Saturday, April 30, 2016

Ujian

Bismillaah

Ujian. Siapa yang tak kenal dengan kata yang memiliki lima huruf ini? Dari anak SD hingga S3, dari orang biasa hingga orang luar biasa, dari zaman Nabi Adam sampai akhir zaman, pasti pernah merasakan ujian. Minimal mendengar kata itu.

Kalau kata Kak Buyung dari Trustco, seorang motivator yang humoris, ujian diperlukan salah satunya untuk mengetahui kualitas seseorang atau suatu barang. Kok barang? Ya, ternyata barang yang diproduksi sebuah pabrik, sebelum dijual di pasaran, maka dia harus melewati sejumlah ujian atau uji coba. Setelah teruji kualitasnya, barulah dilempar ke konsumen. Jangan dibayangkan, dilempar seperti batu, ya.

Itu barang. Benda mati. Apalagi kita, manusia, yang berakal dan bernafas serta beraktifitas. Sudah selayaknya dan seharusnyalah, akan melewati dan mengalami serangkaian gerbong ujian. Entah itu ujian kenaikan kelas, ujian kelulusan, atau ujian hidup yang sudah menjadi santapan sehari-hari. Selama nyawa masih dikandung badan, selama itu pula ujian selalu membersamaimu kita, kemana pun kita pergi dan melangkah.

Terlebih lagi bagi mereka yang mengaku dirinya beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ujian keimanan akan datang bertubi-tubi  seperti tak hendak memberikan kesempatan bernafas lega sedikit pun.

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْۤا اَنْ يَّقُوْلُوْۤا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا  يُفْتَـنُوْنَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman" dan mereka tidak diuji?
[QS. Al-'Ankabut: Ayat 2]

Janji Allah ini benar-benar terjadi pada banyak hamba-Nya, baik yang beriman sejak kecil maupun setelah dewasa. Salah seorang mualaf yang benar-benar merasakan beratnya ujian keimanan ini adalah, sebut saja, Bang Freddy. Saya sendiri sudah lupa namanya, karena selama 16 tahun ini tak ada lagi kabar beritanya.

Bang Freddy ini seorang yang terlahir beragama Nasrani di tengah keluarga yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Saat ia sudah memiliki jabatan empuk di perusahaan Freeport, ia berkenalan dengan seorang gadis muslimah yang imut dan manis. Dialah teman yang sudah seperti kakak saya sendiri. Maklum, saya tidak punya kakak perempuan. Namanya Mba Ning. Panggilannya. Nama lengkapnya juga lupa.

Singkat cerita, mereka merasa berjodoh, dan ingin menghalalkan hubungan mereka dengan akad nikah. Tentu saja dengan syarat keislaman Bang Freddy. Maka, menjelang pernikahan, Bang Freddy pun mengikrarkan keislamannya dengan dua kalimat syahadat. Tak lama setelah itu, dimulailah babak kehidupannya yang baru.

Keluarga yang mengetahui bahwa Bang Freddy sudah menjadi mualaf, marah dan mengusirnya. Namun, ternyata tak sebatas usiran yang diterimanya. Intimidasi pun dilancarkan kepadanya. Teror yang terus-menerus, membuatnya harus meninggalkan pekerjaannya di Freeport. Hijrah keimanannya, diikuti pula dengan hijrah tempat tidur tinggal. Ia pun pergi ke kota calon istrinya dengan harta yang ala kadarnya.

Alhamdulillah, ia pun menikahi gadis yang menjadi salah satu penyebab perubahan hidupnya. Dengan mahar: Rp1.000,00. Ya, cuma seribu perak! Bagi Mbak Ning, keislaman Bang Freddy merupakan mahar yang luar biasa besarnya dibanding apa pun. Barakallahu lakuma!

Di satu sisi Allah berikan cobaan yang begitu berat, di sisi lain Allah karuniakan nikmat yang luar biasa. Nikmat iman dan isteri sholihah. Adakah nikmat yang lebih besar dari iman dan Islam?

