Saturday, January 26, 2019

Minyak But-but



Bismillaah


Setiap keluarga bisa dipastikan memiliki obat P3K, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. Apalagi yang masih memiliki balita, wajib menyimpan obat-obatan ini untuk jaga-jaga, bila ada hal-hal yang tidak diinginkan. Paling tidak, kita memiliki obat merah, atau kalau zaman saya kecil dulu disebut tentir.   Obat ini termasuk obat luar, jadi tidak boleh diminum. Bentuknya berupa cairan. Cara penggunaannya adalah dengan diteteskan atau dioleskan pada bagian tubuh yang terluka. Luka di sini, adalah luka ringan seperti lecet, tergores, atau terkena benda tajam. Dengan menggunakan obat ini, insyaaAllah lukanya akan cepat mengering. Obat ini masuk ke dalam salah satu daftar obat favorit anak-anak, termasuk saya. Sedikit-sedikit, cari tentir. Lecet sedikit, yang sebenarnya kalau dibiarkan juga akan sembuh sendiri, juga diberi tentir. Memakai tentir sudah seperti gaya hidup saja.


Saya pun begitu. Di rumah tersedia lemari P3K, yang salah satu isinya adalah tentir. Namun ternyata kepopuleran tentir saat ini sudah mulai menurun, terutama di keluarga saya dan di sekolah tempat saya mengajar dan belajar. Mengapa? Karena sekarang ada obat dengan jenis dan fungsi yang hampir sama dengan tentir. Obat apakah itu? Tidak lain dan tidak bukan, adalah MINYAK BUT-BUT. Mungkin banyak yang masih belum kenal dengan minyak yang satu ini. Kalau minyak tanah, minyak goreng, minyak wangi, atau minyak zaitun, pasti semua orang sudah familiar. Tapi, minyak But-but? Apakah ini ada hubungannya dengan burung Hud-hud? Tentu tidak.
Click
Minyak But-but, bukan sembarang minyak. Karena minyak ini memiliki multi fungsi. Bisa untuk obat luar, bisa pula untuk obat dalam. Keren, kan? Kok bisa? Apakah tidak berbahaya? InsyaaAllah tidak berbahaya. Mau tahu, mengapa minyak ini aman dikonsumsi? Karena ia terbuat dari bahan rempah-rempah alami yang aman dan ramah untuk tubuh manusia. Itulah rahasianya.

Sama seperti tentir, minyak ini bisa digunakan untuk mengobati luka ringan. Bahkan, pengalaman yang terjadi pada anak-anak saya. Waktu itu anak laki-laki saya, Mufid, jatuh di lantai sehingga dagunya sobek. Kulitnya sobek sekitar satu sentimeter. Menurut cerita teman-teman sesama emak-emak, luka selebar itu kalau ditangani dokter, pasti sudah dijahit. Masya Allah. Sedangkan yang saya lakukan kepada Mufid, bukannya ke dokter, malah cuma saya olesi dengan minyak But-but. Dan, apa yang terjadi? Tidak sampai satu pekan, lukanya menutup dan kering. Alhamdulillah, atas izin Allah, dengan perantara minyak But-but, kami tidak perlu berobat ke dokter, yang pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Alhamdulillah.


Sembuh dagunya, ganti betisnya terkena knalpot motor yang masih panas. Astaghfirullah. Memang anak laki itu terlalu aktif atau bagaimana ya? Ada, saja kejadian. Tapi, alhamdulilah cuma kecelakaan kecil. Langsung saja saya olesi dengan obat andalan keluarga kami. Apalagi kalau bukan minyak But-but? Namun pengobatan untuk kulit yang terkena knalpot ini lebih lama daripada yang dagunya sobek. Meski demikian, kami bersyukur, anaknya tidak rewel, dan lagi-lagi, bisa menghemat dengan tidak perlu ke dokter. Alhamdulillah.



Lalu, apa buktinya kalau minyak ini juga aman untuk dikonsumsi? Kalau saya pribadi belum pernah mencoba, karena tidak kuat dengan baunya yang menyengat. Tapi menurut teman-teman yang sudah mencoba, minyak ini bisa untuk mengobati batuk. Bagaimana caranya? Caranya, tuang minyak But-but ke dalam sendok makan, lalu panaskan di atas api sedang hingga terasa hangat. Setelah itu, diminum, deh. Alhamdulillah, atas izin Allah, mereka yang mempraktikkannya bisa sembuh dari batuknya. Perlu diingat ya, namanya obat, tentu tidak sekali minum langsung sembuh. Perlu diulang beberapa kali tergantung sakitnya. Ada yang hanya 1-2 hari sembuh, ada yang berhari-hari, seperti kasus Mufid di atas.


