada hukuman. Tentu saja, hukuman di sini haruslah yang mendidik dan berkaitan dengan kesalahannya. Bukan sekadar hukuman yang ditimpakan kepada anak karena kemarahan dan kekesalan orang tua. Bukan hukuman yang tidak ada tujuan. 

Bahkan, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pun, saat memerintahkan memukul anak berusia 10 tahun yang tidak mau salat, harus dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Pukulan yang tidak meninggalkan bekas luka fisik maupun psikis. Hukuman yang diberikan adalah karena cinta dan kasih sayang, bukan karena dendam.

Wallahu a'lam bishshawab.




Friday, September 25, 2020

Kompetensi = Harga Diri

Bismillaah


"Responsimpel Teacher" adalah salah satu karya Kak Rio, seorang motivator sekaligus pemerhati pendidikan. Memang kebanyakan peserta training dan motivasinya berasal dari kalangan pendidikan. Baik guru maupun orang tua siswa. 


Salah satu pembahasan yang menarik dari buku ini adalah bahwa untuk menaikkan harga diri, guru harus meningkatkan kompetensi.
Kompetensi = harga diri

Harga diri di sini bisa bermakna konotatif maupun denotatif. Makna konotatifnya, guru yang memiliki harga diri, tentunya lebih dihormati dan disegani. Siswanya pun tentu lebih segan sekaligus senang dengannya karena sistem pengajaran dan ilmunya yang mumpuni. 


Sedangkan makna denotatifnya adalah bahwa guru yang memiliki kompetensi tinggi, tentu akan mendapatkan gaji yang tinggi pula. Setara dengan kompetensi yang dimilikinya. Guru yang ilmu dan profesionalitasnya biasa-biasa saja, tentu secara sunnatullah akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk gaji sesuai kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, guru yang luar biasa, kompetensi mengajarnya bagus, memiliki karakter yang baik pula, tentu akan menaikkan harga dirinya di mata atasan.


Nah, menurut Kak Rio, kenyataan di atas tidak selalu terjadi sesuai dengan rumus tersebut. Kadang, guru yang telah memiliki kompetensi sangat bagus, ternyata gajinya tak seberapa. Di sisi lain, guru yang biasa-biasa saja, gajinya justru luar biasa. Itu kalau penghargaan dinilai dari segi materi semata. 


Sedangkan, yang namanya rezeki dari Allah, tidak hanya berupa materi atau uang. Melainkan bisa berupa kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, keharmonisan keluarga, dan hal-hal lain yang apabila dikonversikan ke dalam rupiah, tentu tak ternilai harganya.


Guru yang seharusnya mendapatkan gaji tinggi tetapi malah hanya membawa pulang sedikit uang, bukan berarti dia tidak memiliki harga diri yang tinggi. Gajinya memang sedikit. Tetapi yang sedikit itu ternyata berkah dan mencukupi untuk kebutuhan sehari-harinya. Mengapa? Karena keluarganya selalu sehat sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya berobat. Karena Allah selalu melindunginya sehingga ia selamat dalam perjalanan menuju sekolah dan pulang darinya. Karena ia bisa beribadah dengan tenang dan baik. 


Sebaliknya. Guru yang harga dirinya sedang-sedang saja bahkan cenderung di bawah rata-rata, tetapi mendapatkan gaji yang tinggi, betulkah dia sudah mendapatkan harga dirinya yang tinggi? Belum tentu juga kalau ternyata gaji yang tinggi itu ternyata membuatnya banyak mengeluarkan pengeluaran. Misalnya, anaknya sakit-sakitan, kendaraan yang digunakan untuk mengajar sering bermasalah sehingga harus mengeluarkan uang banyak untuk servisnya, atau keadaan rumah tangga yang membuatnya tidak bisa tenang saat mengajar. Itu adalah hal yang setimpal untuknya, sehingga gaji yang besar terasa sedikit dan cepat habis.


Beberapa hari setelah membaca bagian buku ini, saya kehilangan uang yang tersimpan di bank. Uang itu adalah gaji yang baru ditransfer sehari sebelumnya. Saat itu saya akan menarik uang di ATM. Ternyata mesin ATM-nya error. Setelah memasukkan angka pin, mesin ATM tersebut berhenti lama seperti hang. Karena khawatir kartunya tertelan, saya pencet tombol cancel berkali-kali. Setelah beberapa menit, keluarlah kartunya. Alhamdulillaah.


Karena di mesin ATM ini tidak bisa mengambil uang, maka saya yang waktu itu ditemani suami, mencoba pergi ke ATM lain di perumahan yang lain. Di tengah perjalanan saya membuka aplikasi mobile banking untuk mengecek saldo. Waktu itu saya berniat mentransfer uang dari rekening lainnya. Tetapi saya ingin tahu dulu jumlah uang yang ada di rekening penerima supaya uang yang ditarik sesuai dengan rencana. Saat itulah saya kaget sampai hati berdebar-debar antara takut dan sedih. Di sana tertera saldo saya berkurang sekian juta yang ditarik beberapa menit yang lalu. Padahal tadi saya gagal mengambil uang dan belum memasukkan nominal yang akan diambil.


Astaghfirullah. Langsung saja saya hubungi hotline service yang bekerja 24 jam. Saya ceritakan kejadian yang baru saja saya alami. Akhirnya kami langsung pulang, tidak jadi mengambil uang.


Sesampainya di rumah, suami langsung menulis email ke pihak bank, mengadukan kejadian yang baru saja saya alami. Detail kejadian dan waktunya diceritakan secara terperinci. Saat ingin men-screenshoot data di mobile banking, ternyata saya tidak bisa mengakses. Sepertinya langsung diblokir oleh pihak bank. Berkali-kali saya coba, hasilnya nihil. Ya sudah. Saya hanya bisa pasrah kepada Allah. Banyak beristighfar.


Jadi ingat yang di buku Kak Rio. Jangan-jangan memang saya tidak pantas mendapatkan gaji tersebut. Kinerja saya belum layak untuk mendapatkan penghargaan. Astaghfirullah. Doa istirja dan istighfar saya coba lafadzkan setiap saat. Sambil memohon kepada Allah agar diganti dengan yang lebih baik. Aamiin.


Keesokan harinya saya dan suami kembali ke ATM karena harus mengambil uang. Saat mengecek saldo, alhamdulillaah uang yang kemarin hilang sudah kembali. Alhamdulillaah, maasyaAllah. Betapa senang dan bahagianya hati ini. Ketika melihat ke data di mobile banking, tulisan withdrawal yang kemarin tertera di sana dengan waktu yang sangat jelas, sudah tidak ada lagi. Sudah dihapus. Dan, jawaban email yang dikirim oleh suami, baru dibalas dua hari kemudian dengan jawaban bahwa apa yang saya ceritakan tidak benar karena tidak ada record-nya. Betapa canggihnya teknologi. Padahal dua hari yang lalu, jelas-jelas tertulis data pengambilan tanggal 23-9-2020  pukul 17.13. Sekarang sudah tidak ada.



Ya sudahlah. Yang penting yang saya sudah kembali. Alhamdulillaah.



Wednesday, September 23, 2020

Sudah Siapkah?

Bismillaah


Tepat tanggal 21 September 2020 kemarin, usiaku sudah 45 tahun. Sungguh bukan usia yang muda lagi. Sudah menua, malah.


Di jatah umur yang semakin berkurang ini, masih banyak yang belum bisa kulakukan. Masih sedikit ibadahku kepada Sang Pemilik Kehidupan. Masih sedikit sumbangsih kepada orang tua, kepada suami, juga kepada anak-anakku. Apalagi kepada masyarakat di sekelilingku. 


Sedih rasanya bila ingat amal yang belum seberapa. Kilau dunia lebih menghipnotis daripada syahdunya bermunajat kepada Sang Khalik. 
Malu rasanya bila ingat bekal yang masih kurang banyak. Apa nanti yang akan aku laporkan kepada-Nya?

Astaghfirullah. 
Mohon ampunan-Mu ya Rabb, atas segala khilaf diri.
Mohon bimbingan-Mu ya Rabbi, agar di sisa umur yang tak lagi sedikit ini, aku bisa lebih banyak beribadah kepada-Mu.


Banyak cita yang kurajut di langit tinggi. Namun, jalannya tak semudah dan semulus yang kubayangkan. Inginnya memberikan banyak manfaat, tapi diri sibuk dengan kepentingan pribadi. Inginnya menebarkan banyak kebaikan, namun raga lebih banyak berdiam diri.


Ya Allah ...
Justru di usia 45 ini, ujian datang bertubi. Dari keluarga, dari keuangan, dari anak-anak. 
Hidup yang selama ini kujalani terlalu membuaiku. Terlalu melenakanku karena kenikmatannya. Kini, ketika ombak kecil datang, terkaget-kaget aku dibuatnya.


Namun, diri ini yakin seyakin-yakinnya. Allah tidak akan menguji hamba-Nya, di luar batas kemampuannya. Allah memberikan masalah ini karena Allah Mahatahu bahwa aku mampu mengatasinya. Mampu menjalaninya. Kucoba tegakkan kaki dan kokohkan langkah.


Dengan memohon pertolongan-Nya, kuyakin bisa melewati semua ini. InsyaaAllah.
Aku sangat yakin dengan kebenaran firman-Nya.


لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَاۤ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَا قَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَا عْفُ عَنَّا ۗ وَا غْفِرْ لَنَا ۗ وَا رْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰٮنَا فَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
(QS. Al-Baqarah: Ayat 286)

Semoga aku bisa menjalani semua ini. Dan semoga ujian ini semakin mendekatkanku kepada Allah yang Mahakuasa.


Semoga ujian ini membuatku semakin dewasa dan bijaksana dalam memandang kehidupan yang hanya sementara ini. Membuatku semakin bisa memaknai arti kehidupan ini sehingga tidak termasuk orang yang lalai. 
Membuatku semakin siap mengumpulkan bekal ke akhirat, kampung yang kekal abadi.
Aamiin yaa rabbal'aalamiin.


Sunday, September 20, 2020

Mendewasa

       Sumber gambar: udai08.blogspot.com

Bismillaah


Membersamai tumbuh kembang anak adalah waktu istimewa yang tak akan pernah terulang lagi. Melihatnya tumbuh dari bayi yang hanya bisa merengek, lalu mulai berlari dan bercerita, adalah masa-masa indah seorang ibu. Meski tampak kerepotan dengan mengasuh dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, momen itu sungguh menjadi fase kehidupan yang istimewa.


Tahun demi tahun telah berlalu. Saat anak sudah mulai memasuki jenjang TK, kerepotan itu secara perlahan mulai berkurang. Tak ada lagi yang menguntit di belakang baju, ke mana pun ibu pergi. Tak ada lagi yang minta digendong saat jalan-jalan untuk sekadar refreshing. Kini, ia mulai mengenal teman dan bermain keluar rumah. Bahkan bersepeda jauh ke rumah teman-temannya. Ikatan itu mulai mengendor.


Begitu menginjak bangku SD, kesibukannya belajar semakin mengurangi intensitas komunikasi dengan ibu, meski masih harus didampingi. Bermain di luar rumah, bermain bola, layang-layang, atau bersepeda dengan teman-temannya, kini lebih penting daripada ikut ibu pergi kajian atau silaturahmi ke kerabat. Tali ikatan itu semakin terurai. Dia bukan lagi di kecil yang harus digendong ke mana pun kaki melangkah. Dia bukan lagi si mungil yang selalu ingin dipangku saat tamu berkunjung. 


Kini, dia telah menjadi pemuda. Masa baligh telah menantinya.  Meski keinginannya masih selalu ingin dipenuhi, dia tak lagi memaksakan diri untuk memilikinya. 

"Aku mau pesan es, ya Mi," katamu tiba-tiba.
"Boleh. Tapi uang ummi cukup, nggak, ya?"
"Pakai uangku aja," ujarmu yang membuat hati meleleh terharu.
Tak pernah disangka, kau akan bersikap seperti itu. Mengerti keadaan ibumu yang sedang pas-pasan. 


Kau yang selama ini terlihat egois, mau menang sendiri, maunya selalu dinomorsatukan, sekarang telah berubah. Kau sudah semakin dewasa. Mungkin kehidupan pesantren lah yang menempamu menjadi semakin bijaksana. Meski kecil tubuhmu, namun cara berpikirmu besar dan luas. Semoga kedewasaan dan kebijaksanaan ini akan terus melekat hingga kau benar-benar dewasa nanti. Menjadi pemimpin atau ulama yang bisa mengayomi umat, yang bisa menjadi teladan. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.

Monday, September 14, 2020

Guru Teladan


Bismillaah


Saat ini, keberadaan guru mungkin tidak sepenting sebelum ada pandemi. Mengapa? 
Karena saat ini, yang memegang kendali penuh dalam pendidikan anak, terutama anak SD, adalah orang tua. Adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan siswa SD untuk belajar dari rumah, membuat orang tua harus berperan aktif dalam pendampingi anak-anaknya. Sedangkan peranan guru, untuk sementara, mungkin agak tersisihkan, meskipun tidak 100 persen.


Hal ini berarti bahwa orang tua kembali menjadi guru pertama untuk anak-anaknya. Guru sebenar-benarnya guru. Guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga keimanan dan akhlak Islam. 


Dalam mengajarkan ilmu, orang tua dituntut untuk menguasai ilmu tersebut, meskipun tidak sedalam apa yang dipahami para guru di sekolah. Sedangkan dalam mengajarkan keimanan dan akhlak, orang tua tidak hanya menyiapkan pengetahuan tentangnya, tetapi juga harus memberikan contoh langsung. Menjadi suri teladan langsung bagi anak-anak. 


Tentu bukan hal yang mudah. Apalagi bagi orang tua yang selama ini menyerahkan semua keperluan pendidikan anaknya kepada sekolah. Orang tua merasa sudah cukup dengan mengeluarkan biaya mahal agar sekolah dapat mendidik anak-anak mereka. Tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadikan mereka anak-anak yang saleh dan berakhlak mulia. Sungguh berat nian tugas sekolah, dalam hal ini, guru-guru. 


Kini, orang tua merasa sulit ketika harus mengajari anak-anaknya ilmu pengetahuan yang tidak dikuasai sebelumnya. Di sisi lain, mereka pun harus mendidik anak-anak dengan sikap mereka yang selalu dilihat oleh anak didik mereka. 


Kini, tugas berat itu kembali kepada sang pemilik fitrahnya. Secara fitrah, tugas mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Seperti firman Allah dalam surat At Tahrim ayat 6.

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَاَ هْلِيْكُمْ نَا رًا وَّقُوْدُهَا النَّا سُ وَا لْحِجَا رَةُ عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَا ظٌ شِدَا دٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ


"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."



Jelas sekali bahwa mendidik anak agar terhindar dari api neraka adalah kewajiban orang tua, bukan guru di sekolah. Miris sekali bila masih ada orang tua yang menyalahkan guru karena kelakuan anaknya yang tidak bisa diatur. Sikap anak yang tidak tahu sopan santun, perlu dipertanyakan kepada orang tua. Bagaimana mereka mendidik anak di rumah? 
Sudahkah mereka menjadi contoh yang baik untuk putra-putrinya?


Guru teladan, kini bukan semata beban yang harus dipikul oleh para pendidik di sekolah. Tetapi justru menjadi tugas utama para ayah dan ibu di rumah. Bagaimana mereka mendidik generasi ini agar tidak hanya cerdas intelektual tetapi juga emosional dan spiritualnya. 


Memang bukan tugas yang ringan. Namun, bila hal ini dilakukan secara bersama-sama antara orang tua, sekolah, dan lingkungan masyarakat, tentu tidak akan berat. Generasi emas Indonesia akan terwujud dan menjadi pemimpin dunia yang disegani. InsyaaAllah.

Friday, September 4, 2020

Komunikasi 3 M


Bismillaah

Belajar dari rumah sudah berjalan hampir enam bulan. Situasi yang pada awalnya banyak disyukuri karena telah mengeratkan bonding orang tua dengan anak, kini mulai terasa melelahkan dan membosankan. Tidak hanya orang tua, anak pun merasakan hal yang sama. Ditambah lagi dengan waktu yang tidak bisa diprediksi, kapan keadaan ini akan berakhir.


Di sisi lain, muncul kekhawatiran baru akibat pembelajaran online ini. Apalagi kalau bukan kecanduan gadget. Setiap hari, anak harus menggunakan gadget dan kurang bermain di luar rumah. Wajar bila orang tua merasa cemas dan takut kalau anaknya jadi ketergantungan pada gawai tersebut.


Di saat situasi sudah seperti kolam ikan yang keruh penuh dengan tanaman liar, Kak Rio datang memberikan sedikit angin segar. Pencerahan yang semoga bisa menjernihkan suasana dan pikiran para emak yang sudah di ambang batas kejenuhan dan kegalauan. Menjadi guru untuk anak-anak sendiri di rumah, tak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus mengajar semua mata pelajaran. Padahal, selama ini yang ditekuni hanyalah bagaimana anak-anak bisa tercukupi gizinya dan kebutuhan fisiknya. Sekarang harus memerhatikan kebutuhan akalnya yang tidak boleh diisi dengan sembarang ilmu. Bisa-bisa anak-anak bukannya tambah pintar malah terjerumus dalam ketidakpastian.


Pada kesempatan ini, Kak Rio memaparkan bagaimana keadaan yang mulai semrawut ini dikondisikan agar terasa menyenangkan. Salah satu kuncinya adalah dengan melakukan Komunikasi 3M. Menenangkan, memuliakan, membahagiakan.


Tugas para emak saat ini memang semakin menumpuk. Selain tugas negara yaitu menjamin kelangsungan asap dapur agar tetap ngebul dan baju-baju rapi selalu tersedia setiap hari, kini bertambah dengan tugas mendampingi anak belajar online. Mendampingi tidak sekadar duduk di sampingnya, tetapi juga memotivasi, mengajari, dan memecahkan masalah yang dihadapi anak berkaitan dengan pelajarannya. Benar-benar sebuah tugas yang tidak ringan. 


Ditambah lagi menghadapi para bapak yang mungkin juga sudah suntuk dengan keadaan ini karena berkaitan dengan laju ekonomi keluarga yang mulai tersendat. Maka, bertambahlah tugas emak, yaitu MENENANGKAN. Menenangkan anak dan suami agar tidak semakin tertekan. Memberikan pengertian bahwa semua ini adalah kehendak Allah yang harus kita jalani dengan ikhlas. Apa yang sedang kita alami saat ini, tak seberat dengan apa yang dialami oleh Bunda Hajar saat ditinggalkan berdua saja dengan Ismail di padang pasir tandus dan tak berpenghuni. Sedangkan ia hanya seorang perempuan. Namun, ia sadar dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Berbekal itulah, beliau bisa menghadapi ujian itu dan malah berhasil menjadikan tanah gersang tak berpenghuni itu menjadi sebuah kota. Kota yang kini sangat dirindukan dan diimpikan oleh setiap muslim.


