Thursday, June 2, 2016

Untuk Apa Bekerja?

Bismillaah

"Mbak, Adek nggak kuat. Dingiiin.... Pusiiiiing. Tolong Adek, Mbak," seru Syifa dengan berlinang air mata.

"Ya Dek, sabar ya. Ini minum obat dulu, ya, biar panasnya turun," ujar Mbak Sri sambil menyiapkan obat berupa sirup. Dengan penuh kelembutan, dibangunkannya Syifa yang lemah, dan disandarkan kepalanya pada bantal yang diletakkan dalam posisi berdiri dan disandarkan ke tembok. Setelah posisi Syifa terlihat nyaman, disiapkannya sendok berisi sirup penurun demam.

"Bismillaah," ucap Mbak Sri sambil memasukkan sendok ke dalam mulut Syifa.

"Nah, sekarang minum air bening, ya?" kata Mbak Sri.

Anak TK yang baru berusia 4 tahun itu menuruti semua instruksi Mbak Sri. Mbak yang sudah merawatnya sejak bayi. Mbak yang, meskipun bukan ibu kandungnya tetapi, menyayangi dan merawatnya dengan sepenuh tulus hati. Sedangkan mamanya? Entahlah, antara ada dan tiada. Mamanya selalu saja berada di kamar, asyik dengan gadget-nya. Papanya, karena kesibukannya, sangat jarang pulang ke rumah. Jadilah Syifa serasa hanya hidup berdua dengan mbaknya.

Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kisah sejenis yang terjadi di sekitar kita. Betapa banyak anak yang menjadi yatim bukan karena ayah atau ibunya meninggal dunia tapi karena orang tua mereka sibuk dengan urusan pekerjaan atau yang lainnya. Dengan dalih bekerja demi kebahagiaan anak-anaknya, mereka tidak punya waktu untuk membersamai mereka. Dengan alasan mencari nafkah untuk keluarga, mereka menelantarkan anak-anak yang diamanahkan Allah kepadanya.

Memang perih rasanya menjadi yatim. Tapi lebih pedih lagi bila ada ayah dan ibu, namun keberadaannya tak bisa dirasa.  Ada tapi tiada.

Makan dengan pembantu. Pergi sekolah dengan supir. Belajar dengan guru les. Tidur ditemani Teddy Bear.

Ada tapi tiada.
Ketika guru di sekolah ingin cross check kegiatan di rumah apakah sudah sesuai dengan yang dipelajari dan diajarkan di sekolah, sibuk menjadi alasan utama. "Kami serahkan semua kepada Bapak/Ibu Guru. Kami, kan, sudah bayar mahal," begitu jawaban yang selalu terlontar.

Duhai Ayah, Bunda, guru di sekolah hanyalah sebagai partner kita dalam mendidik putra-putri. Tugas utama tetap ada di pundak kita. Betapa pun mahalnya biaya pendidikan yang sudah kita keluarkan, bukan berarti tanggung jawab dan amanah berpindah tangan kepada guru anak-anak kita. Mereka hanya membantu sedikit. Peran yang banyak tetap harus kita, orang tua, yang memainkan.

Di sekolah anak kita belajar sholat, membaca doa di setiap awal pekerjaan mereka, belajar mengaji, menutup aurat, bicara sopan, dan berbagai adab yang lainnya. Apa jadinya bila di rumah, orang tua tidak pernah sholat, apalagi sholat berjamaah bersama putra-putrinya? Apa jadinya bila orang tua tidak pernah mengaji, tidak menutup aurat?

Memang ada, anak sholih lahir dari orang tua yang tidak atau belum sholih. Ada juga orang tua sholih tapi anaknya tidak. Itu takdir. Selama nyawa masih di kandung badan, wajib bagi kita untuk terus berikhtiar, bukan? Kalau kita ingin memiliki anak yang sholih, maka kita harus sholih dulu.

Selain amanah, anak adalah investasi kita di dunia dan akhirat. Jangan sampai kita menjadi orang tua durhaka karena menyia-nyiakan mereka. Untuk apa bekerja keras, banting tulang, kalau darah daging kita terlantar? Anak kita tidak hanya butuh materi. Kasih sayang dan peluk hangat ayah bunda lebih dia rindukan. Bermain bersama, tertawa dan bercanda dengan ayah bunda, sungguh lebih berharga dari pada gadget yang harganya jutaan rupiah.

2 comments:

Lisa Lestari said...

Duh, serasa diingatkan...terimakasih

Lisa Lestari said...

Duh, serasa diingatkan...terimakasih