Thursday, June 23, 2016

Ramadanku

Bismillaah

Alhamdulillah wa syukurillah, Allah masih memberi kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan bulan Ramadan tahun ini. Ramadan yang sejuk karena hujan sering menghampiri, menyirami hari-hari panas terasa adem. Sungguh nikmat Allah yang sangat luar biasa. Meskipun di belahan bumi lain, sebagian saudara kita mendapatkan ujian dari Allah berupa bencana banjir maupun tanah longsor. Semoga Allah berikan kekuatan, kesabaran, dan pertolongan untuk mereka. Aamiin ya robbal'alamiin.

Ramadanku selalu terasa berbeda dari tahun ke tahun. Namun semua terasa nikmat dan berkesan meski situasi dan kondisinya tak sama.

Tahun ini, Ramadanku terasa lebih istimewa. Mengapa?
Pertama, karena liburan lebih cepat datang dan lebih panjang dari tahun kemarin, jadi waktu untuk memperbanyak ibadah seharusnya menjadi lebih banyak pula. Tapi, hingga di hari ke-18 ini, targetku belum tercapai. Sedih rasanya.
"Apa saja yang kau lakukan, Nin?"
Entahlah. Sepertinya kebanyakan tidur. Hadeuh ....

Kedua, di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, Allah menggerakkan kakiku untuk bisa melangkah ke masjid melaksanakan sholat Isya dan sholat Tarawih berjamaah, bersama anak-anak. Bahagia rasanya, bisa sholat 23 rakaat bersama imam yang hafidz Quran tanpa terasa capai.

Ketiga, dengan sholat di masjid, ternyata banyak hal yang bisa kulihat dan kurasa, juga kulakukan. Kalau di rumah, paling-paling hanya anak-anak yang sedikit mengganggu kekhusyukan. Itu pun akan tidak berlangsung lama. Dengan sedikit teguran, mereka akan sholat dengan tertib lagi. Khusyu pun terjaga kembali. Tapi di masjid? Tak semudah itu, kawan. Banyak hal yang mengusik kekhusyukan, walaupun sudah kucoba untuk mengabaikannya.

Dari baru masuk masjid, ada saja beberapa gadis remaja yang masih berbincang-bincang, padahal sholat Isya sudah dimulai. Ada juga yang malah asyik dengan gadget-nya. Astaghfirullah. Di kali lain, mereka sudah terlambat sholat, tapi masih cekikikan. Begitu sholat, mereka sholat sendiri dan mengejar rokaat yang tertinggal, baru mengikuti gerakan imam. Ya Allah ... sebegitu minimnyakah pengetahuan mereka tentang sholat berjamaah? Padahal mereka sudah baligh, dan belajar di sekolah Islam? PR berat untuk para dai, ini.

Tidak hanya itu. Begitu berdiri dalam shaf, seperti terjadi di kebanyakan masjid, jamaah perempuan khususnya, berdiri berdasarkan sajadah yang mereka gunakan sebagai alas. Alhasil, jarak antara satu jamaah dengan jamaah yang lain bisa sekitar setengah meter. Renggang sekali. Kadang antara satu sajadah dengan sajadah yang lain pun tidak rapat. Semakin jauhlah jarak terbentang.

Bagaimana dengan anak-anak? Sama juga seperti di masjid lain, di sini pun anak-anak bebas berekspresi. Begitu sholat Isya sempurna dilaksanakan, anak-anak pun bertebaran seperti kupu-kupu yang baru keluar dari peraduannya. Ada yang berlari kian kemari, ada yang berloncatan dari anak tangga, ada yang sekadar bercanda atau bermain gadget, namun ada juga yang tetap tertib mengikuti sholat Tarawih. Itulah anak-anak, dunia adalah bermain dan bermain.

Luar biasa! Hikmah apa yang kudapat?

Dulu, aku pernah mendengar ceramah ustadz yang mengatakan, berdakwah di masjid itu lebih mudah karena orang-orang yang mau ke masjid, pasti hatinya lebih siap untuk menerima. Dan mereka lebih mudah berubah. Betulkah?

