Friday, January 31, 2020

Menimba Ilmu

Bismillaah


Hari ini, alhamdulillaah bisa silaturahim ke Ustadzah Ely di Lembah Hijau. Penampilan beliau masih seperti dulu, cantik, sederhana, dan ramah. Sudah puluhan tahun saya tidak bertemu dengan beliau. Tetapi, MasyaAllah, beliau masih ingat saya. Jadi ge-er.


Ada beberapa tausiyah penting yang beliau sampaikan. Yang paling mengena di hati, mak jleb, adalah bahwa Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam mulai bersemangat dalam syi'ar dakwah pada usia 40 tahun. Saat beliau diangkat menjadi rasul. Sejak itulah semangat dakwahnya tak pernah pudar, hingga Allah memanggilnya. MasyaAllah.


Kini, usiaku sudah lebih dari 40 tahun. Apakah diri sudah sebersemangat Rasulullah?
#tutupmuka deh.
Malu rasanya, bila ingat belum satu pun kontribusiku dalam dakwah Islam.
Apalagi bila ingat beberapa pahlawan Indonesia yang baru saja kembali kepada Sang Pencipta. Bapak BJ Habibie dengan seabreg prestasi dan jasanya kepada bangsa dan agama. Bapak Jose Rizal Jurnalis dengan wakaf tenaga, pikiran, moril, dan materiil.
Ah, apalah diri ini. Hanya bisa menuntut dan meminta. Belum bisa memberi dan berkontribusi. Semoga masih ada kesempatan untukku mensyiarkan dakwah Islam, untuk bekal kembali ke kampung akhirat. Aamiin ya rabbal'aalamiin

Kelam

Bismillaah


Kala bibir ini sibuk melangitkan pinta
Kusadar langit tak lagi mencurahkan berkah-Nya
Kala gemuruh tak kunjung mereda
Kucoba menata detak yang semakin menganga


Akankah
Perih ini kan menutup
Berganti damai
Yang menyejukkan dada dan rasa
Andai


Awan gelap berarak
Dibawa angin gemuruh
Menyesakkan pandang
Mengaburkan asa
Mengelamkan cita
Akan mimpi yang tertunda
Entah sampai kapan


Sebersit sinar mungkin kan
Bermakna
Terangi liku yang tak bertepi
Sinari labirin yang tak berkesudahan
Mungkinkah





Thursday, January 30, 2020

Entah

Bismillaah


Entah mengapa
Rasa itu datang
Mengoyak damai cintaku

Entah mengapa
Raut itu muncul
Menghempas rindu yang membiru

Entah mengapa
Senyum itu hadir
Meretas janji yang telah terukir

Entah mengapa
Gelak itu ada
Membelah sunyi hati nan sepi

Entah mengapa
Rasa itu datang
Pada hati yang tak lagi sendiri
Merenggut rasa yang ada
Yang tak ingin pindah
Ke lain hati
Entah mengapa

Janji



Bismillaah




"Ibu!!!" teriakku sekuat tenaga melihat lelaki itu menahan tangan dan langkahku. Air mata sudah jebol dari pertahanannya. Sakit hati dan lelah fisik membuatku histeris. Ibu dan Bapak setengah berlari menuju kamarku dan membuka pintu. Pertanyaan Ibu mengalir dengan suara bergetar menahan tangis. Menandakan kecemasan hatinya.

Melihat ada peluang untuk segera angkat kaki dari hadapan lelaki itu, secepat kilat kulangkahkan kaki menuju motor dan memacunya. Menjauh darinya. Tak kuhiraukan pertanyaan dan tatapan mata Ibu dan Bapak. Pikiranku hanya satu: segera lepas dari lelaki itu.

Sepanjang jalan, pikiranku tak karuan. Memoriku berputar mengulang peristiwa dua bulan lalu, saat ia mengungkapkan hasratnya untuk menjadikanku sebagai isterinya. Wajahnya yang polos seperti kain putih tak bernoda, membuatku berpikir untuk mempertimbangkan permintaannya. Walau sebenarnya, bukan dia tipe lelaki idamanku, karena dia perokok. Namun, janjinya untuk berhenti merokok bila sudah sah menjadi suamiku, menggoyahkan prinsip yang selama ini kupegang.

