Wednesday, August 26, 2020

Perempuan Merdeka


Bismillaah


Dulu, Ibu Kartini ingin menjadi perempuan merdeka, agar bisa belajar seperti kaum lelaki. Agar dihargai hak-haknya, layaknya lelaki. Maka lahirlah kata "Emansipasi". 


Kini, emansipasi diartikan sebagai penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, segala yang bisa dilakukan oleh kaum lelaki, kaum hawa pun merasa berhak dan bisa melakukannya. Tak ada lagi perbedaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan. Tak ada lagi yang namanya "ini pekerjaan laki-laki". Karena semua pekerjaan sah saja dilakukan oleh perempuan. Bahkan menjadi kenek atau sopir bus.


Setelah emansipasi, muncullah istilah "feminisme" yang mengaku sebagai pembela hak-hak perempuan. Memang bagus sekali tujuannya. Tapi, bila mulai melanggar syariat yang sudah ditetapkan Allah, sepertinya perlu dikaji kembali. Benarkah feminisme benar-benar ingin membela kaum hawa?


Mari kita lihat. Ternyata, ada bisikan yang menyuarakan, dengan dalih kemerdekaan berpendapat, beberapa hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Di antaranya, jilbab itu membatasi gerak perempuan, mengungkungnya dalam ketidakberdayaan. Lalu, pembagian harta warisan yang memberikan jumlah lebih banyak dua kali lipat kepada laki-laki dibanding perempuan, dianggap sebagai ketidakadilan. 


Sampai di sini kita tahu bahwa emansipasi dan feminisme, tidak selalu berarti memerdekakan perempuan. Karena sesuatu yang tanpa aturan, terkadang justru bisa merusak dan menghancurkan. Dan, sesuatu yang sering dianggap sebagai belenggu, pemaksaan, membatasi ruang gerak, sejatinya justru bertujuan untuk memuliakan.


Mengapa tidak semua pekerjaan cocok untuk perempuan?
Karena organ tubuh perempuan di-setting berbeda dengan laki-laki. Dengan tubuhnya yang kekar, laki-laki tentu lebih kuat daripada perempuan. Sedangkan perempuan dikaruniai tubuh yang lemah gemulai karena dimaksudkan untuk merawat dan membesarkan anak yang memerlukan kelemahlembutan seorang ibu. 


Wanita muslim diwajibkan untuk menutup aurat dengan mengenakan jilbab, bukan berarti itu sebagai tali yang membatasi geraknya. Pemakaian jilbab justru ditujukan sebagai pelindung wanita dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang membedakannya dari mereka yang kurang menjaga harkat dan martabatnya sebagai perempuan shalihah. 


Pembagian harta warisan yang memberikan porsi lebih sedikit kepada kaum hawa, karena tanggung jawab mereka lebih sedikit dibanding kaum adam. Lelaki bertanggung jawab kepada anak dan isterinya. Sedangkan perempuan tidak bertanggung jawab kepada anak dan suaminya. Karena tanggung jawab yang lebih besar, maka lelaki mendapatkan hak yang lebih besar pula.


Jadi, perempuan merdeka bukan mereka yang bebas bertindak dan bertingkah laku semaunya sendiri. Tetapi perempuan merdeka adalah mereka yang menjaga izzah-nya, harga dirinya, dengan melaksanakan perintah Sang Pemilik hidupnya. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, sebagai rasa syukur kepada-Nya. 

Sunday, August 23, 2020

Merdeka Menjadi Diri Sendiri


Bismillaah

"MasyaAllah, cantik banget! Aku pengen kayak dia."

"Bagus kan, jilbabku? Ini kan kayak artis yang lagi ngetrend itu, lho."

"Aku mau rajin olahraga ah, biar kekar kayak pemain bola itu. Pasti nanti banyak yang suka."

                                ***

Kemilaunya dunia artis dan selebritis, membuat banyak orang yang ingin mengikuti jejak mereka. Dari mereka yang punya modal alias berduit, sampai mereka yang pas-pasan. Demi bisa menjadi seperti idola mereka, segala daya dan upaya dilakukan agar keinginan tersebut dapat terealisasi.