Ternyata tak semudah itu. Yang ku alami, lisan ini tak boleh malas apalagi berhenti mengingatkan setiap hari, bahkan setiap kesempatan. Karena memang banyak saudara kita yang belum paham dan belum mengenal Islam dengan baik, meskipun mereka suka ke masjid. Dan, tidak semua suka diingatkan. Kadang, mereka malah pergi menghindar setelah ditegur. Maka, kesempatan untuk berdakwah pun berkurang. Salah ucap, justru membuat orang antipati dengan kita. Susah - susah gampang. Tapi kita harus dan terus berdakwah meski hanya dengan satu ayat. Meski harus mendapat tatapan sinis. Meski akan dijauhi.

Ya Allah mudahkanlah kami dalam memahami dan menjalankan syariat-Mu, dan dalam mengajak saudara-saudara kami kepada kebaikan. Aamiin ya robbal'alamiin.

Thursday, June 9, 2016

Nobody's Perfect


"Fira itu orangnya detil banget, ya. Lihat saja cara berkerudungnya! Rapi dan serasi. Beda banget dengan Sinta. Meskipun sama-sama cantik, Sinta itu sembrono dan serampangan. Kalau disandingkan dengan Fira, bagai langit dan bumi," komentar teman di sampingku sambil mengamati dan memperhatikan dua gadis MC yang sedang beraksi di panggung.

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum kecut, membayangkan, bila aku yang dikomentari seperti itu, duuuh sakitnya tuuuuh, luarrr biasa. Di sisi lain aku pun berpikir, mengapa temanku ini enak sekali bicara seperti itu. Seakan dirinya manusia sempurna yang tanpa cela dan cacat. Padahal, dirinya pun memiliki kekurangan yang sering membuat orang lain, terutama rekan kerjanya, merasa tidak nyaman.

Bercermin dari sebuah komentar yang terlontar tanpa rasa bersalah dan berdosa itu, diriku jadi me-muhasabah diri. Introspeksi diri, jangan-jangan, aku pun sering berbuat seperti itu. Na'udzubillaahi min dzalik. Maafkan daku ya, teman-teman, bila lisan ini kadang lebih tajam daripada silet. Astaghfirullah, ampuni hamba, ya Allah.

Setiap manusia diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Dilengkapi dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, yang semuanya itu ada manfaat dan hikmahnya. Jadi, kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri kita itu, merupakan satu paket yang tak bisa dipisahkan.

Nobody's perfect, begitu kata orang Inggris. Mudah-mudahan tidak salah. Tak ada yang sempurna kecuali Allah subhanahu wa ta'ala. Bahkan Rasulullah yang mulia pun pernah terlihat kekurangannya, meski tidak mengurangi kemuliaannya. Apalagi kita? Manusia biasa yang dalam dirinya selalu terdapat salah dan lupa.

Karena tak ada insan yang sempurna, termasuk sang komentator, jadi janganlah kita menilai dan mengomentari orang seenaknya saja.

"Lho, kalau niat kita untuk mengevaluasi dan memberi masukan, nggak salah, to?"

Nggak salah sih, tapi, yang namanya memberi masukan dan kritik membangun, seharusnya di depan yang bersangkutan, to? Bukan di belakangnya. Kalau di belakangnya, itu disebut ghibah atau ngrumpi atau menggunjing. Kalau itu yang kita lakukan, yang ada hanya menumpuk dosa, tapi tujuan tidak tercapai.

"Kok tidak tercapai?"

Yaaa, jelas tidak tercapai, karena kita ngomonginnya tidak langsung di depan objek yang kita tuju, tapi di belakangnya. Apakah dia dengar dan tahu, bahwa dia sedang dikritik dan diberi masukan? Tidak, to?

So, ini self reminder, teguran dan peringatan untuk diriku sendiri terutama, agar lebih berhati-hati dalam berbicara. Meski lidah tak bertulang, tapi kekuatannya bisa menghancurkan hubungan persaudaraan, persahabatan, bahkan pernikahan. Na'udzubillaahi min dzalik. Lebih baik sibuk menghitung kekurangan diri daripada mengawasi orang lain. Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang lautan kelihatan. Kekurangan diri tak kelihatan, tapi kekurangan dan kesalahan orang lain selalu terlihat jelas meski tanpa kaca pembesar. Masyaallah.

Thursday, June 2, 2016

Untuk Apa Bekerja?

Bismillaah

"Mbak, Adek nggak kuat. Dingiiin.... Pusiiiiing. Tolong Adek, Mbak," seru Syifa dengan berlinang air mata.

"Ya Dek, sabar ya. Ini minum obat dulu, ya, biar panasnya turun," ujar Mbak Sri sambil menyiapkan obat berupa sirup. Dengan penuh kelembutan, dibangunkannya Syifa yang lemah, dan disandarkan kepalanya pada bantal yang diletakkan dalam posisi berdiri dan disandarkan ke tembok. Setelah posisi Syifa terlihat nyaman, disiapkannya sendok berisi sirup penurun demam.

"Bismillaah," ucap Mbak Sri sambil memasukkan sendok ke dalam mulut Syifa.

"Nah, sekarang minum air bening, ya?" kata Mbak Sri.

Anak TK yang baru berusia 4 tahun itu menuruti semua instruksi Mbak Sri. Mbak yang sudah merawatnya sejak bayi. Mbak yang, meskipun bukan ibu kandungnya tetapi, menyayangi dan merawatnya dengan sepenuh tulus hati. Sedangkan mamanya? Entahlah, antara ada dan tiada. Mamanya selalu saja berada di kamar, asyik dengan gadget-nya. Papanya, karena kesibukannya, sangat jarang pulang ke rumah. Jadilah Syifa serasa hanya hidup berdua dengan mbaknya.

Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kisah sejenis yang terjadi di sekitar kita. Betapa banyak anak yang menjadi yatim bukan karena ayah atau ibunya meninggal dunia tapi karena orang tua mereka sibuk dengan urusan pekerjaan atau yang lainnya. Dengan dalih bekerja demi kebahagiaan anak-anaknya, mereka tidak punya waktu untuk membersamai mereka. Dengan alasan mencari nafkah untuk keluarga, mereka menelantarkan anak-anak yang diamanahkan Allah kepadanya.

Memang perih rasanya menjadi yatim. Tapi lebih pedih lagi bila ada ayah dan ibu, namun keberadaannya tak bisa dirasa.  Ada tapi tiada.

Makan dengan pembantu. Pergi sekolah dengan supir. Belajar dengan guru les. Tidur ditemani Teddy Bear.

Ada tapi tiada.
Ketika guru di sekolah ingin cross check kegiatan di rumah apakah sudah sesuai dengan yang dipelajari dan diajarkan di sekolah, sibuk menjadi alasan utama. "Kami serahkan semua kepada Bapak/Ibu Guru. Kami, kan, sudah bayar mahal," begitu jawaban yang selalu terlontar.

Duhai Ayah, Bunda, guru di sekolah hanyalah sebagai partner kita dalam mendidik putra-putri. Tugas utama tetap ada di pundak kita. Betapa pun mahalnya biaya pendidikan yang sudah kita keluarkan, bukan berarti tanggung jawab dan amanah berpindah tangan kepada guru anak-anak kita. Mereka hanya membantu sedikit. Peran yang banyak tetap harus kita, orang tua, yang memainkan.

Di sekolah anak kita belajar sholat, membaca doa di setiap awal pekerjaan mereka, belajar mengaji, menutup aurat, bicara sopan, dan berbagai adab yang lainnya. Apa jadinya bila di rumah, orang tua tidak pernah sholat, apalagi sholat berjamaah bersama putra-putrinya? Apa jadinya bila orang tua tidak pernah mengaji, tidak menutup aurat?

Memang ada, anak sholih lahir dari orang tua yang tidak atau belum sholih. Ada juga orang tua sholih tapi anaknya tidak. Itu takdir. Selama nyawa masih di kandung badan, wajib bagi kita untuk terus berikhtiar, bukan? Kalau kita ingin memiliki anak yang sholih, maka kita harus sholih dulu.

Selain amanah, anak adalah investasi kita di dunia dan akhirat. Jangan sampai kita menjadi orang tua durhaka karena menyia-nyiakan mereka. Untuk apa bekerja keras, banting tulang, kalau darah daging kita terlantar? Anak kita tidak hanya butuh materi. Kasih sayang dan peluk hangat ayah bunda lebih dia rindukan. Bermain bersama, tertawa dan bercanda dengan ayah bunda, sungguh lebih berharga dari pada gadget yang harganya jutaan rupiah.