Setelah memenangkan, tugas emak berikutnya adalah memuliakan. Memuliakan anak sebagai seorang pejuang ilmu. Mereka mulia karena dengan menuntut ilmu, Allah akan mudahkan jalannya ke surga. Seorang penuntut ilmu, insyaaAllah merupakan seorang calon penghuni surga. Oleh karena itu harus dimuliakan, bukan dimarahi apalagi dicaci maki dengan kata-kata yang tidak pantas. 


Yang terakhir adalah membahagiakan. Membahagiakan tidak harus dengan materi dan kemewahan. Cukup dengan kasih sayang dan sentuhan kelembutan seorang ibu, anak akan bahagia. Bila anak sudah merasa bahagia, pelajaran sesulit apa pun akan dia pelajari dan tekuni. Soal serumit apa pun akan dihadapinya sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Anak yang bahagia akan lebih mudah menyerap informasi yang diberikan, sekaligus memahaminya. Maka, akan lahirlah anak-anak yang cerdas dan pintar. InsyaaAllah. 


Itulah trik and tips dari Kak Rio agar orang tua bisa mendampingi anak belajar daring dengan gembira. Kuncinya adalah hati yang bahagia, bukan ilmu yang menguasai segala macam pelajaran. 





Tuesday, September 1, 2020

Online Teaching


Bismillaah


Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak hal berubah dan mengalami penyesuaian. Begitu pula yang terjadi di dunia pendidikan. Hal yang selama ini mungkin tidak pernah terpikirkan, kini nyata terjadi di depan mata dan dialami oleh hampir semua civitas pendidikan. Bahkan tidak hanya menimpa guru dan siswa, tetapi juga orang tua atau wali murid.


Perubahan itu terjadi secara signifikan dalam hal proses belajar mengajar. Kegiatan yang selama ini dilakukan di dalam kelas, kini harus dilakukan secara daring (online) dari rumah masing-masing. Guru dan siswa hanya bertemu di aplikasi video conference. Atau aplikasi online lainnya untuk memberikan materi dan tugas. 


Berawal dari kondisi ini, maka lahirlah metode ataupun teknik-teknik mengajar online yang dirancang sedemikian rupa agar bisa menarik perhatian siswa. Salah satu yang saya pelajari dari Pak Andi Gunawan adalah "Pembelajaran Online" (The Cyber Pedagogy)


Pada pertemuan yang pertama -sekitar sebulan yang lalu-, materi yang disampaikan tentang kendala yang mungkin terjadi selama pembelajaran daring dan perbedaan utama antara pembelajaran konvensional dengan pembelajaran daring. (Conventional teaching Vs Online teaching)


Di kesempatan yang kedua ini, materi yang dibahas lebih menekankan pada teknis penerapan online teaching. Di antaranya adalah "Online Classroom Management Tips" dan "Online Class Teaching Skills Menu". 


Online Classroom Management Tips meliputi:
1. Establish norm
2. Start slowly
3. Focus on engagement
4. Cultivate student ownership
5. Be the model


Establish norm merupakan sesi penting seorang guru dalam memberikan pijakan awal kepada siswa. Pada sesi ini, guru memberikan peraturan dan adab-adab yang harus dipatuhi siswa selama proses pembelajaran daring berlangsung. Di antara norma-norma tersebut adalah selalu mengaktifkan kamera. Sebaliknya, mikrofon harus selalu dinonaktifkan, kecuali saat diminta untuk mengaktifkan. Pijakan berikutnya adalah bahwa siswa diharapkan aktif dalam pembelajaran dengan merespon apa yang disampaikan guru. Selain itu, siswa juga harus mengenakan pakaian seragam selama berlangsungnya pembelajaran daring. 


Start slowly, mengingatkan guru agar tidak tergesa-gesa dalam memulai online teaching. Online teaching, tentu sangat berbeda dengan conventional teaching. Oleh karenanya, guru harus pelan-pelan dalam mengajar. Tidak perlu buru-buru hanya karena ingin mencapai target kurikulum. 


Focus on engagement adalah salah satu hal yang penting dan mendasar dalam proses pembelajaran daring ini. Situasi dan kondisi yang sangat berbeda ini, memerlukan toleransi tinggi seorang guru. Apabila ada siswa yang bertingkah tidak sewajarnya, mungkin karena bosan atau memang kurang fokus, guru harus cepat tanggap. Tindakan yang bisa dilakukan oleh guru adalah dengan menegur siswa tersebut dan mengembalikan konsentrasinya kembali ke pembelajaran. Tidak mengapa bila penjelasan guru harus terpotong dengan beberapa intermezzo seperti memanggil nama siswa yang terlihat mengantuk, atau menegur siswa yang menulis sesuatu yang tidak bermutu di kolom chat, karena yang terpenting adalah menjaga keterikatan siswa dengan proses pembelajaran.


Cultivate student ownership dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap pembelajaran daring ini. Hal ini bisa diterapkan kepada siswa setingkat SMP atau SMA, tetapi masih belum bisa untuk siswa TK dan SD. Dengan menumbuhkan rasa memiliki ini, diharapkan siswa akan selalu menanti dan menunggu jam pelajaran daring. Dengan demikian, dia pun akan fokus mengikuti semua kegiatan.


Terakhir adalah "Be the model". Jadilah teladan. Sudah seharusnya guru menjadi teladan bagi siswa-siswinya. Kalau guru ingin siswanya hadir tepat waktu, sudah semestinya, dia pun hadir tepat waktu. Akan lebih baik kalau bisa lebih awal agar dapat menyambut siswa-siswinya. Kalau guru ingin siswanya berpakaian seragam dan rapi, sudah tentu, dia pun harus berseragam dan rapi. Seorang guru yang bisa dijadikan teladan, tentu akan lebih mudah mendapatkan perhatian siswa. Selain itu, siswa pun akan lebih mudah mengikuti segala instruksi yang diberikan oleh guru. Tak mungkin guru menyuruh siswa untuk berbuat yang baik, sedangkan dia sendiri tidak melakukannya. 


Bersambung

Wednesday, August 26, 2020

Perempuan Merdeka


Bismillaah


Dulu, Ibu Kartini ingin menjadi perempuan merdeka, agar bisa belajar seperti kaum lelaki. Agar dihargai hak-haknya, layaknya lelaki. Maka lahirlah kata "Emansipasi". 


Kini, emansipasi diartikan sebagai penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, segala yang bisa dilakukan oleh kaum lelaki, kaum hawa pun merasa berhak dan bisa melakukannya. Tak ada lagi perbedaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan. Tak ada lagi yang namanya "ini pekerjaan laki-laki". Karena semua pekerjaan sah saja dilakukan oleh perempuan. Bahkan menjadi kenek atau sopir bus.