Berawal dari ikut-ikutan itulah, ada yang sukses meniru sang idola, banyak pula yang gatot alias gagal total. Bahkan ada pula yang sampai berputus asa karena keinginannya tidak terpenuhi. 


Mengapa harus meniru dan ingin seperti orang lain? Sampai bela-belain mengeluarkan banyak uang, tenaga, dan waktu? Apa untungnya bila kita bisa seperti orang lain?


Kalau meniru dalam hal positif, tentu banyak manfaatnya. Misalnya kita ingin rajin ibadah seperti si A yang salat fardhunya selalu tepat waktu, puasa sunnahnya tak pernah lupa, tiap hari minimal tilawah 1 juz, dan selalu mendirikan salat malam. Atau seperti si B yang cerdas, kreatif, dan aktif berorganisasi, namun juga ramah dan peduli terhadap lingkungannya. 


Tapi kalau yang diikuti itu masalah gaya berpakaiannya, gaya rambutnya, gaya berdandannya, bahkan gaya bicara dan berjalannya, apa untungnya? Sedangkan wajah kita berbeda. Kapasitas kemampuan kita juga tidak sama. Bukankah malah akan mengundang rasa prihatin dari orang-orang di sekitar kita? "Ih, kasihan banget orang itu pengen seperti artis terkenal, padahal wajahnya pas-pasan." 


Apa tujuan kita meniru dan mengikuti setiap gaya orang yang kita idolakan?
Kalau kita mengikuti kerajinannya dalam beribadah, jelas, tujuannya adalah untuk mendapatkan pahala. Akhirat menjadi targetnya. InsyaaAllah, itu menjadi tujuan yang baik dan mulia.


Namun kalau mengikuti segala gaya dan tingkah laku sampai rela mengeluarkan uang banyak demi membuat diri mirip seperti sang idola? Apa manfaatnya? Apakah kita akan mendapatkan keuntungan seperti orang tersebut? Belum tentu. Yang ada, mungkin kita akan mengalami kerugian baik moril maupun materiil. Belum lagi pandangan sinis dari orang-orang terdekat kita. Na'udzubillahi min dzalik.


Maka, menjadi diri-sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Berbuat dan bertingkah laku sebagaimana adanya kita, tentu mudah dan tak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Tak merugikan diri sendiri, juga orang lain.

Menjadi apa adanya diri kita, menunjukkan identitas kita sendiri, akan lebih terhormat dan dihargai oleh orang lain. Daripada capek-capek mengikuti orang lain dengan tujuan yang tidak jelas.


Merdeka menjadi diri sendiri adalah hak kita. Tidak berada di bawah tekanan orang lain. Tidak menjadi bayang-bayang orang lain. Bebas mengekspresikan diri sesuai dengan apa yang kita inginkan.


Wednesday, August 19, 2020

Merdeka dalam Menyayangi Anak


Bismillaah

Anak adalah anugerah terindah dari Allah, sekaligus amanah yang harus dijaga dan dirawat sesuai dengan perintah Sang Pemilik Hakiki. 


Anak adalah buah hati, yang kepadanya disandarkan dan ditaburkan kasih sayang. Siang dan malam semua perhatian tercurah dan terfokus kepada sang buah hati. 


Rasa sayang yang begitu meluap kepada sang permata hati, kadang membuat kita lupa akan hak-haknya. Bahwa ia tak hanya membutuhkan gadget terbaru dengan aplikasi paling canggih,  pakaian bermerek yang mahal, mainan terbaik yang sedang populer, atau makanan tersohor yang diminati banyak orang. Bahwa uang yang melimpah kadang bukan hal pokok yang ia inginkan. Bahwa sekolah bergengsi bukan tempat yang ia impikan.


