Wednesday, February 24, 2021

Market Day

Bismillah

"Mi, aku disuruh jualan sama Bu Guru," kata Hakim semangat.

"Mau jualan apa, Mas?" tanyaku sambil berpikir kira-kira apa yang bisa dijual.

"Nggak tahu," jawabnya bingung.

"Mm ... Bagaimana kalau ini, aksesoris? Ada bros dan gantungan kunci. Bawanya gampang, nggak berat, pula," ujarku mencoba memberikan pilihan.

"Iya, deh. Aku mau, Mi," serunya dengan senang.

Tibalah hari yang ditunggu, "Market Day". Sekantong aksesoris dibawa Hakim ke sekolah. Tak lupa, membawa uang recehan untuk kembalian nanti.

Sorenya, dia pulang dengan lesu, sepertinya kelelahan.

"Bagaimana jualannya, Mas?"

"Nih, tinggal sedikit, Mi," ucapnya sambil menyerahkan barang jualan yang tersisa.

"Wah, alhamdulilaah. Mas Hakim pinter jualannya, ya. Keren!" seruku penuh kebanggaan.

"Uang hasil jualannya mana?"

"Nggak ada," jawabnya polos sambil menyerahkan uang recehan yang benar-benar receh. Seharusnya ia pulang membawa uang puluhan ribu, bukan ratusan perak, seperti yang baru saja diserahkannya.

"Kok bisa? Hilang?" desakku penasaran. Barang habis, tapi uangnya tidak ada. Ke mana, gerangan?

"Nggak. Tadi aku pakai buat jajan," ujarnya sambil tersenyum dengan wajah innocent. 

Oalah, beginilah kalau anak kelas dua disuruh jualan. Salahku juga, tidak memberikan pijakan yang kuat sebelum dia terjun ke "dunia bisnis" ini. 


Meskipun uminya rugi, tapi, insyaAllah, banyak pelajaran yang telah ia dapatkan dari program Market Day ini. Pertama, dia belajar berani. Berani berjualan, menawarkan barang dagangan kepada teman-teman dan gurunya, tentu membutuhkan keberanian tersendiri. Dan, merupakan perjuangan yang tak mudah bagi anak yang pemalu. 

Kedua, dia belajar berhitung. Bagaimana dia memberikan uang kembalian, itu juga memerlukan kecermatan dalam berhitung. Meskipun tidak jelas, apakah dia salah menghitung atau tidak karena uangnya pun tak nampak. 

Ketiga, dua juga belajar bagaimana menjadi seorang pedagang yang jujur. Menunjukkan barang sesuai keadaannya, apa adanya, tanpa menyembunyikan cacatnya. Jujur pula dalam memberikan harga dan uang kembalian.


InsyaaAllah, pengalaman ini akan bermanfaat untuk masa depannya nanti. Karena setiap momen dalam proses kehidupan adalah saat terbaik untuk mengambil hikmah dan pelajaran.

Monday, February 22, 2021

Berbagi

Bismillaahirrahmaanirrahiim


"Mi, rotinya buat ibu itu, ya," tetiba si sulung bicara sambil mengambil sebuah roti. Saat itu kami sedang duduk di mobil menunggu para jagoan salat Maghrib. Kami yang sedang tidak salat, setia menunggu di dalam mobil. 


Mendengar ucapan si sulung, otomatis, mata saya mencari sesosok yang dia sebut "ibu". Siapakah dia, gerangan? Sambil mencari-cari, mata ini mengikuti langkah kaki anak gadis. Dia berjalan tergesa ke arah seorang perempuan tua yang sedang mengambil botol plastik bekas di tong sampah. Lalu diulurkannya roti itu. "Ini buat ibu," tuturnya sambil tersenyum malu.

"Terima kasih, Neng. Semoga pinter sekolahnya, jadi anak sholih," sambut perempuan itu dengan mata berbinar.


Berbagi, memang tidak harus dengan uang yang banyak. Sepotong roti pun bisa membahagiakan orang yang menerima. Karena ia membutuhkan. 