Kucoba mencari jawaban pasti dengan shalat istikhoroh. Entah ini jawaban Allah atau bukan, ternyata dia datang ke rumah dengan keluarganya untuk meminangku. Karena Ibu dan Bapak sudah setuju, dan hasil istikhoroh-ku pun tidak bisa tertangkap jelas, akhirnya kuterima juga lamarannya. Pernikahan pun terlaksana sebulan setelahnya.

Kini, sebulan sudah pernikahan kami. Tapi belum ada tanda-tanda bahwa rokok akan ditinggalkannya. Sebagai isteri, kucoba bicara baik-baik, setelah melayaninya dengan baik pula. Masih kuingat jelas percakapan kami seminggu yang lalu saat kuingatkan dia dengan janjinya yang akan berhenti merokok kalau sudah menikahiku.

"Aku pusing kalau nggak merokok, nggak bisa fokus bekerja. Kamu tahu, itu," jawabnya saat itu sambil merebahkan tubuh dan memejamkan matanya. Tidur. Tak berselang lama, suara dengkurnya mulai terdengar. Huh! Dasar tukang tidur! Isteri bicara baik-baik, malah ditinggal tidur.

Baru sebulan usia pernikahan kami. Bagi orang lain, sekaranglah saat-saat manis  pengantin baru. Tapi aku? Hanya seminggu kurasakan rasa manisnya. Sekarang hatiku malah resah dan gelisah. Bagaimana tidak gelisah, punya suami cuek begitu? Setiap diajak bicara serius, responnya dingin, sedingin es batu. Sedangkan bila bersama teman-temannya, ceria dan aktif berbicara. Beda banget saat ngobrol dengan aku, isterinya. Tetapi, itu tak begitu kurisaukan. Yang membuatku kesal dan semakin resah dengan hubungan pernikahan ini, saat kubaca chatting-nya dengan seorang perempuan. Begitu ringannya ia menyapa dengan kata-kata ‘sayang’ dan ‘cinta’.

“Biasalah, sama temen. Namanya juga anak muda,” begitu jawabnya waktu aku mempertanyakan hal itu. “Itu, kan, bahasa gaul. Nggak usah heran,” lagi-lagi, enteng sekali jawabannya. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. Inikah suamiku?

Bisa-bisanya dia memanggil perempuan itu dengan sapaan mesra, sedangkan dengan isterinya? Jangankan berkata ‘sayang’, ‘cinta’, ngobrol saja ogah-ogahan. Dia lebih tertarik chatting dengan teman-temannya daripada menanggapi isterinya. Jangankan isterinya, panggilan azan saja tidak ia hiraukan. Dia lebih mementingkan chatting dengan komunitasnya, daripada salat berjamaah masjid yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah. Nasihatku tak digubrisnya. Membuatku semakin kesal. Bahkan saat kuingatkan kewajibannya sebagai suami yang harus membimbing dan mendidik isterinya, dia malah melengos, pergi entah ke mana. Dan matanya tak lepas dari layar ponselnya. Astaghfirullah. Mengapa tak ada sedikit pun perhatiannya? Salahkah aku bila menginginkan bimbingannya dalam mengarungi bahtera hidup  ini?

Sesak dada ini seperti dihimpit batu kali yang sangat besar. Pening kepalaku memikirkan sikap suami yang semakin hari semakin menyebalkan. Rasanya muak melihat wajahnya.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak pulang ke rumah hari ini untuk regulasi diri. Aku menginap di rumah teman. Perlu mengabari suami? Tak perlu. Dia juga tidak akan mencariku. Hanya bapak-ibu yang perlu tahu aku ada di mana. Pasti mereka akan sangat mengkhawatirkanku bila aku tidak pulang tanpa kabar.
***
Kupandangi dua garis merah itu dengan perasaan tak menentu. Apa artinya ini? Aku hamil? Seharusnya aku bahagia. Ya, di saat orang lain sulit memperoleh keturunan hingga berpuluh tahun usia pernikahan mereka, alhamdulillah aku langsung hamil di bulan kedua pernikahan kami. Tapi, bagaimana aku bisa bahagia dengan sikap suami yang seperti itu? Sejak aku kabur beberapa hari yang lalu, sikapnya hanya berubah sebentar. Setelah itu, kembali seperti sediakala.

Tak terasa, air mata menetes di pipi. Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku belum siap menjadi ibu. Aku belum ingin mempunyai anak. Aku belum yakin dengan pernikahan ini, apakah akan berlanjut atau ....

“Kenapa Dik, kok menangis?” tanya Mas Wisnu yang baru keluar dari kamar mandi. “Apa ini?” tanyanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu melihat test pack di tanganku. “Hah??? Kamu hamil, Dik?” serunya sambil merengkuh bahuku ke dalam pelukannya. “Alhamdulillaah, terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Dik. Jangan menangis,” ujarnya sambil menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Mulutku masih kelu. Otakku serasa beku; tak bisa berpikir. Kenyataan ini benar-benar membuat pikiran dan perasaanku tak menentu.

“Jangan bersedih, Dik. Aku berjanji akan berhenti merokok. Aku berjanji akan meninggalkan teman-teman yang tak baik,” ujarnya penuh keyakinan, seperti dulu waktu memintaku untuk menjadi isterinya. Aku tak mau tertipu lagi.

“Bagaimana aku bisa percaya dengan janjimu? Dulu kamu berjanji akan berhenti merokok kalau kita menikah. Buktinya?” ucapku sambil berlinang air mata.

“Betul, Dik. Kali ini aku benar-benar berhenti, demi anak kita. Lihat!” serunya sambil meremukkan batang-batang rokok yang tersisa di atas meja. “Dan, lihat ini! Akan kusingkirkan segala komunitas yang menurutmu tidak bermutu itu,” serunya lagi sambil mengambil SIM card dari hp-nya. Dipatahkannya kartu itu, lalu ia campakkan ke dalam keranjang sampah. Senasib dengan remukan rokok tadi. Aku menatapnya tak percaya.

“Percayalah, Dik. Aku sangat mencintaimu. Aku juga sangat bahagia karena kita akan segera memiliki keturunan. Aku akan berubah. Aku akan menjadi kepala keluarga yang baik. Tentu saja dengan bantuanmu, Dik. Bagaimana, Dik? Please ...,” rayunya berusaha meruntuhkan keraguan yang sempat menguasaiku.

Kupandangi wajah lelaki yang akan menjadi ayah anakku itu dengan ragu. Haruskah aku memercayainya?
***

*Dimuat di Majalah Hadila bulan Oktober 2019

Wednesday, January 29, 2020

Adab Dulu, Ilmu Kemudian



  
Judul              : Ta’limul Muta’allim; Pentingnya Adab Sebelum Ilmu
Penulis            : Imam Az-Zarnuji
Penerbit          : Aqwam
Cetakan          : Juli 2019
Tebal              : 168 halaman
ISBN               : 978-979-039-734-7

            Fenomena saat ini, bila kita melihat generasi millenial, mereka terlihat cerdas dan pintar, selalu update dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru. Tetapi di sisi lain, terasa ada yang kurang bila memerhatikan mereka. Apakah itu? Adab. Ya, adab atau akhlak, tata krama mereka semakin menipis terkikis oleh kemajuan teknologi. Atau karena kita, sebagai orang tua yang mulai tidak memerhatikan pendidikan adab? Kita terlalu sibuk dan terlalu mementingkan kecerdasan intelektual mereka sehingga abai dengan yang satu ini?


            Sedangkan bila kita napak tilas perjuangan para ulama dan ilmuwan Islam dahulu dalam mengumpulkan dan mempelajari ilmu, mereka terlebih dahulu mempelajari adab. Sehingga, meskipun ilmu mereka banyak sekali, tidak menjadikan mereka kehilangan kesantunan dan ke-tawadhuan-nya terhadap guru-guru maupun orang tua mereka.


            Buku “Ta’limul Muta’allim” yang disusun oleh Imam Az-Zarnuji ini seolah mengingatkan kita kembali, para orang tua dan juga guru, agar sebelum mengajarkan ilmu terhadap anak-anak kita, terlebih dahulu kita harus mengajarkan adab kepada mereka. Dengan demikian, kita berharap, apa yang telah terjadi hari ini –minusnya adab anak-anak kita terhadap orang tua dan guru- bisa dikurangi atau pun dihilangkan. Sehingga kita akan dapati generasi Islam yang cerdas sekaligus beradab, berkarakter, seperti yang diinginkan oleh kurikulum pendidikan yang terbaru (Kurikulum 2013).


            Selain membahas tentang adab-adab bagi seorang penuntut ilmu, buku ini juga menjelaskan tentang definisi ilmu, fikih, dan keutamaannya, yang diuraikan dalam satu pasal tersendiri di awal pembahasan. Pada pasal lainnya, memuat tentang beberapa tips dalam belajar, seperti hal-hal yang mempermudah hafalan, hal-hal yang mendatangkan rezeki, menambah umur, dan menguranginya.


            Adapun adab menuntut ilmu, dapat kita temukan penjelasannya, di antaranya dalam pasal “Takzim terhadap Ilmu dan Ahli Ilmu”. Pasal ini diawali dengan
            “Penting diketahui bahwa seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu, kecuali dengan menakzimkan ilmu dan para ahlinya; juga memuliakan dan menghormati para ustadz.” (hal. 65)


            Itulah kunci dalam menuntut ilmu, menghormati ilmu dan guru. Kita tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu kalau kita hanya fokus dalam mengumpulkan ilmu namun mengabaikan bahkan tidak menghormati guru yang mengajarkannya. Tidak sedikit kita dapati, para penuntut ilmu yang berani membantah atau membentak gurunya. Tidak sedikit para penuntut ilmu yang berbicara dengan suara yang lebih keras daripada gurunya. Tidak sedikit pula para penuntut ilmu yang menjelek-jelekkan gurunya baik di depannya maupun di belakangnya. Astaghfirullaahal’adziim.


Sedangkan salah seorang sahabat sekaligus menantu Nabi ï·º , yaitu Ali bin Abi Thalib rodhiyallahu ‘anhu berkata:
            “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku satu huruf; jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku.” (hal. 65)


Seorang penuntut ilmu bagaikan budak bagi gurunya. Sang guru bebas untuk menjualnya maupun membebaskannya. Begitu tingginya penghargaan bagi seorang ahli ilmu. Apabila penghormatan yang diberikan kepada guru sudah begitu tingginya, maka tidaklah mengherankan bila ilmu yang diperoleh pun akan berkah, dan sang penuntut ilmu pun menjadi orang yang beradab sekaligus berilmu.


            “Salah satu cara menghormati seorang alim adalah tidak berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak memulai pembicaraan di hadapannya kecuali atas izinnya, tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak bertanya tentang sesuatu saat sedang bosan, memperhatikan waktu, dan tidak mengetuk pintunya tetapi sabar menantinya hingga ia keluar.”
            “Kesimpulannya: Seorang penuntut ilmu harus mencari rida gurunya, menjauhi kemurkaannya, melaksanakan perintahnya selama bukan maksiat karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Pencipta).” (hal. 66-67)

Tuesday, January 28, 2020

Bahasa Menunjukkan Bangsa




Bismillaah


Judul : Bahasa Mencerdaskan Bangsa
Penulis: Yanto Musthofa
Penerbit: Yayasan Batutis Al-Ilmi Bekasi
Cetakan: kesatu (Januari 2017)
Tebal: 183 halaman
ISBN : 978-602-60854-0-5

Bahasa menunjukkan bangsa adalah pepatah leluhur yang sangat dalam maknanya. Betapa dengan bahasa, seseorang akan terlihat seberapa berilmunya dan beradabnya. Kalau dalam bahasa Jawa ada ungkapan "ajining diri ana ing lathi". Kemuliaan seseorang berdasarkan lisannya. Tidak jauh berbeda dengan pepatah di atas. Isi pikiran kita bisa dilihat dari bahasa yang terucap dari lisan kita. MasyaAllah.


Dalam buku "Bahasa Mencerdaskan Bangsa", semakin terkuak betapa dahsyat pengaruh bahasa. Ternyata bahasa sangat berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang, kecerdasan suatu bangsa. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah dan struktur yang ada. Kalau sekarang ya, sesuai dengan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) yang telah menggantikan posisi EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).


Bahasa yang baik dan benar, apabila diterapkan dan diajarkan kepada anak-anak sejak dini, sejak balita, maka akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan otaknya. Penggunaan bahasa yang terstruktur membantu wiring syaraf-syaraf otak yang masih belum tersambung. Hebatnya, masa-masa keemasan ini, golden age, tidaklah terlalu lama. Karena ketika anak sudah memasuki masa pubertas, maka kemampuan penyerapan berbahasanya akan berkurang. Begitu juga saat memasuki usia dewasa, semakin sulit untuk dapat memaksimalkan kemampuan berbahasa. Tak heran bila kita jumpai orang yang belajar suatu bahasa di usia dewasa, waktu yang diperlukan untuk menguasai bahasa tersebut lebih lama dibandingkan anak-anak.


"Tiga tahun pertama kehidupan, saat otak sedang berkembang dan matang, adalah masa paling intensif perolehan kemampuan bahasa dan berbahasa bagi anak. Kemampuan terkait dengan kebahasaan ini bisa berkembang paling baik dalam lingkungan yang kaya akan suara, pemandangan, paparan konsisten terhadap aktivitas bahasa dan berbahasa orang lain.
Tampak ada periode kritis bagi perkembangan kebahasaan pada bayi dan anak kecil ketika otak dalam keadaan terbaik untuk menyerap bahasa. Jika periode kritis ini dibiarkan berlalu tanpa paparan bahasa, maka kelak akan lebih sulit bagi anak untuk belajar."
(Halaman 19)


Sering kita jumpai, bahkan pernah kita lakukan, bagaimana kita berbicara dengan bayi atau balita menggunakan bahasa yang di-cadel-cadelkan. Seolah-olah kita ini bayi juga. Padahal bayi atau anak kecil kita sedang belajar menyerap apa yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Kalau kita memberi contoh yang salah, maka akan sulit untuk meluruskannya.


Mari kita mulai dari saat ini, dari diri kita sendiri, untuk berbahasa yang baik dan benar, yang terstruktur. Agar otak kita khususnya, dan otak anak-anak kita pada umumnya, dapat berkembang dengan baik.
Aamiin ya rabbal'aalamiin.

AHIS Peduli




Bismillaah


Bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Jabodetabek dan Banten telah menelan banyak korban jiwa dan hilangnya harta benda termasuk rumah. Musibah ini terasa sangat berat bagi mereka yang terdampak. Apalagi yang sampai kehilangan tempat tinggal.


Bagi kita yang tidak terkena musibah, sudah seharusnya kalau kita menunjukkan kepedulian kepada mereka. Kalau tidak bisa memberikan dana, bisa dengan tenaga-menjadi sukarelawan, atau minimal dengan mendoakan.


AHIS (Al Hidayah Islamic School) yang terletak di Taman Lembah Hijau, Lippo Cikarang, Bekasi ikut berpartisipasi dalam memberikan bantuan kepada para korban bencana dengan mengadakan penggalangan dana. Alhamdulillaah, setelah selama sepekan penggalangan dana yang dikumpulkan dari para siswa, orang tua murid, dan seluruh civitas akademika Ahis, terkumpul dana sebesar Rp33.478.000,00.
Donasi tersebut disalurkan melalui tiga lembaga yang aktif sebagai relawan bencana. Donasi tahap pertama disalurkan melalui Yayasan Al Ummahat Bekasi, yang diberikan kepada para korban dalam bentuk jilbab dan pakaian.