Apakah setelah menikah, ujian selesai? Tidak! Keluarga Bang Freddy masih belum mau menerima keislamannya. Mereka masih memburunya dan menginginkannya kembali kepada agama lamanya atau mati. Segala upaya ia lakukan u tuk menghindari teror itu, bahkan sampai menyelamatkan diri ke Maluku, kalau tidak salah. Di saat situasi yang sangat genting dan beban seperti tak tertahankan itulah beliau menghubungi saya. Pertama melalui surat, yang kedua telepon jarak jauh dari Maluku. Beliau mempertanyakan mengapa ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepadanya sangat berat. 

Saat itulah saya sampaikan QS. Al Ankabut ayat 2. Setelah membaca dan memahami ayat tersebut, beliau menangis. Dan akhirnya berusaha untuk ikhlas menerima kehendak Allah.

Beberapa tahun setelah itu, kabar baik mulai datang. Mereka sudah kembali lagi ke rumah sang isteri di Jawa Tengah, dan mulai bisnis kecil-kecilan. Kehidupan mulai berdamai, meskipun ujian tetap datang, dengan kadar yang mulai bersahabat. Alhamdulillah. Itulah balasan bagi orang yang sabar dan yakin akan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala.

Karena ujian yang kita jalani, disesuaikan dengan kadar kekuatan dan kemampuan kita. Begitu sayangnya Allah kepada hamba-Nya.

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا  ؕ 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ...
[QS. Al-Baqarah: Ayat 286]


Friday, April 29, 2016

Tiga Kelas, Tiga Karakter

Bismillaah
Lega akhirnya. Ujian praktik selama sepekan berakhir sudah. Meskipun ada beberapa siswa yang belum tuntas ujian tahfidznya. In sya Allah akan diselesaikan sebelum US/M datang.
Tak terasa, US/M sudah di ambang pintu, tinggal dua pekan lagi. Persiapan sudah maksimal, belajar dan berlatih soal. Dari segi ruhiyah, berdoa dan membiasakan sholat Dhuha, diusahakan setiap hari. Untuk puasa Senin-Kamis? Baru satu-dua yang mengamalkan. Ternyata masih berat untuk dilaksanakan, ya?
Untuk sedikit refreshing, meninggalkan sejenak kumpulan soal, pekan ini materi pelajaran bahasa Indonesia tentang membuat drama pendek. Seperti biasa, anak-anak sangat antusias. Apalagi anak putri, suka sekali berakting di depan kelas.
Kali ini anak-anak membuat drama berdasarkan gambar. Di dalam gambar itu ada seorang anak yang berdiri sambil menutup hidung. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seonggok sampah yang dihinggapi lalat tampak berserakan.




Dengan gambar yang sama, ternyata dialog yang diciptakan berbeda-beda, tergantung latar belakang kelasnya. Maksudnya?
Di sekolah saya, ada tiga rombongan belajar kelas 6. Pertama, kelas  6 Mush'ab bin Umair yang terdiri dari 26 anak laki-laki. Mereka aktif bergerak dan berbicara, tak pernah kekurangan energi dan kata-kata, selalu memancing guru yang mengajar di kelasnya untuk 'berceramah'.
Kelas kedua, 6 Hafshah binti Umar yang berisikan 18 anak cantik dan aktif juga. Mirip dengan kelas sebelumnya, mereka juga aktif berbicara dan bergerak, di saat tertentu. Lebih bisa mengendalikan diri dibanding kelas anak ganteng.
Terakhir, kelas 6 Asma binti Abu Bakar yang komposisinya sama dengan kelas Hafshah. Bedanya, kelas ini lebih adem, tenang, cenderung sepi. Saking diamnya, ketika ada masalah tidak diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan uraian air mata.
Ketika membuat drama tentang sampah yang berserakan dan bau tadi, masing-masing kelas menunjukkan ciri khasnya. Kelas 6 Mush'ab, misalnya. Karena mereka anak laki-laki yang identik dengan gerak fisik (saat istirahat pun mereka suka bermain bola atau petak umpet), sikap mereka ketika melihat sampah itu; ingin membersihkannya. Luar biasa, ternyata mereka sangat peduli dengan kebersihan lingkungan.
Namun, bagaimana ekspresi anak putri? Kelas 6 Hafshah, sesuai ciri khas mereka yang suka berbicara dan bergerak, tindakan yang mereka lakukan adalah memberitahu warga atau Pak RT tentang tumpukan sampah itu dan agar tidak buang sampah sembarangan. Hmm... Mereka juga peduli, tapi sebatas kata-kata. Tidak seperti siswa putra yang terjun langsung ke lapangan.
Sedangkan kelas 'pendiam', mengungkapkan ekspresi mereka dengan berbagai keluhan dan bahaya yang ditimbulkan akibat buang sampah sembarangan. Benar-benar pemikir berat, mereka ini.
Itulah tiga kelas dengan tiga karakter yang berbeda. Mana yang paling baik? Tentunya, semua baik. Mereka punya kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak bisa dibanding-bandingkan. Tugas guru dan juga orang tua untuk menemukan dan mengembangkan kelebihan yang menjadi potensi mereka, bekal mereka di masa depan.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Tuesday, April 26, 2016