Dan, karena anak-anak, memang tidak selalu memiliki uang untuk disedekahkan, maka apa pun yang dimiliki bisa diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Seperti kisah sepotong roti itu. Meski terkesan receh, tapi bisa sangat berarti bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.


Bagi sebagian orang, mungkin sepotong roti tidak ada harganya. Bahkan, bisa jadi juga tidak bermanfaat dan kadang sampai terbuang percuma. Jadi mubadzir. 


Sepenggal kisah di atas, mengingatkan saya tentang kisah seorang ustadz yang berbagi makanan dengan beberapa semut. Yang menarik, kejadian itu dialami sang ustadz saat harus mendekam di penjara. Secara logika, orang yang dipenjara, tentu dalam keadaan serba kekurangan. Namun, keterbatasan itu tidak membuat sang ustadz kehabisan akal untuk bersedekah. Karena sedekah sudah menjadi life style-nya, maka di mana pun, kapan pun, akan selalu dilakukan.


Ternyata, kegemaran sang ustadz dalam bersedekah, telah mempermudah berbagai urusannya di dunia. Termasuk takdirnya yang harus merasakan dinginnya lantai hotel prodeo. Karena setelah keterpurukannya itu, beliau banyak mendapatkan pencerahan yang akhirnya mengantarkan beliau ke gerbang kesuksesan.


Hal itu tidaklah mengherankan karena memang Allah telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang suka bersedekah dengan berbagai kemudahan dan kenikmatan. Seperti dalam hadits ini.

"Allah Ta'ala berfirman (dalam hadits qudsi): 'Wahai anak Adam, berinfaqlah, niscaya Allah akan memberikan nafkah kepadamu.'" (HR. Al-Bukhari)

Thursday, February 18, 2021

Sop Cinta


Bismillaah

"Aku yang ngupas jagungnya!" seru si bungsu penuh semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung mengeksekusi apa yang ia ucapkan.


"Ya udah, aku wortelnya," ujar sang kakak pasrah. Diraihnya tiga wortel yang masih terbungkus plastik, lalu dikupasnya menggunakan pisau khusus pengupas wortel dan kentang.


"Aku yang nyuci, ya Mi." 

"Aku yang motong-motong."


Begitulah keriuhan dapur di Ahad pagi. Ya, hanya di hari Ahad atau hari libur, kami bisa bercengkerama sambil memasak di dapur. Biasanya, mereka memilih aktivitas yang mereka sukai, dan mengerjakannya dengan riang gembira.  Setelah itu, saya yang memasak dan menyelesaikannya. Ketika sudah matang, mereka pun membantu plating. Memasak jadi terasa menyenangkan. 


Di sela-sela kegiatan itu, anak-anak sekaligus belajar mengenali bumbu dapur. Mereka jadi tahu yang mana jahe, lengkuas, kunyit, dan yang lain-lainnya. Di samping itu, mereka juga jadi tahu bagaimana proses memasak berjalan. Saat itulah mereka tahu bahwa memasak itu butuh waktu dan proses. Tidak serta-merta, atau instan. 


Setelah memasak, mereka pun belajar bagaimana membereskan segala sesuatu pasca memasak. Sampah yang berantakan, peralatan dapur yang kotor, lantai yang belepotan, harus segera dibereskan agar dapur bersih dan rapi seperti semula.


Banyak hikmah yang diperoleh anak-anak dari kegiatan memasak bersama ini. Selain mendapatkan kesenangan dengan bermain-main sayur dan teman-temannya, mereka pun punya alternatif kegiatan. Tidak hanya bermain gadget. Mereka pun jadi bisa memasak, meski masih yang gampang-gampang. Sehingga, saat mereka lapar dan tidak ada makanan di meja makan, mereka pun bisa memasak sendiri makanan favoritnya.


Memasak bersama, ternyata juga dapat menambah selera makan. Mereka bangga bisa membantu memasak, sehingga mereka pun semangat untuk menghabiskan sayur hasil masakan mereka. Ya, meski finishing-nya dikerjakan oleh ibunya, tetap saja ada kontribusi mereka yang menyisakan rasa bangga.


Maka, sayur sop yang sederhana pun terasa nikmat karena diolah dengan sepenuh cinta. Cinta ibu kepada anak-anak, cinta anak kepada orang tua, terutama ibu. Tak ada yang bisa mengalahkan resep yang berbumbu cinta tulus ini. Bahkan seorang master chef sekalipun.

#Sarapankata
#KMOIndonesia
#KMOBatch30
#Kelompok32
#Jumlahkata429
#Day9

Wednesday, February 17, 2021

Tanda Cinta


Bismillaah


Beberapa hari terakhir Ramadan beberapa tahun yang lalu, kelima anak itu terlihat kasak-kusuk di kamar. Samar-samar terdengar suara si sulung, " Kamu punya berapa?" 

Wah, apa yang sedang mereka rencanakan? Tapi, karena berbagai kesibukan yang harus tetap diselesaikan, saya tak begitu peduli dengan tingkah polah mereka. Yang penting suasana rumah masih kondusif, mereka bermain dengan tenang dan akur. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.


Tibalah malam takbiran, menyongsong Idul Fitri. Kedua anak gadis itu izin ingin keluar sebentar, katanya. Entah mau ke mana. Mungkin ingin lihat-lihat kemeriahan malam takbiran, yang ternyata sudah tidak semeriah zaman kecil saya. Kalau dulu, malam lebaran terasa meriah dengan lantunan suara takbir dan bedug yang bertalu-talu, sekarang ramai dengan orang-orang yang berbelanja menyiapkan hari raya.

Tak berapa lama, kedua anak itu telah kembali ke rumah. Lalu, mereka berlima menghampiri saya, "Ini hadiah untuk Umi," serempak mereka berseru sambil mengulurkan sebuah bingkisan.

"Wah, apa ini?"

"Buka aja, Mi," seru mereka penuh semangat.

"MasyaAllah, cantik sekali! Terima kasih anak-anak Umi yang shalih dan shalihah," ucapku sambil mencium mereka satu per satu. Meski apa yang mereka berikan sungguh sederhana, namun terasa istimewa di hati. 


Peristiwa ini mengajarkan banyak hal kepada kami. Anak-anak belajar bekerja sama mengumpulkan uang untuk membeli hadiah. Mereka belajar mengalahkan egonya, merelakan uang yang telah susah-payah ditabung, demi ibunya. 


Dari situ, mereka belajar untuk kompak dengan saudara. Sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kehidupan mereka di masa depan. Ketika kami, orang tua, sudah tidak berada di sisi mereka lagi, maka kekuatan persaudaraan menjadi sesuatu yang sangat vital. Agar mereka bisa survive, dukungan saudara kandung sangat diperlukan.


Memberi hadiah, adalah sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai" (HR Al-Bukhari). Hadiah, dapat menumbuhkan rasa cinta kepada orang yang diberi maupun yang memberi. Sedangkan hadiah yang diberikan kepada seseorang yang tidak menyukai kita, akan mencairkan suasana hati. Yang tadinya mungkin, kurang suka atau benci, menjadi netral, minimal. 


Oleh karena itu, memberikan hadiah kepada orang yang memang memiliki hubungan baik kepada kita, adalah sesuatu yang wajar. Sedangkan memberi hadiah kepada orang yang tidak suka dengan kita, itu baru luar biasa.


Maka, hadiah anak-anak yang diberikan kepada orang tua mereka, meski tak seberapa nilainya, semoga semakin menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.


Tuesday, February 9, 2021

Astaghfirullah

Bismillah


Alhamdulillaah, akhir-akhir ini, banyak sekali kekecewaan yang saya alami. Di rumah, juga di sekolah tempat saya mengabdi dan mencari mata pencaharian membantu suami.  Dan juga di tempat bisnis. Mungkin ini merupakan teguran dari Allah karena saya sudah jauh dari-Nya.

Ya, akhir-akhir ini, saya jarang sekali salat malam. Badan rasanya lelah setelah seharian bekerja dan menemani anak-anak belajar. Tidur hampir selalu di atas pukul sepuluh malam. Tak heran bila mata pun berat untuk membuka. Rasanya pedih. Mungkin efek terlalu banyak menatap layar hp dan laptop juga.

Ingin menangis, tapi malu. Rasanya ingin mengadukan semua ini kepada Allah di hening sepertiga malam terakhir. Namun, keinginan hanya tinggal angan. Badan terasa berat untuk bangkit dari balik selimut hangat. Meski alarm telah berbunyi, tetap saja meringkuk. 

Astaghfirullah ....

Ini mungkin akibat begitu banyak dosa yang telah saya perbuat. Terlalu banyak melalaikan ibadah kepada-Nya. Terlalu asyik dengan kesibukan dunia yang tak pernah usai. Tilawah keteter, hafalan tak terpegang, puasa berantakan.

Astaghfirullah ....

Alhamdulillaah, Allah masih menegur saya. Semoga ini pertanda, Allah masih menyayangi saya. Masih memberi kesempatan kepada saya untuk berbenah. Untuk memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik daripada kemarin.

Memang, akhir-akhir ini, saya merasa berada di titik terendah. Menjadi istri yang tak berguna, ibu yang tak bermanfaat, guru yang tak becus. Betapa hinanya diri ini.

Astaghfirullah ....

Kini, kesadaran itu perlahan muncul, meski masih malu-malu. Ada azam untuk menjadi lebih bermakna. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang tercinta.


Dan, kuncinya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Mendawamkan puasa, tilawah one day one juz, sedekah, menghafal Al-Qur'an, dan salat malam. Itu yang harus dibiasakan kembali.

Semoga, dengan merutinkan ibadah itu, hati menjadi tenang, anak-anak mudah diarahkan, suami tidak dikecewakan, pekerjaan tuntas. Aamiin yaa rabbal'aalamiin.

Hanya saja, tidak mudah memang, mengaplikasikannya. Perlu tekad membaja dan dukungan dari orang-orang sekitar. Keluarga dan juga teman-teman. Tapi, apakah saya bisa, meminta bantuan mereka? Bibir ini terasa kelu, hati ini merasa malu untuk mengungkapkan isinya.

Sunday, February 7, 2021

Merenda Hikmah

Bismillaah


Tetiba saja Allah turunkan penyakit ini sehingga tatanan kehidupan yang selama ini berjalan mulus menjadi berubah drastis. Anak-anak tak lagi sibuk berkemas di pagi hari agar tak tertinggal mobil jemputan. Ibu-ibu pun tak perlu bergegas memasak dan menyiapkan sarapan. Kini, waktu seperti melambat. 

Semua karena sistem belajar dari rumah (BDR). Anak-anak merasa lebih santai, sehingga kadang kebablasan. Sudah waktunya belajar tetapi belum mandi, belum sarapan juga. Alhasil, saat guru sudah menyapa melalui video call atau video conference, ada saja yang belum mandi atau sedang mengunyah sesuatu. 

Namun, di balik semua itu, pandemi ini mendatangkan banyak hikmah yang bisa kita petik. Di antara yang paling sering disinggung adalah kembalinya fitrah tugas kependidikan kepada orang tua, pengemban amanah jiwa-jiwa suci titipan Allah. Bila selama ini, orang tua hanya tahu beres, sekarang mereka harus turun tangan langsung. Mendidik dan mengajari anak-anak. Baru terasa, betapa berat, tugas guru.

Di keluarga saya sendiri, banyak sekali hikmah yang kami dapatkan karena pandemi ini. Yang pertama, tentunya kesempatan berkumpul dengan anak-anak, membersamai mereka belajar, dan banyak hal lain yang selama ini jarang dan hampir tidak pernah terlaksana.

Selama belajar dari rumah, anak-anak pun lebih banyak kesempatan eksplor. Mereka belajar memasak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, membaca buku-buku yang tadinya ditelantarkan, dan banyak lagi yang lainnya.

Bagi saya, ini sangat membahagiakan. Saat mereka pergi sekolah, hampir tidak ada waktu untuk membantu pekerjaan rumah. Mereka berangkat pagi, pulang sore dalam keadaan lelah. Malamnya pun harus belajar atau mengerjakan tugas yang diberikan guru atau yang belum tuntas dikerjakan.

Melihat mereka kelelahan, tentu tidak tega untuk mengerjakan ini-itu. Tapi sekarang? Justru tenaga mereka sangat berlimpah, dan berbahaya bila tidak dialokasikan dengan tepat. Maka, menyitir perkataan Pak Ading, seorang childhood optimizer, saat pandemi seperti ini, orang tua jangan capek sendiri. Anak-anak harus dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga. Karena, kalau ibu sudah kecapekan, akan menyebabkan emosi tinggi. Itu tidak baik untuk mendampingi anak-anak belajar dari rumah.

Setiap anak harus memiliki tugas untuk membantu orang tua, meskipun tidak harus ditentukan. Karena, masih menurut Pak Ading, pemberian tugas kepada anak-anak tidak dimaksudkan agar mereka mahir dengan pekerjaan tersebut. Tetapi lebih pada, agar mereka peduli dengan orang tua mereka, terutama ibu. Khusus untuk anak laki-laki, hal ini bertujuan agar kelak saat mereka menjadi suami, mereka akan selalu siap membantu istrinya yang kerepotan. Menjadi suami yang peduli dan siap siaga. Tidak cuek dan sibuk sendiri dengan dunianya.

Thursday, February 4, 2021

Semoga Allah Mudahkan

Bismillaah


Hari-hari menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terasa semakin berat dan menantang. Tugas semakin banyak, sedangkan waktu tidak bertambah. Tetap 24 jam. 


Pada semester 2 ini, beberapa program baru diluncurkan untuk membuat pembelajaran semakin menarik dan efektif. Salah satunya adalah dengan diadakannya sesi Jurnal Siang. Untuk kelas 4-6, jurnal siang dilakukan setiap hari. Itu artinya, setiap hari dari Senin sampai Jumat, kami harus mengoreksi jurnal para siswa tersebut. Minimal membacanya.


Meski sekadar membaca, waktu yang diperlukan tidaklah sebentar, mengingat tulisan anak kelas atas itu banyak. Bisa satu halaman penuh. Belum lagi menunggu file terbuka. Kalau sinyal sedang lancar, alhamdulillaah, satu dua detik sudah terbuka. Dan, bila sinyal sedang tidak bersahabat, satu file butuh lebih dari 10 detik untuk terbuka. Satu jurnal bisa menghabiskan waktu lebih dari lima menit. Kali 23 siswi. 


Sebelum ada Jurnal Siang saja, saya sudah keteteran dengan banyak pekerjaan siswa yang harus dikoreksi. Ditambah lagi harus menyiapkan bahan ajar. Jam kerja di sekolah tidak pernah cukup untuk menuntaskan semua pekerjaan itu. Terpaksa, di rumah pun masih harus mengurusi tugas sekolah. Kadang harus lembur dan begadang hingga dini hari.


Kini, selain Jurnal Siang, ada lagi tambahan kelas intensif khusus untuk anak-anak yang masih belum mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Ada tiga mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa ini, yaitu membaca Al-Qur'an (tilawah), literasi, dan numerasi. Sebagai guru bahasa Indonesia, otomatis saya harus terlibat dalam pelajaran literasi.


Dalam satu pekan, literasi mendapatkan dua kali pertemuan. Akibatnya, ada beberapa hari yang akhirnya saya harus mengajar nonstop. Dari pukul 08.00 hingga 12.30. Bisa dibayangkan, betapa lelahnya mata dan badan. Mata lelah karena harus menatap layar hp dan laptop, tubuh lelah karena harus duduk terus selama mengajar.


Sampai hari ini, saya masih sering terlambat mengoreksi pekerjaan siswa. Tidak bisa langsung saat mereka mengumpulkan pada hari yang telah ditentukan. Menyiapkan materi pun masih keteteran. Barusan, seorang partner sudah menanyakan kesiapan soal yang akan digunakan untuk Penilaian Harian pekan depan. 


Saya sudah berusaha kerja cepat dan tuntas, namun qadarullah, tadi sinyal tidak bisa terhubung ke laptop. Sehingga pekerjaan membuat Google form jadi terhambat. Harusnya selesai tadi saat di sekolah, sampai sekarang belum selesai. Astaghfirullah.