Rasa kasih yang selalu ia rindukan, mungkin hanya berupa sentuhan lembut di kepalanya saat naik ke tempat tidur. Ada yang tulus mendengarkan cerita serunya hari itu di sekolah adalah momen indah yang tak akan ia lupakan. Pelukan hangat ibu saat ia berpamitan untuk pergi ke sekolah merupakan nutrisi pemompa semangat untuk melalui hari itu.


Wujud kemerdekaan kita dalam menyayangi sang permata hati, adalah menyayanginya dengan tujuan untuk kebaikannya. Kadang harus tega melarang meski ia merengek. Sering harus tegas, meski ia berkeluh-kesah. Kadang harus melatihnya dengan tanggung jawab yang terlihat sulit baginya. Semua bertujuan untuk menyiapkannya menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Pribadi mandiri yang penuh simpati dan empati kepada orang di sekitarnya. Bukan pribadi yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri.

Wujud kemerdekaan kita dalam menyayangi sang buah hati, bukan dengan memberikan segala yang diinginkannya. Bukan pula dengan membebaskannya dari berbagai tanggung jawab sehingga ia bisa bersantai sepanjang hari. Juga bukan dengan memanjakannya, memenuhi segala permintaannya yang kadang di luar kemampuan dan jangkauan kita. 


Merdeka menyayangi anak adalah merawat dan membesarkannya dengan membekali nilai-nilai keislaman, tata krama, kedisplinan, keterampilan hidup, dan juga keprihatinan. Bukan merdeka namanya, kalau kita masih dikendalikan oleh anak. Anak minta apa pun dikabulkan, padahal belum waktunya. Minta dibelikan motor, misalnya. Padahal usianya belum mencapai 17 tahun sehingga bisa memperoleh SIM. 


Merdeka menyayangi anak, berarti orang tua yang pegang kendali, bukan anak yang mengatur orang tuanya. Semoga dengan demikian, mutiara-mutiara kita tumbuh menjadi orang yang kuat dan tangguh, serta memiliki akhlak mulia seperti Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.

Tuesday, August 18, 2020

NO GADGET

Bismillaah

Mulai hari ini hingga sepekan ke depan, sekolah tempat saya mengajar melaksanakan program NO GADGET kepada para siswa. Bisa dikatakan, siswa-siswi libur belajar daring. Sebagai gantinya, mereka diharapkan dapat melakukan kegiatan bersama keluarga seperti murojaah, memasak, berkebun, olahraga, bersih-bersih rumah, dan yang lainnya.

Kegiatan NO GADGET ini dimaksudkan untuk mengistirahatkan para siswa dari paparan layar gadget. Tak dapat dimungkiri bahwa sistem belajar daring saat ini telah memberikan dampak tidak baik terhadap para siswa. Sebagian mereka jadi kecanduan gadget. Dampak paling ringannya, mereka merasakan mata perih karena terlalu lama di depan gadget.

Selain itu, tujuan program ini dimaksudkan untuk menguatkan "bonding" antara orang tua dengan siswa. Dengan adanya kegiatan bersama di rumah dan meninggalkan gadget untuk sementara, ikatan kekeluargaan yang mungkin selama ini renggang, bisa dieratkan lagi. 

Kalau siswa tidak belajar daring karena program NO GADGET, gurunya enak dong?
Awalnya kami, para guru, berpikir seperti itu. Tetapi, ternyata kepala sekolah dan yayasan sudah menyiapkan agenda baru yang harus dilakukan. Apa itu? Membahas rencana perubahan visi misi sekolah. 

Dan, pembahasan atau diskusi tentang visi misi ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hari ini saja, kami baru membahas tiga mata pelajaran yang akan di-upgrade. Selain itu, kami juga harus mempersiapkan elemen akreditasi yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Terbayang sudah seabrek pekerjaan di depan mata. Belum lagi ditambah dengan mempersiapkan materi pelajaran dan media pembelajarannya. 