Sekilas Perang Badar 3



Bismillaah


                Sebelum membaca tulisan ini, ada baiknya Anda tengok dulu tulisan sebelumnya di sini dan di sini, supaya tidak ada cerita yang terlewat. Andaikan kisah yang saya tulis ini masih jauh dari lengkap, dan mungkin masih ada banyak kesalahan, saya mohon maaf. Astaghfirullaah. Apabila ada di antara pembaca yang budiman ingin mengoreksi dan memberikan kritik dan saran, saya sangat berterima kasih.

                Baiklah, kita lanjutkan kisah tentang Perang Badar ini. Apa ide yang dicetuskan oleh sahabat Harb bin Al Mundzir, yang menjadi salah satu faktor kemenangan kaum muslim dalam Perang Badar? Sedangkan kita tahu, komposisi pasukan Islam dan pasukan kaum kafir Quraisy sangatlah tidak imbang. Kaum muslim hanya terdiri dari sekitar 313 orang, sedangkan kaum kafir kurang lebih berjumlah 1000 orang. Ini diketahui oleh Rasulullah dari perkiraan jumlah unta yang mereka potong setiap hari. Mereka memotong kurang lebih 9 unta setiap hari, menurut salah seorang sahabat yang telah mengintai keberadaan mereka. Menurut Rasulullah, satu unta cukup untuk kira-kira 100 orang. Kalau mereka menyembelih 9 unta per hari, kira-kira jumlah mereka antara 900 hingga 1000 pasukan. Dengan perbandingan jumlah yang sangat jauh itu, sulit rasanya untuk dikalahkan. Apalagi dari segi perlengkapan pun mereka jauh lebih lengkap. Namun atas pertolongan dan izin Allah dan juga strategi perang yang disumbangkan oleh Harb bin Al Mundzir, pasukan Rasulullah menang dalam pertempuran di Bukit Badar itu.

                Di depan Bukit Badar, terletak 4 sumur yang posisinya zig-zag. Sesuai saran Harb bin Al Mundzir, sumur pertama dan kedua dari depan ditimbun tanah agar tidak bisa dimanfaatkan. Sumur yang ketiga dikuras dan disisakan sedikit saja airnya. Air kurasannya disimpan di belakang sumur keempat. Sedangkan sumur keempat, yang berada paling dekat dengan bukit, dibarikade dan dijaga ketat agar musuh tidak mampu menembusnya.

                Sebelum peperangan terjadi, Rasulullah berdoa kepada Rabb Penguasa Alam Semesta. Dalam doanya tersebut, Rasulullah mengadu dan memohon agar Allah memberikan pertolongan dan kemenangan kepada pasukannya. Karena,  jika Allah tidak memberikan kemenangan kepada pasukan Islam, maka tidak ada lagi yang akan menyembah-Nya. Dari peristiwa ini ada ibroh yang bisa kita ambil. Rasulullah, seorang nabi akhir zaman, seorang nabi yang pasti dibela dan dibantu Allah subhanahu wa ta’ala, tidak merasa jumawa. Tidak terbersit sedikit pun rasa sombong, “Aku kan nabi, aku pasti ditolong oleh Allah.” Tidak. Beliau sangat tawadhu. Dalam dirinya ada roja’ dan khouf; ada rasa harap dan juga takut. Maka beliau berdoa agar Allah menurunkan pertolongannya. Seharusnya begitu pula seorang muslim. Jangan pernah merasa karena kita berada di atas jalan kebenaran, maka Allah pasti menolong kita. Selain roja’ dan khouf, Rasulullah pun berikhtiar semaksimal mungkin agar dapat melawan musuh yang kekuatannya lebih besar. Berikhtiar. Tidak hanya mengandalkan doa dan kenabiannya.