Tapi saat ini, minyak But-but sudah tidak bisa kita temukan lagi. Lalu, pakai obat apa dong? Tak perlu risau. Sebenarnya minyak But-but bukannya tidak ada, hanya berganti nama. Berubah jadi apa?




Jadiiii, Minyak Herba Sinergi atau lebih terkenal dengan MHS. MHS atau yang awalnya bernama minyak But-but ini, diproduksi oleh PT HPAI (Herba Penawar Alami Indonesia). Nah, untuk saat ini, kegunaan MHS semakin dikembangkan. Alhamdulillah, satu obat bisa untuk berbagai macam keluhan. Berarti, semakin banyak penghematan yang bisa dilakukan. Selain itu, dengan menggunakan MHS, berarti kita ikut membantu kebangkitan ekonomi umat Islam. Mengapa? Karena MHS diproduksi oleh pabrik milik muslim, pekerjanya pun muslim, dan penjualnya juga sebagian besar muslim. Jadi, jangan ragu untuk mulai menggunakan produk muslim, dimulai dari MHS.



Thursday, January 24, 2019

Asma Nadia-nya ODOP dan Tuban

                                                             Foto: dokumen Mbak Hiday

Bismillaah


Asma Nadia. Nama yang tak asing bagi mereka yang mengaku kutu buku ataupun hobi menulis. Sepak terjangnya dalam dunia tulis-menulis tak diragukan lagi. Tidak hanya diakui di dalam negeri, di luar pun mendapat sambutan yang luar biasa. Karyanya yang bejibun, tak perlu disebutkan satu persatu. Tidak sedikit pula yang telah diangkat ke layar lebar. Masya Allah.


Ingat Asma Nadia, jadi ingat seorang teman (boleh kan, saya mengaku teman? #biar ketularan pintar). Wajahnya hanya bisa saya lihat di media sosial, belum pernah bertatap muka secara langsung. Berbicara secara pribadi, sepertinya juga belum pernah. Dulu memang pernah ngobrol di grup ODOP. Duluu sekali, waktu di batch 1. Setelah itu saya hanya menjadi silent reader di grup. Saya merasa minder dan malu melihat prestasi teman-teman yang sangat luar biasa.


Kembali ke laptop. Eh, ke pembahasan awal tadi, maksudnya. Siapa sih, yang sudah saya anggap seperti Asma Nadia itu? Siapa lagi kalau bukan Mbak Hiday Nur. Seorang ibu yang juga seorang guru sekaligus seorang penulis. Selain itu, beliau juga seorang mahasiswa pasca sarjana, lho. Duh, sibuk banget, nggak sih? Pastinya. Belum lagi pekerjaan di luar itu.


Sebelum kepoin lebih jauh tentang Mbak Hiday, saya mau menjelaskan dulu asal muasal judul saya ya. Mengapa saya menyamakan Mbak Hiday dengan Asma Nadia? Betul! Karena banyak persamaan di antara mereka berdua. Mereka sama-sama muslimah muda yang enerjik, cantik menarik, dan tentu saja, smart. Apalagi yang sama? Sudah jelas, lah, pekerjaan mereka sama: PENULIS. Di samping itu, mereka juga ibu dari putra-putrinya sekaligus guru bagi murid dan orang-orang di sekitarnya. Masih kurang, persamaan mereka berdua? Nih, saya tambahkan ya. Mereka sama-sama sudah melanglang buana. Wuih, keren kan?


Satu lagi nih. Kalau Asma Nadia memiliki Rumah Baca Asma Nadia, Mbak Hiday punya Sanggar Caraka, lho. Di mana, di mana? Di mana lagi, kalau bukan di rumahnya, Tuban. Nah, ini sekaligus menjelaskan pemilihan judul tulisan ini. Sudah seperti skripsi saja kan, ada alasan pemilihan judul.