Ada cerita menyedihkan di balik program NO GADGET ini. Bagi orang tua yang bisa mendampingi dan membersamai anaknya di rumah, program ini dapat berjalan efektif. Tetapi bagi orang tua pekerja, mungkin tidak terlalu merasakan nilai positifnya. Seperti yang dialami oleh seorang rekan guru. Ketika dia ingin menerapkan kebijakan NO GADGET, dia terbentur kebutuhan yang mengharuskan anaknya diberi wewenang memegang hp. Hal ini disebabkan karena rekan tersebut dan suaminya adalah guru yang harus tetap masuk ke sekolah. Sedangkan anak-anaknya berada di rumah tanpa didampingi orang di dewasa. Mau tidak mau, dia harus memberikan hp kepada anaknya agar bisa memantau.



Monday, August 17, 2020

Merdeka Finansial


Bismillaah


Kita mungkin sudah merdeka secara fisik. Tidak ada penjajah yang memperbudak kita dengan memeras tenaga dan harta yang kita miliki. Tapi merdeka secara finansial?


Bangsa kita, memang sudah merdeka sejak 75 tahun yang lalu. Terbebas dari penjajahan yang tidak berperikemanusiaan. Terbebas dari tekanan bangsa asing yang merusak tatanan masyarakat secara ekonomi maupun pemerintahan. 


Lalu, apakah kita sudah menikmati kemerdekaan itu? Sebagian sudah, sebagian lagi belum. Apa yang belum? Merdeka Finansial.


Ya, secara finansial, kita masih disetir oleh negara asing. Banyaknya perusahaan milik asing yang beroperasi di Indonesia dengan mempekerjakan rakyat Indonesia dengan upah yang kecil, itu membuktikan bahwa kita belum merdeka secara finansial. Kita belum bisa berdiri di atas kaki sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kita masih bergantung kepada orang asing yang memiliki modal. 


Karena mereka sang pemodal, maka berhak mengatur upah karyawan semaunya. Meskipun ada UMR (upah minimum regional), tetap saja mereka ikut campur tangan dalam pengambilan keputusan. Dan, tentu saja keputusan itu pasti yang tidak akan merugikan mereka. Sedangkan rakyat Indonesia? Hanya bisa pasrah menerima. Karena kalau menolak, ancamannya adalah PHK (pemutusan hubungan kerja).


Itu merdeka finansial secara global. Bagaimana merdeka finansial secara pribadi?


Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa merdeka finansial ditandai dengan tercukupinya semua kebutuhan, disertai dengan adanya tabungan yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Merdeka finansial berarti memiliki harta kekayaan yang lebih dari cukup sehingga bisa untuk biaya hidup di atas rata-rata. Bukan hidup yang sederhana. Itu dari kacamata duniawi.


Bagi seorang muslim, merdeka finansial tidak melulu diukur dengan tersedianya harta yang berlimpah. Kita bisa dikatakan merdeka finansial bila harta yang kita miliki tidak kita letakkan di hati, tetapi di tangan. Maksudnya, harta yang kita miliki tidak untuk dimiliki sendiri sehingga kita selalu merasa takut kehilangan. Tetapi harta itu kita letakkan di tangan, sehingga siap untuk disedekahkan kepada siapa saja. 


Merdeka finansial adalah saat kita tidak bergantung kepada harta. Karena harta bisa habis sewaktu-waktu. Banyaknya harta tidak akan menjamin kita merdeka secara finansial bila harta itu hanya menjadi milik kita. Digunakan hanya untuk keperluan dan keinginan kita saja. Merdeka finansial adalah bila harta yang kita miliki dapat memberikan manfaat kepada orang banyak dengan cara diinfakkan atau disedekahkan. Sehingga harta itu berputar tidak hanya di kita saja, tetapi di masyarakat secara luas.


Maka, kita akan merdeka secara finansial apabila harta yang kita miliki baik itu sedikit atau banyak, bisa mencukupi kebutuhan hidup kita, bukan gaya hidup kita. Selain itu, merdeka finansial adalah apabila harta itu merupakan harta yang berkah. Berkah berarti selalu bertambah baik zatnya maupun manfaatnya.