                Doa itu dikabulkan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti yang tertuang dalam QS. Al Anfaal ayat 9, yang artinya

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sungguh, aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”
               
                Selain mengabulkan permohonan Rasul-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala juga memberikan dua kenikmatan kepada pasukan Islam sebelum mereka terjun ke medan jihad di Badar. Dua kenikmatan itu tercantum dalam QS. Al Anfaal ayat 11, yang artinya

(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketentraman dari-Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).

Mengantuk dan tidur merupakan salah satu cara untuk memulihkan tenaga. Begitu pun air hujan yang membasahi badan dan bumi. Jelas tercantum dalam ayat di atas, air hujan itu berguna untuk menyucikan diri, menghilangkan gangguan-gangguan setan, menguatkan hati, dan memperteguh pendirian. Masyaallah. Dengan demikian pasukan Rasulullah siap menghadapi musuh dengan stamina yang fit dan segar.

Ketika pasukan Abu Jahal bin Hisyam datang, mereka langsung menghampiri sumur pertama dengan harapan menemukan sumber air; sumber kehidupan. Setelah perjalanan panjang dari Makkah, tak heran bila mereka sangat merindukan air. Betapa kecewanya mereka mendapati sumur tersebut sudah ditimbun dengan tanah. Keletihan yang telah menguasai pasukan tersebut semakin bertumpuk-tumpuk ketika rasa kecewa menghampiri mereka. Melangkahlah mereka ke sumur kedua. Ternyata di sini pun sudah tidak air. Letih dan kecewa semakin menggerogoti semangat juang mereka. Dengan kepayahan, kehausan, dan kekecewaan juga kekhawatiran bahwa sumur ketiga pun sudah tidak berair, mereka mencoba mendatangi sumur berikutnya. “Ternyata masih ada air!” begitu kira-kira luapan kegembiraan mereka. Euphoria melanda pasukan yang berada di garis depan tersebut, mengundang teman-temannya yang berada di belakang untuk ikut menikmati air yang cuma disisakan sedikit oleh pasukan Rasulullah. Seribu orang yang ingin menikmati air yang tinggal sedikit itu, justru menimbulkan kekacauan di antara mereka. Di sini, pasukan Rasulullah sudah mulai membuka pintu kemenangan tanpa bersusah-payah.

Dalam keadaan yang sudah kacau itulah jagoan-jagoan Rasulullah seperti Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib maju menyongsong jagoan-jagoan Abu Jahal bin Hisyam. Dalam waktu singkat mujahid-mujahid Islam mampu menaklukkan musuh-musuh Allah. Endingnya, kita semua tahu, pertempuran yang tidak seimbang dari segi jumlah dan persenjataan itu dimenangkan oleh pasukan Rasulullah. Sebuah kemurahan dari Allah untuk menjawab doa Rasulullah dan juga atas jerih payah beliau dan para sahabatnya.


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Sunday, April 24, 2016

Sekilas Perang Badar 2

Bismillaah

Tulisan ini lanjutan dari Sekilas Perang Badar 1. Jadi, bukan berarti perang Badar itu ada dua. Yang dua cuma tulisan tentangnya ini.
Peperangan adalah sesuatu yang sangat tidak kita sukai. Apalagi jika kita berperang dengan orang yang pernah sangat dekat dengan kita. Entah itu orang tua, anak, kerabat, atau teman yang sekarang terpisah karena berbeda agama atau keyakinan. Itulah yang terjadi dengan kaum muslim, Muhajirin terutama, yang akan berperang menghadapi kaumnya sendiri, yang di dalamnya ada orang-orang yang mereka cintai. Maka turunlah firman Allah QS. Al Baqarah ayat 216 berikut ini:

Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙŠْÚ©ُÙ…ُ الْÙ‚ِتَالُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙƒُرْÙ‡ٌ Ù„َّـكُÙ…ْ ۚ  ÙˆَعَسٰۤÙ‰ اَÙ†ْ تَÙƒْرَÙ‡ُÙˆْا Ø´َÙŠْــئًا ÙˆَّÙ‡ُÙˆَ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َّÙ€Ú©ُÙ…ْ ۚ  ÙˆَعَسٰۤÙ‰ اَÙ†ْ تُØ­ِبُّÙˆْا Ø´َÙŠْــئًا ÙˆَّÙ‡ُÙˆَ Ø´َرٌّ Ù„َّـكُÙ…ْ  ؕ  ÙˆَاللّٰÙ‡ُ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ ÙˆَاَÙ†ْـتُÙ…ْ Ù„َا تَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh

 jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Ketika itu pasukan Muslim yang dipimpin oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ingin menghadang kabilah dagang kaum Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sofyan. Namun Allah berkehendak lain. Kabilah Abu Sofyan telah menempuh jalan lain sehingga tidak bertemu dengan pasukan Rasulullah. Dan yang bersiap menghadapi pasukan Rasulullah justru pasukan Quraisy bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Abu Jahal, seorang paman Rasulullah yang sangat membenci beliau karena dakwah yang beliau sampaikan.
Mengetahui bahwa yang akan mereka hadapi adalah pasukan bersenjata lengkap dengan harta yang sedikit, bukan kabilah dagang yang membawa banyak harta, Rasulullah bertanya kepada pasukannya untuk memastikan apakah mereka akan tetap maju berperang atau kembali ke Madinah. Kaum Muhajirin, salah satu bagian dari pasukan tersebut, menjawab dengan yakin bahwa mereka akan terus maju. Pertanyaan Rasulullah itu diulang sampai tiga kali dan ketiga-tiganya selalu dijawab dengan pasti oleh kaum Muhajirin. Setelah pertanyaan ketiga, Sa'ad bin Mu'adz, seorang pemimpin dari kaum Anshar angkat bicara. Dan ternyata inilah yang diinginkan Rasulullah; keputusan kaum Anshar. Mengapa Rasulullah sangat mengharapkan jawaban mereka?
Kalau kaum Muhajirin sangat ingin berperang melawan kafir Quraisy, itu sangat wajar. Mengapa? Karena mereka, dengan keislamannya, telah banyak dizholimi harta dan jiwanya juga keluarganya oleh kaum kafir tersebut. Sedangkan kaum Anshar? Mereka, sepertinya, tidak ada kepentingan apa pun untuk memerangi kaum kafir itu. Di sinilah loyalitas dan kecintaan kaum Anshar kepada Rasulullah terbukti dengan begitu jelasnya. Jawaban mereka yang diwakili oleh Sa'ad bin Mu'adz sungguh menggetarkan hati. Bahwa kemana pun Rasulullah pergi, dan apa pun yang beliau perintahkan, mereka akan sami'na wa atho'na. Akan selalu mendengar dan menaatinya. Itu sebagai salah satu ungkapan syukur mereka karena Rasulullah sudah berada di tengah-tengah mereka, telah mengubah hidup mereka menjadi jauh lebih baik dan lebih bermakna dalam pelukan Islam. Masyaallah.
Setelah mendengar jawaban Sa'ad bin Mu'adz tersebut, Rasulullah semakin mantap. Pergilah mereka ke Bukit Badar untuk menyongsong pasukan Abu Jahal. Bertempatnya mereka di atas bukit itu merupakan strategi perang yang sangat jitu. Posisi di atas bukit memudahkan mereka memantau dan menyerang musuh. Dan, bagi pasukan musuh, akan sulit menyerang yang di atas bukit. Rasulullah memang benar-benar cerdas sesuai sifat yang disandangnya, fathonah.
Ternyata ada seorang sahabat yang masih mempertanyakan strategi Rasulullah tersebut. Dialah Harb bin Al Mundzir.
"Wahai Rasulullah, apakah posisi yang kita tempati saat ini merupakan wahyu Allah atau semata-mata hasil keputusanmu sendiri?" Begitu kira-kira pertanyaan yang diajukan.
"Tidak. Ini adalah hasil pemikiranku sendiri," jawab Rasulullah.
"Kalau begitu, bolehkah saya mengusulkan sesuatu?" lanjut sahabat itu.
"Silakan," begitu mungkin jawab Rasulullah tercinta.
Masyaallah. Seorang manusia suci yang dijamin masuk surga, seorang nabiyullah yang mempunyai derajat tinggi di sisi Rabbnya, mau menerima pendapat seorang anak buah yang biasa-biasa saja. Bukan dari seorang sahabat yang sudah teruji kebaikan dan loyalitas serta ketaatannya seperti Abu Bakar atau Umar bin Khottob. Tapi dari seorang Harb bin Al Mundzir, yang namanya tidak sepopuler dua sahabat yang disebut sebelumnya. Luar biasa.
Apa ide sahabat tersebut? Kita lanjutkan pada tulisan yang akan datang.Bismillaah
 In sya Allah.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Sekilas Perang Badar 1