Donasi tahap kedua disalurkan melalui Yayasan Peduli Yatim. Donasi melalui Yayasan ini diberikan dalam bentuk tas dan alat sekolah.


Sedangkan donasi tahap terakhir, disalurkan melalui ACT (Aksi Cepat Tanggap). Menurut penuturan Bapak Tatang, perwakilan ACT yang menjemput donasi langsung ke Ahis, donasi tersebut akan digunakan untuk proses recovery para korban banjir di Lebak, Banten. Banjir memang sudah surut, tetapi proses recovery ternyata tidak kalah penting dan urgent. Bahkan, proses ini bisa lebih berat karena aliran donasi sudah mulai berkurang.

Pemberian donasi berkurang tidak hanya disebabkan oleh telah teratasinya musibah banjir ini, tetapi juga karena jalur transportasi yang sangat berat. Untuk mencapai daerah yang terdampak banjir, para relawan harus menggunakan motor trail atau mobil off road, 4×4. Alhamdulillaah, ACT mendapatkan support mobil off road dari Komunitas 4×4 sehingga proses recovery tetap bisa berjalan.

Wednesday, January 22, 2020

Ridho Fahri Habibie


Bismillaah




Ridho

Seperti namamu
Kami ingin ridho dengan kepergian mu
Meski sesak dada kami
Meski perih hati kami
Kami ingin ridho ...


Ahad sore itu
Terakhir kau nikmati
Sejuknya air sungai
Yang membasuh kepenatanmu
Yang menyegarkan suasana hatimu


Namun Ahad sore itu
Sekaligus awal malapetaka
Yang tak pernah kau duga
Juga kami


Ridho
Seperti namamu
Ingin kami ridho melepasmu
Kembali kepada Sang Pemilikmu
Meski sedih ini tak terkira
Meski air mata tak henti mengalir
Sederas air yang membawamu
Nun jauh di sana



Ya Allah
Ampunilah Ridho
Terimalah amal kebaikannya
Sungguh ia telah mengisi harinya
Tuk menghafal firman-Mu
Tuk mengkaji diin-Mu
Tinggalkan keriaan masa remaja
Tinggalkan hangatnya pelukan
Ayah bunda


Sayangilah Ridho ya Allah
Semoga Engkau ridho
Kepadanya
Aamiin ya rabbal’aalamiin

Sunday, January 12, 2020

Teguran


Bismillaah

Kerja itu selingan, sambil menunggu waktu salat.


Tulisan itu bukan caption suatu gambar, tetapi tertempel di sebuah mobil operasional sebuah yayasan. Saya lupa namanya. Ketika membaca itu, suami saya sampai geleng-geleng, tak henti-henti. Sedangkan saya hanya tersenyum melihat tingkahnya. Ketika melihat tulisan itu? Duh, mak jleb rasanya. Lebih tajam dari cutter.
Astaghfirullaah. 


Kalimat sederhana itu begitu dalam maknanya. Membacanya, membuat saya malu karena menyadari kelakuan  selama ini dalam memandang ibadah salat. Kadang, bahkan sering, salat menjadi nomor sekian dalam prioritas kegiatan sehari-hari. Dengan alasan "nanggung", waktu mepet, de-el-el, saya sering menunda-nunda salat. Astaghfirullaah.

Betapa indahnya hidup, bila bisa seperti itu. Kita tidak akan menjadi budak dunia.
Betapa tenangnya hati karena hanya Allah yang menjadi pusat perhatian kita. Bukan pekerjaan, bukan harta, bukan jabatan.
Betapa damainya dunia karena tak ada lagi yang saling iri dengki, bila Allah yang menjadi tujuan akhir dari gemerlapnya dunia ini.
Ya Allah, semoga saya bisa benar-benar mengutamakan ibadah kepada-Mu, aamiin ya rabbal'aalamiin.