Lalu, apa itu ODOP? Nah, kalau ODOP ini rumahnya para penulis hebat. Di sanalah saya bertemu dan berkenalan dengan Mbak Hiday. ODOP ini singkatan dari One Day One Post. Sebuah komunitas yang menggunakan grup WhatsApp sebagai wadahnya, yang diprakarsai oleh Bang Syaiha, guru kami. Nah, di ODOP ini, Mbak Hiday menjadi salah seorang mentor sekaligus editor. Karya beliau sangat banyak. Tersebar luas di berbagai media massa dan buku. Termasuk buku pelajaran. Ya, beliau juga menulis buku-buku pelajaran sesuai bidangnya sebagai seorang guru. Ini yang membuat saya semakin salut pada beliau. Karena saya juga seorang guru, dan saya belum bisa seperti beliau.

Banyak sekali ya, aktivitas Mbak Hiday? Apa nggak capai ya? Tapi kalau melihat penampilannya (melalui foto-foto, karena saya belum pernah kopdar dengan beliau maupun dengan warga ODOP lainnya), beliau itu selalu ceria. Tidak pernah terlihat lesu. Bisa dipastikan,  beliau itu gesit dan tangguh. Makanya dengan segudang aktivitas itu, masih sempat juga balas chat saya maupun teman-teman di grup. Masya Allah.

Oya, beliau ini salah seorang penerima beasiswa S2 LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), lho. Dan berkesempatan keliling Eropa! Pengalaman beliau sebagai mahasiswa LPDP itu dituangkan dalam sebuah buku yang ditulis bersama teman-temannya. Ini dia, bukunya.



Itu baru salah satu karya Mbak Hiday. Masih banyak lagi karya lainnya yang tersebar di berbagai media massa maupun buku-buku, termasuk buku pelajaran. Yups, betul sekali. Mbak Hiday ini juga menulis buku pelajaran, sesuai dengan bidangnya sebagai seorang guru. Keren, ya? Kapan ya, saya bisa begitu?


Ingin mengenal lebih jauh dengan Mbak Hiday? Bisa kunjungi blognya di hidaynur.web.id, atau facebook-nya Hiday Nur. Insya Allah banyak manfaat yang akan kita dapat setelah mengenal beliau. Minimal kita akan terinspirasi dan termotivasi. Seperti saya, jadi semangat menulis lagi. Terima kasih Mbak Hiday, jangan pernah bosan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan kami, ya. Baarakallahu fiik, Mbak Hiday.

Sunday, January 20, 2019

Kajian Selintas

Bismillah

Ikhtiar itu perbuatan
Rezeki itu kejutan
Hanya doa yang bisa mengubah segalanya (Ustadz Hilman Fauzi)

Terkejut, kaget, haru, sekaligus bangga saat kaki kami mulai menapaki area Masjid Alumni IPB. Pelataran masjid penuh dengan jamaah yang sedang menunaikan shalat Maghrib. Begitu kaki kami terus melangkah menuju tempat wudhu akhwat, kondisinya sama dengan tempat ikhwan. Penuh! Kami pun harus berjalan mlipir-mlipir agak tidak mengganggu yang sedang shalat. Setelah berliku-liku menempuh perjalanan yang tidak panjang (udah seperti naik gunung aja, berliku-liku), sampailah kami di tempat wudhu.

Selesai berwudhu, kembali kami harus sedikit bersabar untuk bisa ke lantai dua, tempat shalat jamaah akhwat. Jalanan menuju ke lantai atas penuh, ada yang turun, ada yang naik. Harus lebih bersabar. Apalagi masih banyak yang duduk di teras dan pelataran masjid. Sampai di atas, ternyata kami harus puas dengan hanya shalat di koridor masjid karena ruangan masjid masih penuh dengan jamaah akhwat. Saya pikir acara kajian sudah selesai, sehingga seharusnya masjid sepi karena jamaah sudah pulang. Ternyata kajian masih berlangsung. Menurut informasi, sampai menjelang shalat Isya.

Dari sang pembawa acara, saya mendengar bahwa ustadz yang akan menyampaikan tausiyah adalah Ustadz ... Fauzi. Asing di telinga saya. Siapa sih, hebat banget bisa mengumpulkan jamaah sebanyak ini. Hampir semuanya anak muda, lagi. Siapa sih, pembicaranya? Dan, yang lebih mengherankan lagi, tadi sempat saya lihat, ustadz dan sang pembawa acara pakai topi. Kok bukan pakai peci atau sorban seperti para mubaligh lainnya. Wah, ustadz zaman now ini!

Selesai shalat, sambil dzikir, sambil curi-curi dengar apa yang disampaikan Pak Ustadz. Sebentar sih, dengarnya sejak tadi shalat. Eh, jadi ketahuan deh, shalatnya nggak khusyuk. (Tutup muka, deh, pakai jilbab)

Setelah muqaddimah, sang ustadz bertanya kepada jamaah, karena pekan lalu sudah disampaikan materi, hari ini mau tanya jawab atau materi. Jamaah tidak banyak yang merespon. Bingung kali ya, baru kali ini kajian kok ada tawar-menawar. Hihi ... Lucu juga nih, ustadz. Jadi semakin penasaran. Lalu untuk memudahkan menjawab, ustadz yang menyebut dirinya Ustadz Hilman itu memberi pilihan: 1. Tanya jawab, 2. Materi. Pilih 1 atau 2?
Dengan serempak dan seragam, jamaah menjawab duaaaaa. Ish ish, kok jadi seperti kampanye, satu atau dua? Hadeeh, nanti kalau ada KPU bagaimana ustadz? Bisa berabe nih.

Karena jamaah memilih materi, maka mulailah sang ustadz menyampaikan tausiyah dengan tema Hijrah. Kajian petang itu diawali dengan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang bahwa manusia itu, termasuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, masuk surga itu bukan karena amalnya. Tetapi karena rahmat Allah subhanahu wata'ala. Dalam hadits itu disebutkan juga bahwa para sahabat bertanya, apakah hal itu berlaku juga untuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Rasulullah menjawab iya, termasuk beliau pun, masuk surga karena rahmat Allah, bukan karena amal beliau. Masya Allah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Amal shalih seseorang diantara kamu sekali-kali tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Hai Rasulullah, tidak pula engkau?” Rasulullah menjawab, “Tidak pula aku kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepadaku.” (Riwayat Muslim; kitab Shahih Muslim, Juz II, halaman 528)

"Rasulullah yang ma'shum, tidak pernah berbuat dosa, yang surganya sudah pasti, yang amal ibadahnya paling banyak saja tidak bisa masuk surga tanpa rahmat Allah, apalagi kita? Mengapa amal ibadah kita tidak bisa memasukkan kita ke surga?
Karena kita tidak tahu, apakah ibadah kita sudah benar atau belum. Siapa yang menjamin bahwa shalat kita sudah pasti sesuai rukun dan syaratnya? Siapa yang menjamin, bisa shalat dengan khusyuk tanpa terbersit pikiran di luar shalat? Siapa yang menjamin tilawah kita sudah betul makhraj dan tajwidnya?" Jelas Ustadz Hilman. Deg! Jadi ingat pelajaran tahsin hari Jumat kemarin, betapa sulitnya saya dan teman-teman melafazkan huruf-huruf الجوف. Baru tiga huruf saja kami belum lulus, bagaimana dengan huruf-huruf yang lain? Bagaimana bisa tilawah dengan tartil? Astaghfirullah. Benar sekali kata Ustadz Hilman.

Oleh karenanya, kita harus semakin banyak beramal, karena kita tidak tahu, amal ibadah yang mana yang akan mendatangkan rahmat Allah.
Selain itu, jangan lupa untuk selalu berdoa agar amal kita diterima Allah, seperti yang sudah diajarkan Allah melalui firman-Nya,

Allah SWT berfirman:

  ...  رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا  ۗ  اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

"... Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: Ayat 127)

Tidak banyak yang bisa saya simak dari tausiyah ustadz yang sangat menarik ini karena kami harus isi perut dulu. Maklum, dari siang belum sempat terisi. Padahal sayang sekali rasanya melewatkan kesempatan langka ini. Tapi ya, apa boleh buat, daripada anak saya yang sedang sakit semakin parah. Na'udzubillahi min dzalik.

Selesai makan malam kami kembali ke masjid karena sebentar lagi Isya. Karena perjalanan ke Cikarang bisa dipastikan macet, maka lebih baik shalat Isya dulu. Sampai di Masjid Alumni IPB, Ustadz Hilman sedang memimpin doa bersama. Terlihat tangan-tangan menengadah, wajah-wajah khusyuk dan tunduk, bahkan ada beberapa yang meneteskan air mata (terlihat dari layar proyektor). Masya Allah, baarakallahu fiikum Ustadz Hilman dan jamaahnya. Semoga kita semua bisa istiqomah di jalan Allah, dan bisa melanjutkan risalah Rasul-Nya untuk menjadi rahmatan lil 'aalamiin.
Aamiin, aamiin ya rabbal'aalamiin.

Sabtu, 19-01-2019

Friday, January 18, 2019

Tahsin Perdana di 2019



Bismillah


Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini, Jumat, 18 Januari 2019, kami kembali belajar tahsin; memperbaiki bacaan Al Quran. Cukup lama juga kami libur, hampir dua bulan. Ilmu yang kami dapat selama dua bulan sebelumnya, seperti menguap perlahan terkena panas. Harus di-refresh lagi, nih.


Berbekal ingatan materi yang pas-pasan, kami masuki rumah Ummu Ghumaisha, ustadzah kami. Agak takut juga, khawatir nanti ketika ditanya materi yang lalu, kami tidak bisa menjawab. Tapi ya, bismillah. Semoga Allah mudahkan proses belajar kami, aamiin.


Hari ini ternyata bukan review materi. Tetapi kami mendapatkan pendalaman materi yang justru lebih sulit dari yang sudah dipelajari. Ustadzah Ira baru saja mengikuti daurah dengan para masyaikh. Banyak ilmu baru yang beliau dapatkan, dan hari ini langsung diajarkan kepada kami.


Landasan atau istilah beliau, bahan dasar, ilmu tajwid adalah menguasai pengucapan الجوف ; yaitu huruf-huruf yang keluar dari rongga mulut dan rongga tenggorokan yang terbuka. Huruf-hurufnya ada tiga, yaitu alif mad, ya mad, dan wauw mad. Mad terjadi apabila terpenuhi dua syarat. Yang pertama, huruf ا، ي، و harus berharokat sukun. Syarat kedua, huruf sebelum ا، ي، و harus berharokat fathah sebelum alif, kasroh sebelum ya, dan dhommah wauw.


Pengucapan huruf-huruf Hijaiyah ini harus mengikuti logat orang Arab. Karena dari sanalah huruf-huruf ini berasal. Jadi kita harus meninggalkan logat daerah kita. Jangan sampai kita membaca Al Qur'an dengan logat Jawa, apalagi dengan langgam Jawa. Na'udzubillahi min dzalik.


Mengapa harus dengan logat Arab? Yang pertama, tentunya, karena Al quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Yang kedua karena logat Arab itu berada di pertengahan; tidak terlalu kuat ditekan, dan tidak terlalu lemah mendayu-dayu. Pertengahan saja. Bagaimana caranya? Sulit dijelaskan dengan kata-kata karena ini ilmu yang harus dipelajari dengan sistem talaqqi atau bertatap muka langsung dengan pengajarnya. Jadi, mohon maaf bila saya tidak bisa menjelaskan.


Tetapi saya bisa berbagi sedikit teknik pelafadzannya. Pertama kita ucapkan mad "aaaa" sambil sesekali memencet kedua lubang hidung untuk mengetahui apakah suara yang keluar termasuk  الخيشوم atau bukan. Mengapa demikian? Karena saat mengucapkanhuruf mad ini, udara harus keluar dari mulut, bukan dari hidung. Sehingga suara yang dihasilkan jernih, tidak dengung. Bagaimana supaya hasilnya sempurna? Sekali lagi, harus talaqqi.
Lalu kami belajar melafadzkan huruf ب. ب bukan termasuk huruf yang memiliki sifat همس atau keluar udara dari mulut saat mengucapkannya. Ketika kami praktik, ternyata cukup sulit untuk tidak mengeluarkan udara saat melafadzkan ب.


Masya Allah, sungguh luas ilmu Allah. Dan sungguh kerdil diri ini saat mempelajarinya. Semakin banyak belajar, bukannya semakin pandai, tetapi malah semakin banyak yang tidak bisa. Semakin terbongkar, betapa selama ini banyak kesalahan yang telah kulakukan. Astaghfirullah. Kutahu, belajar tahsin menjadi terasa semakin berat. Hanya atas pertolongan Allah saja kami akan bisa mempelajari dan memahaminya. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam mempelajari Al Qur'an, dalam membaca dan menghafalkannya, juga dalam mengamalkannya. Ampunilah kami karena masih banyak kesalahan yang kami lakukan. Astaghfirullah.

Wednesday, January 16, 2019

Mencintaimu Berbuah Surga

                                                                        Sumber: google



Bismillaah


Mencintai dan dicintai adalah dua hal yang sangat erat berkelindan. Keduanya sulit untuk dipisahkan. Meski ada juga beberapa kasus bertepuk sebelah tangan; mencintai tapi tidak dicintai. Namun untuk yang satu ini, sebelum mencintai, kita sudah dicintai terlebih dulu. Bahkan jauh sebelum keberadaan kita. Siapakah dia yang begitu hebat, sudah mencintai bahkan sebelum keberadaan yang dicintai ditetapkan? Apakah dia ibu kita? Ayah kita? Ternyata bukan. Dialah Sang Rasululullah , penghulu para nabi, yang cintanya kepada umatnya telah ada dan telah tumbuh subur meski kita belum ada. Apa buktinya? Ucapan beliau menjelang wafatnya, “Ummatii, ummatii.” Umatku, umatku. Bukan anak atau keluarga yang beliau ingat, tapi umatnya. Betapa besar cinta beliau, masyaa Allah.


            Dengan adanya kepastian bahwa kita dicintai oleh Rasululllah, akankah kita mengabaikannya? Menyia-nyiakan cinta tulus seorang manusia suci, yang bahkan para sahabatnya pun tak rela bila ada duri melukainya? Sungguh rugilah kita bila demikian pilihannya.


            Pilihan yang paling tepat adalah membalas cintanya dengan kecintaan yang lebih besar lagi. Bisakah? Mungkin sulit bagi kita untuk menyetarakan cinta kita dengan beliau, apalagi melebihinya. Tidak masalah. Yang terpenting kita sudah berusaha untuk mencintainya setulus dan seikhlas yang kita mampu. Karena mencintai Nabi Muhammad adalah salah satu kewajiban kita terhadap beliau. Karena dengan mencintainya, kita akan dapat merasakan manisnya iman. Seperti sabda beliau,

                       “Tiga perkara jika kalian memilikinya, kalian akan merasakan                          manisnya iman. Pertama, menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih                       dicintai dari selainnya. Kedua, mencintai seseorang semata-mata                           karena Allah. Ketiga, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah                     diselamatkan Allah seperti halnya ia tidak suka dilemparkan ke                            dalam api neraka.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)






                                                                                                                               

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             


 


                                                                            


Selain itu, mencintai Nabi adalah salah satu bukti keimanan kita. Mengapa?

لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين (رواه البخارئ)            

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)


Jelaslah sudah bahwa bila kita mengaku sebagai seorang mukmin, maka harus mencintai Rasulullah dengan cinta yang melebihi cinta kita kepada orang tua maupun anak-anak kita. Kalau kita masih lebih mencintai orang tua daripada Rasulullah , berarti iman kita belum sempurna. Astaghfirullah ...


Rela atau terpaksa, suka atau tidak, sudah seharusnya, kita mencintai Nabi kita, suri tauladan kita, yang akan memberikan syafaatnya pada kita di hari Akhir nanti. Bagaimana kita bisa tahu bahwa cinta itu sudah tumbuh dalam dada ini? Bisakah ia tumbuh begitu saja, dengan sendirinya, tanpa disiram air dan pupuk? Bisakah kita mencintai orang yang bahkan wajahnya pun tak pernah kita lihat? Mustahilkah? Tidak! Banyak cara yang bisa kita lakukan agar cinta itu bersemi dan tumbuh subur di dalam sanubari kita.


            Membaca sirahnya. Ya, melalui sirah nabawiyah, kita bisa tahu betapa lembut akhlaknya, betapa kasih sayangnya kepada para sahabat juga musuhnya, betapa berat perjuangan dan pengorbanannya demi tegaknya Islam, betapa sederhana jalan hidup yang beliau lalui, betapa mulia seluruh aspek kehidupannya. Membaca sirahnya, air mata bisa mengalir tanpa disadari, semangat juang terlecut menyaksikan kegigihan dan keperkasaannya, dan malu, betapa diri belum seberapa dibandingkan dengan apa yang telah beliau lakukan, dengan segala derita yang beliau rasakan.


            Setelah cinta itu mulai bersemi, akankah kita lihat mekarnya? Adakah bukti nyata yang bisa kita nikmati? Bukti cinta kita kepada Sang Rasul? Baiklah, mari kita lihat apa saja yang bisa membuktikan bahwa cinta kita kepada beliau adalah tulus tidak semu.


            Bukti pertama bahwa kita mencintai Sang Nabi adalah, ketika disebut namanya, kita langsung bershalawat atasnya. Sekilas shalawat ini hanya untuk memuji dan mendoakan beliau. Namun pada hakikatnya, dengan bershalawat kepadanya, itu berarti kita juga mendoakan diri kita sendiri. Sebagaimana sabda  beliau

من صلى علي صلاة، صلى الله عليه بها عشرا (رواه أبوداود)                             

“Barangsiapa bershalawat kepadaku, niscaya Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Abu Dawud)


            Kedua, dengan ittiba’ atau mengikuti segala yang diperintahkannya atau yang dicontohkannya. Termasuk juga menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang mudah maupun yang sulit. Baik yang kita sukai ataupun yang tidak kita sukai. Baik dengan sepenuh keikhlasan maupun dengan keterpaksaan. Tidak pilih-pilih. Mengikuti sesuai dengan kemampuan kita, bukan kesukaan kita. Dengan mengikuti sunnahnya, kita akan mendapatkan pahala dan juga syafaatnya nanti di yaumil akhir, aamiin. 

  قل إن كنتم تحبون الله فا تبعوني يحببكم الله ويغفرلكم ذ نوبكم  والله غفوررحيم

31. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Jika  kamu (benar-benar)  mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan  mengampuni dosa-dosamu.”  Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)


            Bukti cinta kepada Rasulullah yang ketiga adalah dengan membelanya. Saat Rasulullah baru saja wafat, ada beberapa orang yang mengaku sebagai nabi. Bahkan sampai saat ini pun masih saja ada yang mengaku nabi. Sedangkan Rasulullah adalah khatamul anbiya, penutup para nabi. Jadi, tak ada lagi nabi sesudahnya. Nah, kita sebagai orang yang merasa mencintai Rasulullah   , melihat fenomena ini harus bisa berbuat sesuatu. Kalau Khalifah Abu Bakar membela Rasulullah dengan cara memerangi para nabi gadungan tadi, lalu apa yang sudah kita lakukan?
          

            Berkaitan dengan membela Rasulullah , bukti cinta kita yang keempat adalah melanjutkan dakwahnya. Dengan berdakwah, kita bisa menyebarkan ajaran Rasulullah , sekaligus membela beliau dengan cara meng-counter opini-opini yang menyudutkan beliau atau bahkan menghina beliau. Bagaimana kalau kita tidak punya bakat atau kemampuan untuk berbicara di depan orang banyak, atau kita juga tidak memiliki kemampuan diskusi atau berdebat dengan orang lain? Masih ada cara lain, jangan khawatir. Kita bisa menjadi agen muslim yang baik (meminjam istilah Hanum Salsabila) melalui tingkah laku dan sikap kita sehari-hari. Kita bisa juga berdakwah melalui tulisan. Entah itu tulisan yang berbau serius seperti artikel atau jurnal ilmiah, ataupun tulisan yang bersifat santai seperti status yang sering kita buat di akun sosmed. Banyak cara dalam berdakwah dan membela Rasulullah .


            Last but not the last, bukti cinta kita kepada Rasulullah adalah dengan mencintai juga para pecintanya, seperti ahlul bait, para sahabat, tabi’iin dan orang-orang setelahnya. Merekalah para pecinta Rasulullah  . Merekalah para pembelanya, pelanjut dan pewaris risalahnya. Melalui mereka kita mendapatkan gambaran tentang Rasulullah  yang tidak pernah kita lihat wajahnya apalagi kita temui sosoknya. Oleh karenanya, kita pun harus mencintai mereka, bukan membencinya apalagi sampai menghujat.


            Demikianlah beberapa bukti kalau kita mencintai Rasulullah . Untuk mengukur seberapa dalam cinta kita, kita bisa mengetahuinya dengan melihat bukti-bukti di atas. Sudahkah kita melakukannya? Semoga Allah mudahkan kita dalam mencintai Rasulullah dan mengikuti ajarannya serta menghidupkan sunnah-sunnahnya. Aamiin ya rabbal’aalamiin.

قال رسول الله ﷺ : من احيا سنتي فقد أحبني، ومن أحبني كان معي في الجنة                           

Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan sunnahku, berarti ia mencintaiku. Siapa saja yang mencintaiku, ia akan bersamaku di surga.” (HR. Imam Ath Thabrani)


#belajarnulisartikel