Setelah emansipasi, muncullah istilah "feminisme" yang mengaku sebagai pembela hak-hak perempuan. Memang bagus sekali tujuannya. Tapi, bila mulai melanggar syariat yang sudah ditetapkan Allah, sepertinya perlu dikaji kembali. Benarkah feminisme benar-benar ingin membela kaum hawa?


Mari kita lihat. Ternyata, ada bisikan yang menyuarakan, dengan dalih kemerdekaan berpendapat, beberapa hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Di antaranya, jilbab itu membatasi gerak perempuan, mengungkungnya dalam ketidakberdayaan. Lalu, pembagian harta warisan yang memberikan jumlah lebih banyak dua kali lipat kepada laki-laki dibanding perempuan, dianggap sebagai ketidakadilan. 


Sampai di sini kita tahu bahwa emansipasi dan feminisme, tidak selalu berarti memerdekakan perempuan. Karena sesuatu yang tanpa aturan, terkadang justru bisa merusak dan menghancurkan. Dan, sesuatu yang sering dianggap sebagai belenggu, pemaksaan, membatasi ruang gerak, sejatinya justru bertujuan untuk memuliakan.


Mengapa tidak semua pekerjaan cocok untuk perempuan?
Karena organ tubuh perempuan di-setting berbeda dengan laki-laki. Dengan tubuhnya yang kekar, laki-laki tentu lebih kuat daripada perempuan. Sedangkan perempuan dikaruniai tubuh yang lemah gemulai karena dimaksudkan untuk merawat dan membesarkan anak yang memerlukan kelemahlembutan seorang ibu. 


Wanita muslim diwajibkan untuk menutup aurat dengan mengenakan jilbab, bukan berarti itu sebagai tali yang membatasi geraknya. Pemakaian jilbab justru ditujukan sebagai pelindung wanita dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang membedakannya dari mereka yang kurang menjaga harkat dan martabatnya sebagai perempuan shalihah. 


Pembagian harta warisan yang memberikan porsi lebih sedikit kepada kaum hawa, karena tanggung jawab mereka lebih sedikit dibanding kaum adam. Lelaki bertanggung jawab kepada anak dan isterinya. Sedangkan perempuan tidak bertanggung jawab kepada anak dan suaminya. Karena tanggung jawab yang lebih besar, maka lelaki mendapatkan hak yang lebih besar pula.


Jadi, perempuan merdeka bukan mereka yang bebas bertindak dan bertingkah laku semaunya sendiri. Tetapi perempuan merdeka adalah mereka yang menjaga izzah-nya, harga dirinya, dengan melaksanakan perintah Sang Pemilik hidupnya. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, sebagai rasa syukur kepada-Nya. 

Sunday, August 23, 2020

Merdeka Menjadi Diri Sendiri


Bismillaah

"MasyaAllah, cantik banget! Aku pengen kayak dia."

"Bagus kan, jilbabku? Ini kan kayak artis yang lagi ngetrend itu, lho."

"Aku mau rajin olahraga ah, biar kekar kayak pemain bola itu. Pasti nanti banyak yang suka."

                                ***

Kemilaunya dunia artis dan selebritis, membuat banyak orang yang ingin mengikuti jejak mereka. Dari mereka yang punya modal alias berduit, sampai mereka yang pas-pasan. Demi bisa menjadi seperti idola mereka, segala daya dan upaya dilakukan agar keinginan tersebut dapat terealisasi.


Berawal dari ikut-ikutan itulah, ada yang sukses meniru sang idola, banyak pula yang gatot alias gagal total. Bahkan ada pula yang sampai berputus asa karena keinginannya tidak terpenuhi. 


Mengapa harus meniru dan ingin seperti orang lain? Sampai bela-belain mengeluarkan banyak uang, tenaga, dan waktu? Apa untungnya bila kita bisa seperti orang lain?


Kalau meniru dalam hal positif, tentu banyak manfaatnya. Misalnya kita ingin rajin ibadah seperti si A yang salat fardhunya selalu tepat waktu, puasa sunnahnya tak pernah lupa, tiap hari minimal tilawah 1 juz, dan selalu mendirikan salat malam. Atau seperti si B yang cerdas, kreatif, dan aktif berorganisasi, namun juga ramah dan peduli terhadap lingkungannya. 


Tapi kalau yang diikuti itu masalah gaya berpakaiannya, gaya rambutnya, gaya berdandannya, bahkan gaya bicara dan berjalannya, apa untungnya? Sedangkan wajah kita berbeda. Kapasitas kemampuan kita juga tidak sama. Bukankah malah akan mengundang rasa prihatin dari orang-orang di sekitar kita? "Ih, kasihan banget orang itu pengen seperti artis terkenal, padahal wajahnya pas-pasan." 


Apa tujuan kita meniru dan mengikuti setiap gaya orang yang kita idolakan?
Kalau kita mengikuti kerajinannya dalam beribadah, jelas, tujuannya adalah untuk mendapatkan pahala. Akhirat menjadi targetnya. InsyaaAllah, itu menjadi tujuan yang baik dan mulia.


Namun kalau mengikuti segala gaya dan tingkah laku sampai rela mengeluarkan uang banyak demi membuat diri mirip seperti sang idola? Apa manfaatnya? Apakah kita akan mendapatkan keuntungan seperti orang tersebut? Belum tentu. Yang ada, mungkin kita akan mengalami kerugian baik moril maupun materiil. Belum lagi pandangan sinis dari orang-orang terdekat kita. Na'udzubillahi min dzalik.


Maka, menjadi diri-sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Berbuat dan bertingkah laku sebagaimana adanya kita, tentu mudah dan tak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Tak merugikan diri sendiri, juga orang lain.

Menjadi apa adanya diri kita, menunjukkan identitas kita sendiri, akan lebih terhormat dan dihargai oleh orang lain. Daripada capek-capek mengikuti orang lain dengan tujuan yang tidak jelas.


Merdeka menjadi diri sendiri adalah hak kita. Tidak berada di bawah tekanan orang lain. Tidak menjadi bayang-bayang orang lain. Bebas mengekspresikan diri sesuai dengan apa yang kita inginkan.


Wednesday, August 19, 2020

Merdeka dalam Menyayangi Anak


Bismillaah

Anak adalah anugerah terindah dari Allah, sekaligus amanah yang harus dijaga dan dirawat sesuai dengan perintah Sang Pemilik Hakiki. 


Anak adalah buah hati, yang kepadanya disandarkan dan ditaburkan kasih sayang. Siang dan malam semua perhatian tercurah dan terfokus kepada sang buah hati. 


Rasa sayang yang begitu meluap kepada sang permata hati, kadang membuat kita lupa akan hak-haknya. Bahwa ia tak hanya membutuhkan gadget terbaru dengan aplikasi paling canggih,  pakaian bermerek yang mahal, mainan terbaik yang sedang populer, atau makanan tersohor yang diminati banyak orang. Bahwa uang yang melimpah kadang bukan hal pokok yang ia inginkan. Bahwa sekolah bergengsi bukan tempat yang ia impikan.


Rasa kasih yang selalu ia rindukan, mungkin hanya berupa sentuhan lembut di kepalanya saat naik ke tempat tidur. Ada yang tulus mendengarkan cerita serunya hari itu di sekolah adalah momen indah yang tak akan ia lupakan. Pelukan hangat ibu saat ia berpamitan untuk pergi ke sekolah merupakan nutrisi pemompa semangat untuk melalui hari itu.


Wujud kemerdekaan kita dalam menyayangi sang permata hati, adalah menyayanginya dengan tujuan untuk kebaikannya. Kadang harus tega melarang meski ia merengek. Sering harus tegas, meski ia berkeluh-kesah. Kadang harus melatihnya dengan tanggung jawab yang terlihat sulit baginya. Semua bertujuan untuk menyiapkannya menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Pribadi mandiri yang penuh simpati dan empati kepada orang di sekitarnya. Bukan pribadi yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri.

Wujud kemerdekaan kita dalam menyayangi sang buah hati, bukan dengan memberikan segala yang diinginkannya. Bukan pula dengan membebaskannya dari berbagai tanggung jawab sehingga ia bisa bersantai sepanjang hari. Juga bukan dengan memanjakannya, memenuhi segala permintaannya yang kadang di luar kemampuan dan jangkauan kita. 


Merdeka menyayangi anak adalah merawat dan membesarkannya dengan membekali nilai-nilai keislaman, tata krama, kedisplinan, keterampilan hidup, dan juga keprihatinan. Bukan merdeka namanya, kalau kita masih dikendalikan oleh anak. Anak minta apa pun dikabulkan, padahal belum waktunya. Minta dibelikan motor, misalnya. Padahal usianya belum mencapai 17 tahun sehingga bisa memperoleh SIM. 


Merdeka menyayangi anak, berarti orang tua yang pegang kendali, bukan anak yang mengatur orang tuanya. Semoga dengan demikian, mutiara-mutiara kita tumbuh menjadi orang yang kuat dan tangguh, serta memiliki akhlak mulia seperti Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.

Tuesday, August 18, 2020

NO GADGET

Bismillaah

Mulai hari ini hingga sepekan ke depan, sekolah tempat saya mengajar melaksanakan program NO GADGET kepada para siswa. Bisa dikatakan, siswa-siswi libur belajar daring. Sebagai gantinya, mereka diharapkan dapat melakukan kegiatan bersama keluarga seperti murojaah, memasak, berkebun, olahraga, bersih-bersih rumah, dan yang lainnya.

Kegiatan NO GADGET ini dimaksudkan untuk mengistirahatkan para siswa dari paparan layar gadget. Tak dapat dimungkiri bahwa sistem belajar daring saat ini telah memberikan dampak tidak baik terhadap para siswa. Sebagian mereka jadi kecanduan gadget. Dampak paling ringannya, mereka merasakan mata perih karena terlalu lama di depan gadget.

Selain itu, tujuan program ini dimaksudkan untuk menguatkan "bonding" antara orang tua dengan siswa. Dengan adanya kegiatan bersama di rumah dan meninggalkan gadget untuk sementara, ikatan kekeluargaan yang mungkin selama ini renggang, bisa dieratkan lagi. 

Kalau siswa tidak belajar daring karena program NO GADGET, gurunya enak dong?
Awalnya kami, para guru, berpikir seperti itu. Tetapi, ternyata kepala sekolah dan yayasan sudah menyiapkan agenda baru yang harus dilakukan. Apa itu? Membahas rencana perubahan visi misi sekolah. 

Dan, pembahasan atau diskusi tentang visi misi ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hari ini saja, kami baru membahas tiga mata pelajaran yang akan di-upgrade. Selain itu, kami juga harus mempersiapkan elemen akreditasi yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Terbayang sudah seabrek pekerjaan di depan mata. Belum lagi ditambah dengan mempersiapkan materi pelajaran dan media pembelajarannya. 


Ada cerita menyedihkan di balik program NO GADGET ini. Bagi orang tua yang bisa mendampingi dan membersamai anaknya di rumah, program ini dapat berjalan efektif. Tetapi bagi orang tua pekerja, mungkin tidak terlalu merasakan nilai positifnya. Seperti yang dialami oleh seorang rekan guru. Ketika dia ingin menerapkan kebijakan NO GADGET, dia terbentur kebutuhan yang mengharuskan anaknya diberi wewenang memegang hp. Hal ini disebabkan karena rekan tersebut dan suaminya adalah guru yang harus tetap masuk ke sekolah. Sedangkan anak-anaknya berada di rumah tanpa didampingi orang di dewasa. Mau tidak mau, dia harus memberikan hp kepada anaknya agar bisa memantau.



Monday, August 17, 2020

Merdeka Finansial


Bismillaah


Kita mungkin sudah merdeka secara fisik. Tidak ada penjajah yang memperbudak kita dengan memeras tenaga dan harta yang kita miliki. Tapi merdeka secara finansial?


Bangsa kita, memang sudah merdeka sejak 75 tahun yang lalu. Terbebas dari penjajahan yang tidak berperikemanusiaan. Terbebas dari tekanan bangsa asing yang merusak tatanan masyarakat secara ekonomi maupun pemerintahan. 


Lalu, apakah kita sudah menikmati kemerdekaan itu? Sebagian sudah, sebagian lagi belum. Apa yang belum? Merdeka Finansial.


Ya, secara finansial, kita masih disetir oleh negara asing. Banyaknya perusahaan milik asing yang beroperasi di Indonesia dengan mempekerjakan rakyat Indonesia dengan upah yang kecil, itu membuktikan bahwa kita belum merdeka secara finansial. Kita belum bisa berdiri di atas kaki sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kita masih bergantung kepada orang asing yang memiliki modal. 


Karena mereka sang pemodal, maka berhak mengatur upah karyawan semaunya. Meskipun ada UMR (upah minimum regional), tetap saja mereka ikut campur tangan dalam pengambilan keputusan. Dan, tentu saja keputusan itu pasti yang tidak akan merugikan mereka. Sedangkan rakyat Indonesia? Hanya bisa pasrah menerima. Karena kalau menolak, ancamannya adalah PHK (pemutusan hubungan kerja).


Itu merdeka finansial secara global. Bagaimana merdeka finansial secara pribadi?


Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa merdeka finansial ditandai dengan tercukupinya semua kebutuhan, disertai dengan adanya tabungan yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Merdeka finansial berarti memiliki harta kekayaan yang lebih dari cukup sehingga bisa untuk biaya hidup di atas rata-rata. Bukan hidup yang sederhana. Itu dari kacamata duniawi.


Bagi seorang muslim, merdeka finansial tidak melulu diukur dengan tersedianya harta yang berlimpah. Kita bisa dikatakan merdeka finansial bila harta yang kita miliki tidak kita letakkan di hati, tetapi di tangan. Maksudnya, harta yang kita miliki tidak untuk dimiliki sendiri sehingga kita selalu merasa takut kehilangan. Tetapi harta itu kita letakkan di tangan, sehingga siap untuk disedekahkan kepada siapa saja. 


Merdeka finansial adalah saat kita tidak bergantung kepada harta. Karena harta bisa habis sewaktu-waktu. Banyaknya harta tidak akan menjamin kita merdeka secara finansial bila harta itu hanya menjadi milik kita. Digunakan hanya untuk keperluan dan keinginan kita saja. Merdeka finansial adalah bila harta yang kita miliki dapat memberikan manfaat kepada orang banyak dengan cara diinfakkan atau disedekahkan. Sehingga harta itu berputar tidak hanya di kita saja, tetapi di masyarakat secara luas.


Maka, kita akan merdeka secara finansial apabila harta yang kita miliki baik itu sedikit atau banyak, bisa mencukupi kebutuhan hidup kita, bukan gaya hidup kita. Selain itu, merdeka finansial adalah apabila harta itu merupakan harta yang berkah. Berkah berarti selalu bertambah baik zatnya maupun manfaatnya. 

Friday, July 31, 2020

Cublak-Cublak Suweng

                         Sumber: Google

Bismillaah


"Mi, laper," keluh si bungsu yang baru belajar puasa. Padahal jam dinding baru menunjukkan pukul 10. Tapi dia sudah merengek lapar. Harus mencari cara untuk mengalihkan rasa laparnya, nih. Saya pun memutar otak mencari solusinya.


"Kita main Cublak-Cublak suweng yuk ..., " ajak saya yang langsung direspons oleh anak-anak.

"Main apa Mi?" Tanya anak-anak penuh rasa ingin tahu.

"Ini permainan umi waktu kecil. Pertama, kita hompimpa dulu untuk menentukan siapa yang jaga. Yuk," ajak saya memulai permainan.


"Hom-pim-pa alaiyung gambreng!!!" Seru mereka serempak sambil membentangkan jari tangan. Ada yang telapak tangannya menghadap ke bawah, ada yang ke atas. Telapak tangan yang tidak ada temannya, maka dia yang jadi Pak Empo.

"Nah, Adik yang jadi Pak Empo," tunjuk saya kepada si bungsu.

"Pak Empo itu apa Mi?" Tanyanya bingung.

"Pak Empo yang jadi, Dik. Berarti Adik tengkurap, seperti sujud. Nanti yang lain bermain dengan cara meletakkan tangannya di atas punggung Adik dalam keadaan terbuka. Lalu salah seorang dari kita, menjalankan sebuah kerikil di antara telapak tangan itu sambil menyanyi." 

"Nyanyi apa Mi?" Tanya mereka tak sabar mendengarkan penjelasan saya.

cublak-cublak suweng
suwengé ting gelèntèr
mambu ketundung gudhèl
pak empo lirak-lirik
sapa ngguyu ndelikaké
sir, sir pong delé kopong
sir, sir pong delé kopong

"Nah, saat lagunya berhenti, kerikilnya dipegang oleh orang yang terakhir. Lalu Pak Empo menebak, siapa yang memegang kerikil itu. Kalau berhasil ditebak, berarti orang itu yang jadi. Kalau tidak tertebak, berarti Adik jadi lagi," jelas saya panjang lebar. Meskipun masih agak bingung, anak-anak mengangguk-angguk seperti paham 

"Ya udah. Kita main aja langsung, Mi," ucap si kakak sudah tak sabar.

"Ayuuuuk!!!" Seru yang lain dengan kompak.

Alhamdulillaah, permainan itu berhasil mengalihkan rasa lapar si bungsu dan kakak-kakaknya. Hampir setiap hari mereka minta saya untuk bermain Cublak-Cublak Suweng ini. Mungkin karena permainan baru dan langka, mereka seperti tak ada bosannya. Justru saya yang bosan dan capek mengikuti keinginan mereka.

Permainan yang murah meriah ini sungguh bermanfaat bagi kami sekeluarga. Selain membuat hati anak-anak gembira, anak-anak pun semakin kompak dan rukun.

Saturday, July 25, 2020

Penyejuk Hatiku


Bismillaah


Buah hati adalah amanah Allah yang dititipkan-Nya kepada kita, orang tua. Amanah yang sangat menyenangkan. Siapa sih, pasangan pengantin yang tidak mendambakan kehadiran buah hati, permata yang menjadi perhiasan kehidupan? Hampir semua orang tua pasti merindukan kehadirannya. Bahkan saat penantian seperti tak ada ujungnya, segala ikhtiar dilakukan demi hadirnya sang buah hati.


Kelahirannya ditunggu dan dinanti dengan harap cemas dan persiapan yang luar biasa lengkap. Seolah menyambut kedatangan seorang raja yang telah lama meninggalkan negeri. Kini ia hadir dan disambut dengan luar biasa meriah.


Tangisnya menjadi suara paling merdu yang pernah ada di bumi. Kerepotan yang diciptakannya, membahagiakan kedua orang tua. Celotehnya dinanti sepanjang hari. Kerapian dan kebersihan rumah tak penting lagi bila sang buah hati sedang bereksplorasi. Semua indah di mata.


Amanah tak lagi terasa berat. Ringan dan menyenangkan. Karena ia adalah qurrota a'yun, penyejuk mata yang selalu dinanti dan dirindu. Tak ingin lepas dan menjauh darinya.


Qurrota a'yun menjadi cita setiap orang tua. Berbagai cara dilakukan dan dijalankan untuk mewujudkannya. Buah hati akan menjadi penyejuk mata bila ia sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua. Bagus Budi pekertinya, taat dan patuh kepada Allah dan orang tuanya, akhlak karimah selalu menghiasi hari-harinya.


Maka, pembentukannya berawal dari sang orang tua. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Karakter seorang anak, tak jauh berbeda dengan orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan teladan yang baik, tuntunan yang shahih, dan pengajaran yang mengacu pada kurikulum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.


Penyejuk mata, terlihat indah dari perilaku dan tutur kata, bukan dari nilai rapor yang sempurna. Karena setiap anak unik dan istimewa, jangan pernah membebankan ambisi diri kepadanya. Burung tak mungkin bisa berenang. Begitu pun katak tak mungkin terbang ke angkasa. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda dengan yang lainnya.


Setelah segala ikhtiar dimaksimalkan, niat ikhlas karena Allah harus tetap dijaga. Keinginan untuk menjadikan anak sebagai tempat bergantung di usia senja kelak, adalah sesuatu yang terlarang dan tak pantas dilakukan.

Biarlah usaha kita mendidik dan memanusiakan mereka, menjadi ladang pahala di sisi Allah. Masalah nanti saat badan melemah siapa yang akan peduli, biarlah itu menjadi rahasia-Nya. Seorang hamba hanya berkewajiban untuk berusaha. Hasilnya merupakan hak prerogatif Allah yang tak bisa diutak-atik.


وَا لَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَـنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَا مًا


"Dan orang-orang yang berkata, Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Furqan: Ayat 74)




EEPK #1


Bismillaah

Kembali saya merasakan nikmat Allah yang begitu luar biasa. Banyak sekali nikmat-Nya yang telah saya rasakan. Salah satunya dipertemukan dengan orang-orang shalih nan hebat. Di antaranya adalah Pak Cahyadi Takariawan dan isteri beliau Bu Ida NurLaela.

Kali ini saya diberi kesempatan oleh Allah untuk menimba ilmu kepada mereka dalam rangka membuat buku solo. Akhirnya, impian yang selama ini hanya di awang-awang, mulai terlihat jelas dan nyata. Meski tidak mudah mewujudkannya, saya merasa optimis dengan wasilah bimbingan beliau berdua.

Guru-guru yang sangat sabar, telaten, dan rendah hati. Itulah mereka. Mengganggap murid setara dengan gurunya. Tak pernah merasa lebih hebat dari orang lain. Sehingga kami pun bisa dengan leluasa mengeluarkan uneg-uneg dan mengadukan kesulitan dalam merajut kata.

EEPK, Emak-emak Punya Karya, kelas menulis yang tidak hanya sekadar menulis. Namun, di sini kami belajar bagaimana merajut kata agar mengedepankan kebenaran, kebermanfaatan, dan etis. Sehingga yang kami tulis tidak hanya memuaskan dahaga penghiburan, namun juga mengisi relung keimanan. InsyaaAllah.

Jazakumullahu khairan katsira Pak Guru dan Bu Guru. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Anda berdua dengan pantas. Semoga keberkahan dan rahmat-Nya selalu mengiringi aktivitas Gurunda berdua. Mohon bimbingannya agar impian ini segera nyata. 🙏😊.

Sunday, July 19, 2020

Kenangan Indah


Bismillaah



"Umi pulang!" Sambut si bungsu sambil berlari menghampiriku.
" Yee ... Umi udah pulang!" Tak kalah kakaknya ikut menyambut dengan riang.

"Assalamualaikum ...," ucapku sambil mengelus dan mencium mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka dengan kompak.

Baru saja meletakkan tas, Azmi datang langsung memelukku dan bertanya, "Umi kok, pulangnya lama?"

"Biasa Mbak, rapat dulu," ujarku balas memeluknya. Gadis kecilku yang satu ini memang kolokan. Tetapi dia juga sangat mandiri. Semua kebutuhan sekolahnya selalu disiapkan sendiri. Belajar dan mengerjakan PR pun sendiri. Yang penting ada aku di sampingnya, meski sudah terlelap, dia tetap semangat belajar. Sangat bertanggung jawab.


Lalu, kami pun duduk lesehan di lantai, membuat lingkaran. Sudah seperti kajian saja. Dan, mulailah anak-anak bercerita kegiatan mereka hari ini. Saling berebut bicara, ingin menjadi yang pertama dan menjadi pusat perhatian. 


"Umi tahu, nggak? Tadi Bu guru cerita, katanya, ada anak yang menderita di kubur karena sering menunda salat?" Tutur Azmi memulai ceritanya.

"Oya? Umi belum pernah denger," jawabku terus terang.

"Ih, pokoknya serem deh. Aku juga lupa tadi cerita sebenarnya kayak gimana. Pokoknya serem, deh!"

"Ih! Mbak Azmi mah, ceritanya nggak jelas!" Potong adiknya yang kecewa tidak bisa mendengarkan kelanjutan ceritanya. 

"Kalau aku tadi di sekolah main petak umpet Mi. Terus, kakiku berdarah," cerita Hakim dengan semangat. Anak ini memang paling tangguh dan paling bisa menahan rasa sakit. Pernah terkena pisau, dia hanya nyengir. Sama seperti kali ini. Cerita berdarah pun mengalir layaknya cerita biasa yang tak penting. Padahal ...


"Ha? Terus gimana? Sakit nggak? Mas Hakim nangis, nggak?" Tuh, uminya sudah khawatir banget. Anaknya mah, nyantai aja.


Begitulah keseruan anak-anak saat menceritakan kisah mereka. Saling bersahutan dan tak mau mengalah.


"Sssst ... Coba, bicaranya satu-satu. Satu orang berbicara, yang lain mendengarkan. Oke?"


"Oke, Mi!" Jawab mereka serentak seperti dikomandoi.

Itu dulu, saat kelima mutiaraku masih berkumpul di rumah. Kini, saat ketiga mutiara mulai mondok, momen itu jarang terjadi lagi. Kumpul bareng, melingkar lesehan di lantai. Seru!

Kini, kalau pun ada saat bercerita dan bercanda, hanya dengan dua anak. Tak seramai dulu. Meskipun anak bungsu tak pernah kehabisan bahan cerita. Seperti tak punya rasa lelah. 

Meski kebersamaan itu sudah jarang terjadi, semoga kami bisa selalu bersama hingga nanti di surga-Nya. Berkumpul dan bercengkerama di surga Allah ta'ala. Aamiin.