Friday, July 31, 2020

Cublak-Cublak Suweng

                         Sumber: Google

Bismillaah


"Mi, laper," keluh si bungsu yang baru belajar puasa. Padahal jam dinding baru menunjukkan pukul 10. Tapi dia sudah merengek lapar. Harus mencari cara untuk mengalihkan rasa laparnya, nih. Saya pun memutar otak mencari solusinya.


"Kita main Cublak-Cublak suweng yuk ..., " ajak saya yang langsung direspons oleh anak-anak.

"Main apa Mi?" Tanya anak-anak penuh rasa ingin tahu.

"Ini permainan umi waktu kecil. Pertama, kita hompimpa dulu untuk menentukan siapa yang jaga. Yuk," ajak saya memulai permainan.


"Hom-pim-pa alaiyung gambreng!!!" Seru mereka serempak sambil membentangkan jari tangan. Ada yang telapak tangannya menghadap ke bawah, ada yang ke atas. Telapak tangan yang tidak ada temannya, maka dia yang jadi Pak Empo.

"Nah, Adik yang jadi Pak Empo," tunjuk saya kepada si bungsu.

"Pak Empo itu apa Mi?" Tanyanya bingung.

"Pak Empo yang jadi, Dik. Berarti Adik tengkurap, seperti sujud. Nanti yang lain bermain dengan cara meletakkan tangannya di atas punggung Adik dalam keadaan terbuka. Lalu salah seorang dari kita, menjalankan sebuah kerikil di antara telapak tangan itu sambil menyanyi." 

"Nyanyi apa Mi?" Tanya mereka tak sabar mendengarkan penjelasan saya.

cublak-cublak suweng
suwengé ting gelèntèr
mambu ketundung gudhèl
pak empo lirak-lirik
sapa ngguyu ndelikaké
sir, sir pong delé kopong
sir, sir pong delé kopong

"Nah, saat lagunya berhenti, kerikilnya dipegang oleh orang yang terakhir. Lalu Pak Empo menebak, siapa yang memegang kerikil itu. Kalau berhasil ditebak, berarti orang itu yang jadi. Kalau tidak tertebak, berarti Adik jadi lagi," jelas saya panjang lebar. Meskipun masih agak bingung, anak-anak mengangguk-angguk seperti paham 

"Ya udah. Kita main aja langsung, Mi," ucap si kakak sudah tak sabar.

"Ayuuuuk!!!" Seru yang lain dengan kompak.

Alhamdulillaah, permainan itu berhasil mengalihkan rasa lapar si bungsu dan kakak-kakaknya. Hampir setiap hari mereka minta saya untuk bermain Cublak-Cublak Suweng ini. Mungkin karena permainan baru dan langka, mereka seperti tak ada bosannya. Justru saya yang bosan dan capek mengikuti keinginan mereka.

Permainan yang murah meriah ini sungguh bermanfaat bagi kami sekeluarga. Selain membuat hati anak-anak gembira, anak-anak pun semakin kompak dan rukun.

Saturday, July 25, 2020

Penyejuk Hatiku


Bismillaah


Buah hati adalah amanah Allah yang dititipkan-Nya kepada kita, orang tua. Amanah yang sangat menyenangkan. Siapa sih, pasangan pengantin yang tidak mendambakan kehadiran buah hati, permata yang menjadi perhiasan kehidupan? Hampir semua orang tua pasti merindukan kehadirannya. Bahkan saat penantian seperti tak ada ujungnya, segala ikhtiar dilakukan demi hadirnya sang buah hati.


Kelahirannya ditunggu dan dinanti dengan harap cemas dan persiapan yang luar biasa lengkap. Seolah menyambut kedatangan seorang raja yang telah lama meninggalkan negeri. Kini ia hadir dan disambut dengan luar biasa meriah.


Tangisnya menjadi suara paling merdu yang pernah ada di bumi. Kerepotan yang diciptakannya, membahagiakan kedua orang tua. Celotehnya dinanti sepanjang hari. Kerapian dan kebersihan rumah tak penting lagi bila sang buah hati sedang bereksplorasi. Semua indah di mata.


Amanah tak lagi terasa berat. Ringan dan menyenangkan. Karena ia adalah qurrota a'yun, penyejuk mata yang selalu dinanti dan dirindu. Tak ingin lepas dan menjauh darinya.


Qurrota a'yun menjadi cita setiap orang tua. Berbagai cara dilakukan dan dijalankan untuk mewujudkannya. Buah hati akan menjadi penyejuk mata bila ia sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua. Bagus Budi pekertinya, taat dan patuh kepada Allah dan orang tuanya, akhlak karimah selalu menghiasi hari-harinya.


Maka, pembentukannya berawal dari sang orang tua. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Karakter seorang anak, tak jauh berbeda dengan orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan teladan yang baik, tuntunan yang shahih, dan pengajaran yang mengacu pada kurikulum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.


Penyejuk mata, terlihat indah dari perilaku dan tutur kata, bukan dari nilai rapor yang sempurna. Karena setiap anak unik dan istimewa, jangan pernah membebankan ambisi diri kepadanya. Burung tak mungkin bisa berenang. Begitu pun katak tak mungkin terbang ke angkasa. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda dengan yang lainnya.


Setelah segala ikhtiar dimaksimalkan, niat ikhlas karena Allah harus tetap dijaga. Keinginan untuk menjadikan anak sebagai tempat bergantung di usia senja kelak, adalah sesuatu yang terlarang dan tak pantas dilakukan.

Biarlah usaha kita mendidik dan memanusiakan mereka, menjadi ladang pahala di sisi Allah. Masalah nanti saat badan melemah siapa yang akan peduli, biarlah itu menjadi rahasia-Nya. Seorang hamba hanya berkewajiban untuk berusaha. Hasilnya merupakan hak prerogatif Allah yang tak bisa diutak-atik.


وَا لَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَـنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَا مًا


"Dan orang-orang yang berkata, Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Furqan: Ayat 74)




EEPK #1


Bismillaah

Kembali saya merasakan nikmat Allah yang begitu luar biasa. Banyak sekali nikmat-Nya yang telah saya rasakan. Salah satunya dipertemukan dengan orang-orang shalih nan hebat. Di antaranya adalah Pak Cahyadi Takariawan dan isteri beliau Bu Ida NurLaela.

Kali ini saya diberi kesempatan oleh Allah untuk menimba ilmu kepada mereka dalam rangka membuat buku solo. Akhirnya, impian yang selama ini hanya di awang-awang, mulai terlihat jelas dan nyata. Meski tidak mudah mewujudkannya, saya merasa optimis dengan wasilah bimbingan beliau berdua.

Guru-guru yang sangat sabar, telaten, dan rendah hati. Itulah mereka. Mengganggap murid setara dengan gurunya. Tak pernah merasa lebih hebat dari orang lain. Sehingga kami pun bisa dengan leluasa mengeluarkan uneg-uneg dan mengadukan kesulitan dalam merajut kata.

EEPK, Emak-emak Punya Karya, kelas menulis yang tidak hanya sekadar menulis. Namun, di sini kami belajar bagaimana merajut kata agar mengedepankan kebenaran, kebermanfaatan, dan etis. Sehingga yang kami tulis tidak hanya memuaskan dahaga penghiburan, namun juga mengisi relung keimanan. InsyaaAllah.

Jazakumullahu khairan katsira Pak Guru dan Bu Guru. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Anda berdua dengan pantas. Semoga keberkahan dan rahmat-Nya selalu mengiringi aktivitas Gurunda berdua. Mohon bimbingannya agar impian ini segera nyata. 🙏😊.

Sunday, July 19, 2020

Kenangan Indah


Bismillaah



"Umi pulang!" Sambut si bungsu sambil berlari menghampiriku.
" Yee ... Umi udah pulang!" Tak kalah kakaknya ikut menyambut dengan riang.

"Assalamualaikum ...," ucapku sambil mengelus dan mencium mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka dengan kompak.

Baru saja meletakkan tas, Azmi datang langsung memelukku dan bertanya, "Umi kok, pulangnya lama?"

"Biasa Mbak, rapat dulu," ujarku balas memeluknya. Gadis kecilku yang satu ini memang kolokan. Tetapi dia juga sangat mandiri. Semua kebutuhan sekolahnya selalu disiapkan sendiri. Belajar dan mengerjakan PR pun sendiri. Yang penting ada aku di sampingnya, meski sudah terlelap, dia tetap semangat belajar. Sangat bertanggung jawab.


Lalu, kami pun duduk lesehan di lantai, membuat lingkaran. Sudah seperti kajian saja. Dan, mulailah anak-anak bercerita kegiatan mereka hari ini. Saling berebut bicara, ingin menjadi yang pertama dan menjadi pusat perhatian. 


"Umi tahu, nggak? Tadi Bu guru cerita, katanya, ada anak yang menderita di kubur karena sering menunda salat?" Tutur Azmi memulai ceritanya.

"Oya? Umi belum pernah denger," jawabku terus terang.

"Ih, pokoknya serem deh. Aku juga lupa tadi cerita sebenarnya kayak gimana. Pokoknya serem, deh!"

"Ih! Mbak Azmi mah, ceritanya nggak jelas!" Potong adiknya yang kecewa tidak bisa mendengarkan kelanjutan ceritanya. 

"Kalau aku tadi di sekolah main petak umpet Mi. Terus, kakiku berdarah," cerita Hakim dengan semangat. Anak ini memang paling tangguh dan paling bisa menahan rasa sakit. Pernah terkena pisau, dia hanya nyengir. Sama seperti kali ini. Cerita berdarah pun mengalir layaknya cerita biasa yang tak penting. Padahal ...


"Ha? Terus gimana? Sakit nggak? Mas Hakim nangis, nggak?" Tuh, uminya sudah khawatir banget. Anaknya mah, nyantai aja.


Begitulah keseruan anak-anak saat menceritakan kisah mereka. Saling bersahutan dan tak mau mengalah.


"Sssst ... Coba, bicaranya satu-satu. Satu orang berbicara, yang lain mendengarkan. Oke?"


"Oke, Mi!" Jawab mereka serentak seperti dikomandoi.

Itu dulu, saat kelima mutiaraku masih berkumpul di rumah. Kini, saat ketiga mutiara mulai mondok, momen itu jarang terjadi lagi. Kumpul bareng, melingkar lesehan di lantai. Seru!

Kini, kalau pun ada saat bercerita dan bercanda, hanya dengan dua anak. Tak seramai dulu. Meskipun anak bungsu tak pernah kehabisan bahan cerita. Seperti tak punya rasa lelah. 

Meski kebersamaan itu sudah jarang terjadi, semoga kami bisa selalu bersama hingga nanti di surga-Nya. Berkumpul dan bercengkerama di surga Allah ta'ala. Aamiin.

Thursday, July 16, 2020

Emak Sibuk Bagaimana Bisa Menulis Buku? (resume)



Judul buku: Emak Sibuk Bagaimana Bisa Menulis Buku?

Penulis: Cahyadi Takariawan

Penerbit: Wonderful Publishing

Cetakan: Juli 2020

"When you say you don't have the time, what you are really saying is: Something else is more important right now than writing." (Victoria Lynn Schmidt, Ph.D.)

Membaca kalimat itu, rasanya seperti di-skak mat. Tak berkutik. Ternyata kalau selama ini tak ada waktu untuk menulis, yang sebenarnya terjadi adalah menulis belum menjadi prioritas kegiatan. Belum menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Aktivitas lain lebih penting dan lebih utama. Padahal, katanya mau jadi penulis, tapi menulis masih dinomorsekiankan.

Setiap emak pasti banyak kesibukan. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menulis. Bagi mereka yang ingin menjadi penulis. Lain halnya kalau ingin menjadi pebisnis.

Nah, biar buku yang digadang-gadang bisa terwujud dalam bentuk yang indah, kita perlu perhatikan beberapa poin ini. Pertama, tentukan dulu tema buku yang akan kita lahirkan. Setelah itu pilih jenis atau genre buku tersebut. Misalnya kita memilih jenis buku non-fiksi dengan genre kisah berhikmah.

Lalu, tetapkan juga segmen pembaca yang ingin kita bidik. Apakah anak-anak, pemuda, orang tua, guru, pebisnis, atau yang lainnya. Pilihan ini sangat bermanfaat untuk memilih diksi penulisan buku agar bahasanya _nyambung_.

Berikutnya, kita perlu merancang bentuk buku. Termasuk bentuk buku adalah ukuran buku, apakah A5, dan tebalnya berapa halaman.

Yang tak kalah pentingnya adalah menetapkan target penulisan buku. Empat hari (seperti Pak Cah), sebulan, dua bulan, atau setahun. Dengan menetapkan target, mudah-mudahan bisa membuat kita disiplin dan berusaha mencapai tujuan tepat pada waktunya.

Langkah selanjutnya adalah membuat outline buku. Outline ini, semacam kerangka atau garis besar buku yang akan ditulis. Terdiri dari berapa bab dan berapa sub-bab. Dengan membuat outline, diharapkan tulisan kita akan selalu berada di jalan yang benar, tidak menyimpang dari tema yang sudah dicanangkan di awal.

Dan yang terakhir, memiliki jadwal kerja harian. Bukan kerja kantor atau kerja nyuci, tetapi kerja menulis buku. Ada yang punya ide lancar saat pagi hari, ada pula yang di siang atau malam hari. Apa pun waktunya, intinya adalah disiplin.

Tuesday, July 14, 2020

Ada Apa dengan Buku? (ringkasan)




Judul            : Ada Apa Dengan Buku?
Penulis         : Cahyadi Takariawan
Penerbit       : Wonderful Publishing
Terbit          : Juli 2020


Bismillaah


Buku adalah keabadian, warisan, kenangan sepanjang zaman, amal jariyah yang bisa memberikan pahala berkekalan.


Rasulullah bersabda:
“Manusia yang paling dicintai di sisi Allah adalah yang banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain.” (HR. Thabrani)

Menulis buku memberikan banyak manfaat. Antara lain:
1.       Menambah pengetahuan
2.       Menumbuhkan semangat
3.       Meneguhkan pendirian
4.       Memberikan solusi
5.       Mengajak petualangan mengasyikkan
6.       Memberikan hiburan
7.       Menjalin ikatan


Selain memberikan banyak manfaat, menulis buku merupakan salah satu cara mengikat ilmu.

Ø  Imam Syafi’i rahimahullah
“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan, jika engkau memburu kijang, setelah itu engkau biarkan terlepas begitu saja.”

Ø  Rasulullah 
“Ikatlah ilmu dengan kitab (yaitu: dengan menulisnya).”

Dari Abdullah bin Umar r.a., dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ilmu harus diikat?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apa pengikatnya?” Beliau menjawab, “Buku (tulisan).” (HR. Ath Thabrani)

Ø  Anas bin Malik r.a.
“Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu ini (dengan tulisan).” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi)

Ø  Mu’awiyah bin Qurrah Abu Iyas
“Dahulu dikatakan, ‘Barangsiapa yang tidak menuliskan ilmunya, maka ilmunya itu tidak akan kembali menjadi ilmu.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi)

Ø  Asy Sya’bi
“Apabila engkau mendengar sesuatu (ilmu), maka catatlah meskipun pada dinding.” (Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dan Ad Dulabi)

Buku Mengabadikan Kebaikan
Karena dengan dituliskan, orang-orang yang hidup di kemudian hari masih bisa menikmati ilmu dan kebaikan yang ditulis tersebut. Termasuk sunnah-sunnah Nabi. Apa jadinya bila tidak dituliskan? Mungkin kita tidak akan tahu.

Modal Dasar Membuat Buku

1.       Hasrat yang hebat
Salah satu cara menumbuhkan hasrat adalah dengan mencetak buku dummy.

2.       Tekad kuat tanpa syarat

3.       Disiplin menulis; dengan menaati dan mematuhi peraturan seperti Zona Waktu Menulis (ZWM), Zona Tempat Menulis (ZTM), dan Sarana Khusus Menulis (SKM).

4.       Komitmen untuk menulis buku

5.       Waktu untuk menulis

Dari Mana Hadirnya Buku?


Berawal dari makna (meaning). Apa makna membuat buku bagi saya?
Menulis buku merupakan salah satu cara saya untuk mengungkapkan perasaan. Selain itu, saya juga ingin berbagi pengalaman dan sedikit ilmu yang saya miliki kepada para pembaca tulisan saya. Dengan menulis, saya juga ingin mengabadikan kebaikan yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, sehingga bisa menjadi salah satu amal jariyah  yang pahalanya akan terus mengalir meski nyawa sudah berada dalam genggaman Sang Pemiliknya. Saya ingin seperti para ulama yang kitabnya masih dibaca dan diamalkan hingga saat ini, padahal mereka sudah meninggal ratusan tahun yang lalu.

Tentang tujuan (goal) saya dalam menulis adalah ingin berbagi hikmah kehidupan yang telah saya alami agar pembaca nantinya bisa terinspirasi dan termotivasi.

Keuntungan/kemanfaatan (benefit) yang ingin saya peroleh dari buku adalah kepuasan telah memiliki buku solo yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Meski tidak dipungkiri, saya pun berharap bisa seperti Pak Cah yang telah melanglang buana karena buku.

Mendapatkan Ide Menulis

Pertama, dari hal-hal prinsip
1.       Tujuan menulis
2.       Idealisme
3.       Dari visi hidup


Kedua, dari diri sendiri
1.       Dari perenungan dan penghayatan sendiri
2.       Dari kondisi jiwa dan perasaan
3.       Dari dunia yan gkita geluti sehari-hari
4.       Dari hobi
5.       Dari berbagai kejadian yang dialami
6.       Dari sakit
7.       Dari kegagalan
8.       Dari keterbatasan diri
9.       Dari keinginan
10.   Jatuh cinta


Ketiga, dari lingkungan sekitar
1.       Kondisi masyarakat di kampung
2.       Bencana dan musibah
3.       Jalan yang rusak
4.       Robohnya surau kami


Keempat, dari kehidupan sehari-hari
1.       Dari pengalaman dan kegiatan sehari-hari
2.       Dari pelaksanaan amanah dan tugas profesi kita
3.       Dari pengalaman perjalanan
4.       Dari organisasi
5.       Dari pengalaman belanja
6.       Dari film dan drakor yang enak ditonton
7.       Bahan ajar


Kelima, dari bacaan
1.       Dari kitab rujukan
2.       Dari tulisan orang lain
3.       Dari berita di media massa


Keenam, dari orang lain
1.       Dari kisah dan cerita orang lain
2.       Dari “paksaan” pihak lain
3.       Dari ide orang lain
4.       Dari obrolan di forum arisan, majelis taklim, mal, atau di pasar
5.       Dari celoteh anak-anak
6.       Dari pertanyaan yang tidak mampu kita jawab
7.       Dari kejadian yang menimpa orang lain


Ketujuh, dari lingkungan global
1.       Dari kondisi dunia
2.       Dari sisi lingkungan hidup
3.       Pasar bebas, politik perdagangan


Hal yang Anda sukai, akan mudah menjadi tulisan. Menulislah dari sesuatu yang kita sukai.

“If you wait for inspiration to write, you’re not a writer, you’re a waiter.”
(Dan Poynter)



Ide menulis saya:
1.       Tentang dunia mengajar, karena saya seorang guru
2.       Tentang anak-anak saya tercinta, yang sangat beragam karakter dan keinginan
3.       Tentang hikmah kehidupan yang telah saya dapatkan selama ini


#emakemakpunyakarya

Saturday, July 11, 2020

Workshop

Bismillaah


Hari ini, Sabtu, 11 Juli 2020, kami mengikuti workshop di perpustakaan AHIS. Biasanya, sebelum masa pandemi, workshop dilaksanakan di hotel. Tapi, demi keamanan dan keselamatan bersama, kali ini cukup di sekolah saja. 


Workshop ini merupakan puncak raker (rapat kerja) semester 1 tahun ajaran 2020/2021. Kalau di raker hanya diikuti oleh kepala sekolah dan guru, di workshop ini ikut hadir pula Direktur Pendidikan AHIS, Ustadz Hasan Ishak. 


Sebelumnya, acara ini dinamakan Musyker (musyawarah kerja) dan selalu dihadiri oleh pengurus yayasan Al Hidayah, selain civitas akademika AHIS. Namun sudah dua tahun ini berganti nama menjadi workshop dan dari pihak yayasan hanya diwakili oleh direktur pendidikan. Masalah yang dibahas pun berkaitan dengan teknis pembelajaran beserta target dan capaian yang telah diraih selama setahun. 


Workshop kali ini membahas tentang materi pokok yang akan diberikan kepada siswa selama BDR (Belajar dari Rumah). Diawali dari pemaparan oleh korlas (koordinator kelas) 1, kelas 2 dan 3. Selanjutnya presentasi dari KKG (Kelompok Kerja Guru) mata pelajaran kelas 4, 5, dan 6. Saya mendapat kesempatan pertama kali untuk menyampaikan materi pokok apa saja yang akan disampaikan dalam pelajaran bahasa Indonesia. 

Masukan dan saran yang diberikan oleh kepala sekolah adalah agar materi bahasa Indonesia lebih disederhanakan, diutamakan yang mudah-mudah saja, mengingat pelajaran jarak jauh pasti berbeda dengan tatap muka langsung. Jadi target pencapaiannya jangan terlalu tinggi.


Setelah itu dilanjutkan dengan mata pelajaran lainnya. Terakhir adalah pemaparan dari KKG bahasa Inggris yang mendapat pujian dari Bapak Direktur karena beliau, Pak Mahlil, sangat memahami kelebihan dan kekurangan siswanya. Seperti itulah seharusnya, seorang guru.


Poin utama yang dapat disimpulkan dari workshop kali ini adalah bahwa KBM (kegiatan belajar mengajar) selama 6 bulan ini, hendaknya disajikan secara menarik dan mudah. Tidak perlu mengejar target kurikulum. Siswa jangan terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang sulit, karena guru tidak bisa membimbing langsung seperti saat di kelas.

Beberapa catatan yang diberikan oleh Ustadz Hasan setelah pemaparan materi-materi pokok tadi adalah bahwa kita harus mengacu kepada profil lulusan sekolah ini. Di antaranya adalah lulusan AHIS harus sudah hafal juz 30, pandai membaca, menulis, dan berhitung, serta memiliki akhlak dan adab yang baik. Kemampuan selain itu, merupakan bonus yang perlu kita syukuri. Namun, tujuan utama kita mengajar adalah menjadikan anak-anak yang berakhlak mulia dan memiliki kemampuan-kemampuan dasar tersebut.

Selain itu, beliau juga mengingatkan bahwa setiap anak memiliki potensi untuk menjadi yang terbaik. Jangan pernah meremehkan siswa karena setiap diri sudah dikaruniai Allah satu paket kelebihan dan kekurangan. Dan, bisa jadi, kekurangan atau kelemahan anak hari ini, justru menjadi keunggulannya di masa depan. 

Seperti teman beliau yang datang ke Pakistan dengan kemampuan bahasa Arab nol. Namun karena dia merasa tertantang, kini justru menjadi orang yang sangat menguasai bahasa tersebut dan menjadi salah satu yang terbaik. 


Jadi ingat seorang guru virtual saya, Kak Budi Waluya. Meskipun beliau jauh lebih muda daripada saya, tapi ilmunya jauh lebih banyak. Begitu juga amalnya. Waktu sekolah beliau tidak suka dengan bahasa Inggris. Namun saat mendaftar kuliah, beliau justru diterima di jurusan bahasa Inggris. Dan, itulah awal kecintaannya. Yang tadinya benci jadi cinta. Siapa sangka? Yang tadinya dianggap kurang dalam pelajaran tersebut, sekarang malah menjadi pakarnya.


Selesai S 1, beliau mendapat beasiswa S2 bahasa Inggris di negara asal bahasa tersebut. Lalu melanjutkan S3 dengan beasiswa di Amerika dengan jurusan yang sama. Sambil menyelesaikan S3, beliau juga mengajar secara virtual melalui grup Facebook. Jadi, belajar online itu memang sudah ada sejak lama. Namun, sistem ini baru terasa saat pandemi ini.

Terus terang, saya iri dengan beliau. Usia masih sangat muda, amalnya sudah banyak. Mengapa? Karena beliau mengajari ribuan orang melalui grup Facebook tersebut. Setelah itu, program belajar dipindah menggunakan website.


Itulah contoh seorang yang tadinya dianggap tidak bisa dan tidak mampu, ternyata bisa menjadi yang terbaik. Karena dia termotivasi dan tertantang dengan ketidakmampuannya itu.


Seperti kata Tere Liye, seorang anak memiliki janji kehidupan yang lebih baik. Jangan pernah meremehkan mereka. Mereka adalah kuncup-kuncup bunga yang siap mekar dan memesona sekitarnya, bila disiram dan dirawat dengan penuh kasih dan motivasi. Bukan dengan celaan atau pun dikecilkan.


Semoga saya dan seluruh guru dan orang tua di dunia ini bisa mendidik dan mengajar dengan baik. Sehingga anak-anak semakin termotivasi untuk menjadi lebih baik dan terbaik di bidangnya masing-masing. Aamiin.

Thursday, July 9, 2020

My Story (2)




Bismillaah

Baru enam bulan istirahat, tidak mengajar, datang tetangga depan rumah yang memiliki sekolah baru. Beliau meminta saya untuk mengajar di SD yang baru dirintis. Sebelumnya, saya sempat membantu mengajar di TK beliau yang sudah lebih dulu berdiri. Sewaktu resign dari SMK, saya juga resign dari TK tersebut. Kini, beliau mengajak untuk bergabung di SD.

Setelah berdiskusi dengan suami dan karena faktor tidak enak dengan tetangga, akhirnya saya terima tawaran itu meski anak ketiga baru berusia 6 bulan. Alhamdulillaah saya cuma mengajar bahasa Inggris sepekan sekali, jadi tidak lama saya meninggalkan si kecil.

Tujuh tahun saya mengabdi di sana. Dari hanya sebagai guru bidang studi bahasa Inggris, lalu ditambah menjadi guru tahfidz, wali kelas, dan akhirnya kepala sekolah SMP yang baru berdiri. Ibarat pohon, semakin tinggi, semakin kencang angin yang menerpanya. Begitu pula jabatan. Semakin tinggi, semakin berat beban dan tantangannya. Tapi memang hidup ini penuh tantangan dan perjuangan.


Tujuh tahun mengabdi di sekolah tersebut, ternyata harus berakhir pedih. berawal dari ketidaksetujuan saya terhadap kebijakan yayasan, mengantarkan saya untuk resign di tengah semester. Dengan berat hati saya tinggalkan sekolah yang telah membesarkan saya, yang telah saya cintai, yang telah memberikan banyak makna terhadap hidup saya. Sungguh sebuah sad ending yang memilukan.

Lalu saya memulai perjalanan baru di sekolah yang sekarang. Menjadi guru baru di sini, tidak seperti di sekolah-sekolah sebelumnya. Maklum, sekolah elit. Segala tingkah laku dan profesionalitas kerja kita sangat dipantau dan dituntut. Lebih-lebih kalau bertemu dengan orang tua siswa yang sekaligus merupakan rekan kerja. Itulah masa-masa adaptasi pahit yang saya alami. Saking tak kuatnya, saya sampai menangis di toilet. Alhamdulillah, Allah masih menguatkan dan mengokohkan kaki saya. Hingga saya bisa melewati masa transisi itu dengan selamat dan bahagia.

Tak terasa, hampir tujuh tahun saya berada di sini. Suka dan duka tak pernah lepas dari yang namanya manusia hidup. Apalagi hidup bersosialisasi dengan beragam karakter. Namun, dengan semua itulah kita menjadi dewasa. Kita menjadi kuat, tidak baperan. Kita menjadi tahu, bagaimana seharusnya bersikap dan bertingkah laku agar tidak menyakiti atau mendzalimi orang lain.

Tujuh tahun ini sangat bermakna bagi saya. Di sekolah ini, lagi-lagi, saya bukannya mengajar tetapi malah belajar. Saya belajar bersabar. Saya belajar berempati. Saya belajar menahan hawa nafsu. Saya juga belajar banyak ilmu pengetahuan seperti metode pembelajaran, perkembangan anak, bahasa Arab, tahsin, dan lain-lain. Sungguh anugerah Allah yang tak ternilai. Alhamdulillaah wa syukurillah.

Sunday, July 5, 2020

My Story


Bismillaah

Perjalanan saya menjadi guru, tak semulus jalan tol. Banyak duri dan lampu merah yang sering menginterupsi lajunya. Kadang lancar, sering pula tersendat. Tapi semua bisa dijalani dengan penuh gejolak rasa.

Dimulai saat belajar di MTs (Madrasah Tsanawiyah, setara SMP), saya diminta membantu mengajar Pramuka dan PKS (Patroli Keamanan Sekolah). Bahkan saya dan beberapa teman mengajar di sekolah lain. Ternyata amanah itu membuat saya semakin percaya diri untuk berbicara di depan orang banyak. 

Menginjak bangku SMA, selain masih menjadi pembina Pramuka, tak dinyana-nyana, saya mendapat tambahan amanah dari seorang guru. Pak Suhud Eko Yuwono, guru bahasa Inggris favorit saya, meminta tolong untuk menggantikan beliau mengajar. Saat itu ada kekurangan guru bahasa Inggris, sehingga dalam satu waktu beliau harus mengajar di dua kelas sekaligus. Nggak mungkin, kan? Akhirnya saya yang mengajar di kelas 2. Saat itu saya kelas 3. 

Bagaimana rasanya? Campur aduk pastinya. Antara senang, bangga, grogi, dan takut. Senang bisa membantu beliau. Bangga karena sudah menjadi asisten guru favorit dan mengajar pelajaran kesukaan. Grogi karena yang dihadapi adalah adik kelas yang postur tubuhnya banyak yang lebih tinggi dan lebih besar daripada yang mengajar. Takut kalau menyampaikan penjelasannya tidak sesuai dengan materi.

Namun, alhamdulillaah, saat-saat itu berjalan dengan lancar. Saya semakin suka dengan pekerjaan mengajar. Tapi, waktu itu impian saya ingin menjadi pengajarnya mahasiswa alias dosen.

Memasuki masa kuliah, ternyata kegiatan mengajar tidak bisa lepas dari saya, meskipun yang saya lakukan bukan mengajar secara formal di dalam kelas. Dimulai dengan mengisi kajian di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Rohis - Kerohanian Islam, juga membimbing siswa secara privat dari rumah ke rumah, serta di rumah sendiri. 

Begitu lulus kuliah dari Akademi Bahasa Asing, selang beberapa bulan, saya diterima menjadi instruktur bahasa Inggris di sebuah lembaga. Di sana, lagi-lagi, kemampuan mengajar saya semakin terasah. Menghadapi peserta didik yang beragam usia dan latar belakang, jenjang pendidikan, serta pekerjaan. Semua memberikan pengalaman luar biasa yang tak terlupakan.

Hampir lima tahun saya bergabung dengan lembaga pendidikan tersebut. Setelah menikah dan pindah tempat tinggal, otomatis saya harus resign. Sempat di rumah saja selama empat tahun, di tahun kelima, ada teman yang meminta agar saya ikut mengajar di sekolah tempatnya mengabdi. 

"Kasihan Bu, sudah dua pekan sekolah berjalan, tapi belum ada guru bahasa Inggris-nya," bujuk teman tersebut saat saya menanggapi dengan agak enggan. Maklum, anak kedua saya masih bayi, belum bisa ditinggal.

Setelah berdiskusi dengan suami dan mengajukan syarat agar diizinkan membawa anak saat mengajar, akhirnya saya pun bergabung dengan sekolah SMK tersebut. Namun karena anak sakit dan saya hamil anak ketiga, maka resign menjadi keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Pihak sekolah sempat keberatan sampai kepala sekolah dan wakilnya datang ke rumah untuk mengajak saya bergabung kembali.

"Mengajar itu ibadah, lho Bu. Pahalanya banyak," begitu pak kepala sekolah berusaha memengaruhi keputusan yang telah bulat.

"Mengurus anak juga ibadah, Pak. Lagi pula, kan, sudah ada guru baru, Pak," jawab saya berusaha tak terpengaruh. 

Ya, memang harus ada yang diprioritaskan, dan juga harus ada yang dikorbankan. Apalagi sebagai seorang perempuan yang memiliki ikatan. Ikatan sebagai isteri dan seorang ibu.


Saturday, July 4, 2020

Band Kesayangan (2)


Bismillaah

Fani hanya tertunduk menatap lantai saat ditanya seperti itu. Sepertinya dia sudah mulai tidak nyaman dengan tanya jawab itu. 

"Kamu nonton dengan siapa?" Desak Bu Indah mulai tak sabar.

"Sekeluarga ...," ujarnya dengan kepala tetap menunduk seperti bunga yang layu.

Selidik punya selidik, ternyata memang Mamanya yang memfasilitasi semua pernak-pernik yang berhubungan dengan para artis itu. Kaset VCD, gantungan kunci, poster, foto-foto, semua dibelikan. 

Sebagai wali kelas, saya tak bisa tinggal diam dengan masalah ini. Ini berkaitan dengan sikap Fani di kelas. Saat kegiatan belajar mengajar, dia sering ngobrol dengan teman sebangkunya, sehingga banyak tugas yang tidak tuntas. Selain itu, ketika diingatkan, Fani tidak langsung merespons. Dia seperti bengong dan tidak merasa bahwa dialah yang ditegur. Saatnya berdiskusi pun dia tidak terlibat aktif, banyak diamnya. Padahal kalau sedang ngobrol, ramai dan banyak tertawa. 

Akhirnya, saya ajak Fani untuk bicara dari hati ke hati. Tentang kesukaannya yang telah berpengaruh negatif terhadap sikapnya di kelas. Tak lupa saya selipkan juga bahaya yang mungkin terjadi di balik rasa sukanya itu. Termasuk, siapa dan bagaimana kehidupan para artis tersebut. Karena, selama ini mereka hanya silau dengan penampilan dan ke-glamouran artis-artis itu. Padahal di balik segala keindahan dan kemegahan, tersimpan kelamnya kehidupan mereka yang tentu saja sangat tidak pantas untuk ditiru.

Tak cukup hanya bicara dengan Fani. Masalah ini harus disampaikan juga kepada orang tuanya karena ada peran mereka dalam masalah ini.

Maka saat Mamanya datang ke sekolah, saya ceritakan apa yang terjadi, sekaligus cross check, apa benar beliau memberikan segala fasilitas, seperti cerita Fani. Ternyata beliau tidak terkejut.

"Memang benar Bu. Saya sengaja membelikan barang-barang itu, tapi tentu dengan beberapa persyaratan. Saya berharap hal ini bisa memuaskan rasa ingin tahunya. Dengan begitu dia tidak mencari ke sumber yang salah," tutur sang mama.

"Iya. Tapi ternyata dampaknya kurang bagus. Fani sering tidak fokus dan suka ngobrol, padahal guru sedang menjelaskan. Dia juga sering mengabaikan tugas yang diberikan," jelas saya dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan beliau.

"Terima kasih Bu sudah diingatkan. Ini tanggung jawab saya. Nanti akan saya kondisikan Fani agar lebih fokus."

"Kalau bisa nonton videonya juga dikurangi. Kemudian, pernak-pernik yang berkaitan dengan para artis itu, kalau bisa ya, disimpan saja di rumah, tidak perlu dibawa ke sekolah," pinta saya kepada sang mama.

Alhamdulillaah, anak dan orang tua bisa diajak kerja sama, sehingga masalah ini segera mendapatkan jalan keluar. Memang, untuk keberhasilan pendidikan seorang anak, tidak cukup dari peran orang tua saja, atau guru saja. Keduanya harus bersinergi, ditambah dengan peranan lingkungan, agar pendidikan terhadap anak membuahkan hasil yang diinginkan. Orang tua tidak boleh memasrahkan anaknya begitu saja kepada guru dan sekolah tanpa mau tahu. Tetapi harus bahu-membahu, sehingga apa yang diajarkan di sekolah, diharapkan bisa diterapkan juga di rumah. Dengan demikian, semoga generasi muda Indonesia menjadi generasi emas yang bisa memajukan bangsa dan negaranya. Aamiin.


Friday, July 3, 2020

Band Kesayangan (1)



Bismillaah

Setiap pekerjaan pasti ada risiko dan tantangan. Begitu pula menjadi guru. Tentu risiko dan tantangannya berbeda dengan seorang dokter. 

Guru SD memiliki tantangan yang berbeda dengan guru TK atau SMP. Guru kelas 1, tantangannya tidak sama dengan guru kelas 6. Kalau di kelas 1, mungkin tantangannya berkaitan dengan psikologi siswa yang masih belum bisa tertib di kelas atau belum mampu membaca. 

Sedangkan guru kelas 6, tantangannya terletak pada jiwa siswa yang sebagian besar berada pada masa prabaligh atau baligh. Kondisi ini membuat mereka mengalami hal-hal yang tidak biasa. Selain itu, rasa ingin tahu yang sangat besar membuat mereka mencoba dan menyukai hal-hal yang baru atau pun yang sedang trend. 

Itulah yang terjadi dengan siswa-siswa yang saya ajari. Ketika seorang guru memeriksa buku pelajaran seorang siswi, "Ini tulisan apa?" Tanya beliau saat melihat daftar nama artis luar negeri yang sedang disukai anak-anak muda Indonesia.


Ditanya begitu, siswi itu hanya tertunduk. Entah malu, atau merasa bersalah. Lalu mengalirlah nasihat dari Bu guru tersebut, sebut saja Bu Indah, dengan mengutip sebuah hadits:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Ya, kalau dilihat dari sikap anak-anak muda yang ngefans dengan artis luar negeri itu, mereka rela mengikuti gaya hidup mereka. Bahkan sampai model rambut dan bajunya. Termasuk gaya tarian. Di kelas, beberapa siswi sering tertangkap basah sedang menari seperti para artis tersebut sambil menyanyikan lagu-lagu mereka. Sedangkan di sekolah menyanyi termasuk sesuatu yang sangat dihindari. Kecuali bersyair tentang ilmu dan nilai-nilai Islam.

Sambil menasihati, Bu Indah tersebut juga berusaha mencari informasi seberapa jauh siswi-siswi kami menyukai para artis tersebut. 

"Kamu suka nonton ya?" Selidik Bu Indah. 
"Mmm ... Jarang sih, Bu," jawab siswi tersebut, sebut saja namanya Fani.

"Dia punya kasetnya, Bu," terang Ani, sahabatnya.

"Betul, kamu punya kasetnya?" Bu Indah semakin penasaran. Ternyata siswi ini sudah menjadi penggemar berat band luar negeri itu.

"Iya Bu. Dibeliin Mama."

"Terus, kalau nonton sendiri atau sama Mama?"

Bersambung

Thursday, July 2, 2020

Semangat Membara (2)

Bismillaah


Dan saya bersyukur sekali kepada Allah, sebelum memberikan ujian ini, Allah telah memberikan kesempatan belajar di tahun sebelumnya. Jadi, di antara 37 siswa itu, ada sekitar 50 % yang harus mendapatkan perhatian lebih dalam hal pelajaran matematika. Waktu itu, saya meminta kepada kepala sekolah agar pelajaran matematika dijadwalkan sekali pertemuan langsung 4 jam pelajaran. Kalau dikonversi dengan jam sesungguhnya, maka sekitar 2 jam lebih.

Dengan waktu dua jam itu, saya dan para siswa asyik berkutat dengan angka-angka, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan juga pembagian. Matematika dasar. Waktu dua jam serasa tidak cukup.

Ada salah seorang siswa yang terus terkenang hingga saat ini. Sebut saja namanya Dina. Dulu saat Dina kelas 3, membaca saja masih sulit, apalagi berhitung. Saya ingat sekali, ketika ulangan bahasa Inggris, semua soal dijawab dengan namanya. Di soal pertama, dia benar karena soalnya "What's your name?" Dia jawab, "Dina." Benar. Di soal berikutnya yang menanyakan kelas, alamat, dan hobi, dia jawab semua dengan "Dina".

Saat bertemu lagi di kelas 6, ternyata dia sudah banyak berubah. Dia semakin pintar dan memahami pelajaran. Tetapi, ketika bertemu pelajaran matematika, ternyata dia agak kewalahan. Akhirnya, saya pun mengajarinya dari nol, seperti siswa di tahun sebelumnya. Seperti mengajar anak TK. 


Tidak cukup belajar di kelas, Dina pun mengikuti pelajaran tambahan di rumah saya. Hampir setiap sore ia dan beberapa temannya belajar matematika. Dari yang tidak bisa menghitung, pelan-pelan ia mulai menguasai.

Seperti biasa, selama mengajar saya selalu selipkan kata-kata motivasi mengenai betapa pentingnya belajar. Juga tentang pentingnya mempelajari semua pelajaran yang diberikan guru, tidak hanya yang disukai. Alhamdulillaah, seiring berjalannya waktu, semangat belajar siswa semakin meningkat. Termasuk Dina.

Suatu saat saya bertanya kepadanya tentang cita-citanya. Ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi pedagang. Dan, untuk menjadi pedagang, ia harus bisa matematika. Itulah yang membuatnya semangat belajar matematika. MasyaAllah.

Setelah hampir satu semester, tibalah saatnya try out UN. Dan, kejutan buat saya. Dina yang belajar matematika dari nol, waktu itu mendapatkan nilai yang cukup bagus. Memang sih, baru 6 sekian. Tapi, bagi saya itu suatu hasil yang membanggakan. Ia yang tadinya menghitung 10 dikurangi 7 saja tidak bisa, sekarang mendapatkan nilai 6. Alhamdulillaah. Perjuangannya, pengorbanannya untuk tekun belajar matematika, telah menghasilkan buah yang manis. Baarakallahu fiik, Dina 🥰.


Wednesday, July 1, 2020

Semangat Membara


Semangat Membara

Bismillaah

Saat pertama kali ditunjuk sebagai wali kelas 6, hati saya dag-dig-dug. Maklum, belum pernah. Meski saat mengajar SMK pernah menjadi wali kelas juga, tapi kok rasanya beda, ya. 

Jelas berbeda, karena selain menjadi wali kelas, saya juga harus mengajar matematika. Padahal, sudah bertahun-tahun saya hanya mengajar bahasa Inggris. Seingat saya, belajar matematika itu ya, saat SMA. Sudah lama sekali, dan sudah banyak yang lupa. Apalagi saya tipe orang yang susah menghafalkan rumus.

Namun, karena ini amanah, saya tak boleh menolak, apalagi lari dari kenyataan. Tapi, saya kan tidak bisa matematika?

Begitu saya curhat kepada rekan sesama guru. Akhirnya beliau menawari saya untuk belajar matematika. Tentu saja, saya sambut tawaran itu dengan suka cita. Apalagi beliau ini memang jago matematika. 

Siang, selesai mengajar, saya les matematika dengan Bu guru tersebut, namanya Bu Sulastri Tri. Beliau dengan sabar dan telaten mengajari saya. Dari menggunakan teknik sederhana, sampai yang rumit. Dari cara tersingkat, sampai cara yang terlama dan detail. Semua beliau ajarkan. 

Malamnya, setelah anak-anak tidur, saya mulai latihan mengerjakan soal. Saya kerjakan soal-soal yang ada di buku siswa, supaya besok saat mengajar, saya sudah kuasai semua. Malu kan, kalau gurunya saja tidak bisa mengerjakan dan tidak tahu jawabannya?

Saking asyiknya menghitung angka-angka, tak terasa jam sudah menunjukkan angka 1 tengah malam. Saya sendiri sampai heran, mengapa saya bisa begitu tenggelam dalam soal-soal? Padahal, selama ini saya tak terlalu suka dengan pelajaran yang satu ini. Bahkan ketika tahu harus mengajar matematika, saya sempat sedih dan bingung.

Kembali ke amanah tadi. Saya berusaha ingin menjalankan amanah sebaik-baiknya karena nanti di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Saya juga ingin bersikap profesional. Saya sudah berniat menjadi guru, maka saya harus profesional, saya harus mampu dan menguasai pekerjaan saya. Terakhir, saya suka dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru memang kadang terlihat sulit karena kita belum terbiasa. Kalau sudah tahu ilmunya, yang sulit bisa jadi mudah. InsyaaAllah.


Tahun kedua di kelas 6, saya mendapat tantangan baru. Alhamdulillaah, saya sudah mulai terbiasa dengan pelajaran di kelas 6, dan sedikit demi sedikit mulai menguasai materi maupun manajemen kelas. Modal ini membuat saya lebih percaya diri ketika menghadapi masalah.

Di tahun sebelumnya, mengajar matematika adalah tantangan yang cukup berat. Alhamdulillaah, saya bisa melaluinya dengan baik. Meski ada beberapa anak yang harus belajar matematika dari nol. Ya, meski mereka sudah kelas 6, ternyata masih ada juga yang belum paham pengurangan. Iya, pengurangan. Hal ini membuat saya harus mengajarinya seperti anak TK. 10 di mulut, 2 di jari. Hitung mundur. Begitu.

Ternyata di tahun kedua, tantangannya lebih berat. Kalau di tahun pertama, siswanya cuma 12, kalau tidak salah, jadi bisa ditangani dengan baik. Nah, di tahun kedua, siswanya langsung melonjak jauh. Ada 37 siswa. Cukup merepotkan, kalau dibilang repot. Alhamdulillaah, Allah memberi ujian di saat saya sudah mulai mampu. Jadi, benar sekali kalau Allah subhanahu wata'ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ 

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah: Ayat 286)

Bersambung