Bismillaah

Sabtu yang cerah. Sayang rasanya kalau hanya diam di rumah. Lebih baik kita manfaatkan untuk menambah ilmu sekaligus silaturahim dengan saudara-saudara jauh. Tatsqif atau kajian kali ini memang cukup jauh dari rumah, tapi saya sangat beruntung bisa hadir di sana. Mengapa? Karena pematerinya seorang ustadz muda yang buku-bukunya sudah sering saya baca. Siapa dia? Tak lain dan tak bukan, yaitu Ustad Salim A. Fillah, penulis Lapis-lapis Keberkahan.

                Kajian kali ini tentang Perang Badar. Meskipun sudah beberapa kali membaca siroh tentang perang ini, tetap saja beda ketika yang menyampaikan Ustadz Salim. Banyak hal yang tak terungkap di buku Siroh Nabawiyah yang pernah saya baca. Atau saya yang kurang cermat membaca? 

                Kisah ini dibuka dengan peristiwa terjadinya peperangan yang terjadi di bulan Rajab. Bulan Rajab merupakan salah satu bulan haram yang di dalamnya kaum Arab waktu itu dilarang berperang. Tetapi darah telah tumpah akibat ketidaktahuan seorang muslim yang mendapat perintah dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam. Dalam surat tersebut Rasulullah memberikan izin berperang pada tanggal 1 Sya’ban. Sahabat itu menduga bahwa hari itu sudah memasuki bulan Sya’ban, namun ternyata masih tanggal 30 Rajab. Hal ini memancing kemarahan kaum kafir Quraisy, yang kemudian sangat menyalahkan Rasulullah. Mereka menganggap Rasulullah dan kaum muslim telah melakukan dosa besar dengan melanggar adat yang telah mereka pegang turun-temurun.

                Berkaitan dengan peristiwa tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan QS. Al Baqarah: 217 yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduk  dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih besar (dosanya) dari pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”


Dalam ayat tersebut jelas sekali disebutkan bahwa berperang di bulan haram merupakan dosa besar. Tetapi mencobai (memfitnah) orang mukmin, dosanya jauh lebih besar. Lebih besar dibandingkan dengan berperang itu sendiri.

                Di akhir ayat disebutkan bahwa orang-orang kafir itu akan terus memerangi kaum muslim hingga mereka murtad. Orang yang murtad, amalnya tidak berguna di dunia maupun di akhirat. Balasannya di akhirat nanti, ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Sedangkan di dunia, sesuai hukum Islam, ia dikenakan hukuman mati  (hudud).  


              Mengapa Islam memberikan hukuman seberat itu? Sebenarnya yang menjadi titik berat bukanlah hukumannya, tetapi esensi dan tujuan dari hukuman tersebut. Apa tujuannya?
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai saat agama Islam memberlakukan hukuman hudud. Yaitu:
1. hifdzul dien atau untuk menjaga agama; supaya manusia tidak seenaknya pindah agama. Itu salah satunya, 
2. hifdzul nafsi yaitu menjaga jiwa manusia
3. hifdzul nasab; menjaga keturunan
4. hifdzul 'aql; menjaga  akal manusia
5. hifdzul maal; menjaga hak milik pribadi masing-masing.


                Dengan demikian, maka jelaslah bahwa apa yang sudah ditetapkan dalam hukum Islam, tujuannya bukan untuk menghukum, tetapi untuk menjaga kemaslahatan umat. Agar manusia tidak bermain-main dalam beragama. 


Bersambung ... Disini


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari