Sunday, June 28, 2020

Cinta Membaca


Bismillaah



Menumbuhkan rasa untuk suka membaca, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu pengorbanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Begitu pun yang saya alami. 


Waktu si sulung berusia sekitar 6 bulan, kami membelikannya sebuah buku yang berbahan kertas karton tebal sehingga tidak mudah sobek. Tetapi, tentu saja, harganya tidak murah bagi kami saat itu. Padahal, seharusnya, untuk sebuah ilmu dan pembiasaan perilaku baik, harga tidak menjadi masalah. Selain mahal, dijualnya pun masih terbatas di toko-toko tertentu. 


Meski demikian, saya tidak menyerah begitu saja. Alhamdulillaah, di kampus Universitas Negeri Jakarta waktu itu, ada pedagang buku bekas. Maka, saya banyak membeli buku di sana. Ada buku cerita, juga buku ilmu pengetahuan. 


Alhamdulillaah, buku-buku itu, meski bekas, masih bagus fisiknya. Isinya pun full colour, sehingga menarik minat anak. Dan, dimulai dari sekadar membuka dan membolak-balik, lalu menarik-narik, lalu menyobeknya, anak saya mulai terbiasa berinteraksi dengan buku.


Ada kalanya, saya membacakan isi buku kepadanya. Sedangkan suami, lebih suka mendongeng menjelang tidur. Kebiasaan ini, selain merangsang tumbuhnya minat baca, juga menstimulus otak untuk berimajinasi. Anak jadi membayangkan alur cerita yang didengarnya, tokoh dan juga benda-benda yang ada dalam cerita tersebut. 


Kini, anak pertama kami bisa dianggap, sudah cinta membaca. Semua terjadi dengan bertahap. Saat SD, dia suka membaca novel yang ditulis oleh para penulis cilik seusianya. Saat SMP, dia mulai menyukai novel teenlit. Ya, masih sesuai dengan umurnya. Di kelas 11, selain novel, dia sudah mulai suka membaca buku motivasi. Ustadz Salim A. Fillaah adalah salah seorang penulis favoritnya. 


Alhamdulillaah, kecintaan membaca itu, berdampak positif terhadap semangat belajar dan menulisnya. Dia jadi memiliki motivasi belajar tanpa disuruh. Dan, dalam hal menulis, alhamdulillaah, salah satu tulisannya sudah ada yang dimuat di majalah Hadila dalam rubrik Pengalaman Rohani.


Semoga kebiasaan baik ini bisa konsisten dilakukan dan memberikan banyak manfaat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Aamiin ya rabbal'aalamiin.


Saturday, June 27, 2020

Sudah Khatam-kah?



Bismillaah

Perintah Allah yang pertama kali diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah iqra, bacalah. Perintah membaca ternyata sangat penting sekali kaitannya dengan pencapaian ilmu dan wawasan seseorang. Terbukti, dengan membaca, kita semakin bertambah ilmu. Ilmu yang kita miliki berpengaruh juga terhadap amal ibadah atau muamalah yang kita lakukan. Dengan ilmu, kita terhindar dari kesalahan. InsyaaAllah.


Sebagai muslim, tentunya perintah membaca yang harus kita utamakan adalah membaca Alquran, sebelum membaca yang lainnya. Bahkan, kita dianjurkan untuk memulai hari dengan membaca Alquran. Apabila sebelum memulai aktivitas rutin, kita sempatkan untuk membaca Alquran, InsyaaAllah akan datang keberkahan dari Allah di sepanjang hari dan aktivitas kita pun berjalan lancar. InsyaaAllah.


Saat ini, alhamdulillaah, sudah banyak kaum muslim yang mulai merutinkan tilawah Al Qur'an. Banyak komunitas yang memotivasi kegiatan itu, salah satunya ODOJ (One day one juz). Saya bukan anggota komunitas tersebut, tetapi teman saya banyak yang bergabung di sana. Alhamdulillaah, setelah bergabung di komunitas tersebut, mereka jadi termotivasi untuk tilawah Al Qur'an minimal 1 juz sehari. Sehingga dalam satu bulan, diharapkan bisa khatam satu kali.



Salah seorang teman yang bergabung di komunitas tersebut, telah menginspirasi saya. Berkaitan dengan aturan yang ada di komunitas tersebut, apabila seorang muslimah haid, maka dia tidak dianjurkan untuk tilawah. Sebagai gantinya, dia boleh tasmi'  (mendengarkan murottal) atau membaca terjemahannya. Sama seperti tilawah, saat haid pun, dia harus tasmi' atau membaca terjemahan sebanyak satu juz.


MasyaAllah, dari kebiasaan itu, kini dia sudah berkali-kali berhasil mengkhatamkan bacaan terjemahan Al Qur'an. Inilah yang membuat saya terinspirasi. Betapa selama ini, saya hanya semangat dalam tilawah Al Qur'an, kadang-kadang juga menghafal. Tetapi tidak pernah terpikir untuk mengkhatamkan terjemahannya. 


Padahal, sebagai seorang ajam (non Arab), kita belum paham dengan bahasa Arab, bahasa Al Qur'an. Sehingga, sudah seharusnya kalau ingin memahami isi Al Qur'an, kita pun harus membaca terjemahannya. 


Setelah membaca terjemahannya, diharapkan kita dapat memahami isinya. Kalau sudah paham isinya, kewajiban selanjutnya adalah mengamalkan apa yang ada di dalam Al Qur'an. Dengan demikian, semoga kita bisa seperti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang akhlaknya seperti Al Qur'an berjalan. Aamiin ya rabbal'aalamiin.



Sunday, June 21, 2020

Bunga Desa


Bismillaah

"Ibu tahu nggak, bunga desa perumahan kami?" Tanya Feri sambil senyum-senyum.
"Nggak," jawabku singkat. "Siapa, memang?"
"Anita!" Seru hampir seluruh kelas, kompak.

Pekan lalu kami belajar tentang ungkapan dan peribahasa. Dari sekian banyak ungkapan dan peribahasa yang saya sampaikan kepada mereka, ternyata ungkapan "bunga desa" yang paling mudah diingat. Dan, menjadi favorit mereka. 

Ungkapan itu semakin mudah diingat karena berkaitan dengan kehidupan mereka. Saat ini memang mereka sedang menjelang masa puber. Mereka mulai menyukai teman lawan jenis. Dan, itu terjadi tidak hanya pada satu siswa. Banyak. 

Anita, salah seorang siswi, adalah yang menjadi bintang. Ada beberapa yang menyukainya. Makanya, mereka pun kompak menyebutnya sebagai bunga desa. Gadis tercantik di tempat tinggal mereka. Perumahan tempat sekolah kami berada. Dan, sebagian besar siswa memang tinggal di perumahan ini. Tak heran bila mereka serentak menobatkan Anita sebagai bunga desa.


Mengajar kelas 6 memang seru. Karena sebagian besar anaknya sudah baligh, jadi pembicaraannya pun tidak jauh-jauh dari kata-kata cinta dan akhwat. Mereka akan semangat sekali.



Setelah mereka puas menceritakan perasaan mereka, biasanya saya akan "berceramah". Tentu saja dengan bahasa mereka dan dengan suasana yang santai sambil bercanda. 


Mengingatkan mereka bahwa mereka masih kecil dan belum waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Meski, tak dapat dipungkiri, fitrah manusia itu menyukai lawan jenis. Itu sesuatu yang wajar. Silakan saja menyukai gadis pujaan. Namun, rasa suka itu jangan sampai mengganggu konsentrasi belajar.


Lalu bagaimana menyalurkan rasa itu? Harus diapakan?
Ya, terima dengan lapang rasa yang bersemayam di dalam hati itu. Jangan dipaksa pergi. Namun, jangan juga terlalu dipikirkan dalam-dalam. Kuatkan keyakinan dalam hati, bahwa jodoh kita sudah ditentukan oleh Allah.


"Lho, kita masih kecil, mengapa sudah membicarakan jodoh? Kita kan suka, ya sekadar suka. Bukan untuk menikah," begitu argumen kalian saat itu.
Memang wajar di zaman ini, laki dan perempuan saling menyukai tetapi bukan untuk menikah, melainkan sekadar bersenang-senang.


Tapi ingat, anak muda. Agama kita mengajarkan,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَاحِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra': Ayat 32)


Mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukan. Di masa sekarang ini, anak-anak muda yang saling suka, kemudian saling cinta, akhirnya berpacaran. Pacaran itu biasanya diam-diam, sembunyi-sembunyi, berdua-duaan. Sedangkan dua orang laki-laki dan perempuan tidak boleh berkhalwat, karena yang ketiganya adalah setan. 


Namun tak semudah itu memberikan pemahaman kepada kalian. Pengulangan, reminder, tak cukup sekali dua kali. Itu pun tak selalu berhasil. Sebagai guru, sudah tugas kami untuk selalu mengingatkan dan mengingatkan. Selanjutnya, hanya kepada Allah kita berserah diri. Semoga Allah selalu melindungi kalian, aamiin.

Saturday, June 20, 2020

Virtual Graduation


Bismillaah

Hari ini, akhirnya kita bersua, meski hanya di dunia maya.
Pagi ini, mungkin saat terakhir kita bisa saling bertatap muka.
Melihat wajah ceria kalian, memandang senyum manis kalian, ingin rasanya memeluk, melepas rindu yang telah memenuhi rongga dada ini.

Saat mendengar pidato yang kalian sampaikan, juga kesan-pesan yang kalian tuturkan, netra ini mulai berkaca-kaca. Hati ini bergemuruh oleh rindu dan pilu yang semakin membuncah.

Menatap satu demi satu wajah kalian, terbayang kenangan saat kita di kelas. Antusiasme, rasa ingin tahu, semangat memetik ilmu baru, dan juga persaingan menjadi yang terbaik, berkelebat dalam angan. Melesak-lesak ingin dituangkan dalam goresan rasa.

Kini, semua tinggal kenangan. Kenangan indah yang tak kan terlupakan. Kenangan manis yang selalu ingin terbayang dalam benak. 

Selamat jalan anak-anak
Selamat merajut asa menggapai mimpi
Yang sekian lama telah kaurajut
Baarakallahu fiikum
I'll miss you 😭

***

Mendung masih menggayut di langit saat kubawa langkah kaki ini meninggalkan sekolah yang penuh memori. Tak terasa setetes air mulai turun ke pipi. Perpisahan ini memilukan semua rasa. Perpisahan ini mematahkan segala angan. Angan dan rencana yang tinggal rencana. Allah tak berkenan mewujudkannya. Bukan karena Ia tak sayang. Namun justru karena kebaikan telah menanti di depan sana. Kebaikan dan keindahan yang tak pernah kita tahu. Gaib adanya.


Pertemuan kita hari ini, sungguh membahagiakan sekaligus memilukan. Bertemu dan menatap wajah kalian, adalah kebahagiaan tiada tara. Namun, diri ini pun menyadari, ini adalah hari terakhir kebersamaan kita. Mungkin menjadi hari terakhir bisa puas menikmati senyum bahagia kalian.



Berkali merasakan perpisahan, entah mengapa, hari ini tak biasa. Sakit dan perih rasa hati ini. Sedih. Bahkan air mata pun tak kuasa untuk bertahan di muaranya. 


Perpisahan ini terlalu cepat. 
Perpisahan ini tak seperti yang kita inginkan.
Perpisahan ini ... Berjuta rasa berkecamuk di dalam dada. 


Ampuni hamba yang lemah ini, ya Rabb.
Bukan hamba tak rida dengan segala kehendak-Mu,
Namun kesedihan ini sungguh menyesakkan dada. 
Hamba hanya ingin, mengalirkan rasa sesak ini,
Agar tak lagi menumpuk dan menyumbat relung hati.



#SHSB(32)
#Seratusharisatubuku
#Day20

Wednesday, June 17, 2020

Ghirahmu (2)


Bismillaah


Selain Me Time, kami pun  bisa berolahraga dengan Senam Nusantara yang diiringi lagu-lagu Nusantara. Saya sempat berpikir, jangan-jangan lagu-lagu daerah se-Nusantara diputar untuk mengiringi senam. Wah, bisa berabe, nih. Mana kuat? Alhamdulillah, di saat kaki sudah mulai letih dan lesu, musiknya berhenti. Ketahuan nih, jarang olah tubuh. Baru sebentar saja sudah loyo. ^_^


Setelah tubuh terasa lebih segar, peserta mendapat materi tentang apa itu LATANSA. Sayangnya, saya kurang bisa mendengarkan dengan jelas, karena suara sound system-nya kecil. Kemudian dilanjutkan materi tentang seputar penggunaan media sosial. Peserta diingatkan agar lebih berhati-hati dalam menge-share sebuah postingan. Dengan begitu banyaknya pesan yang bersifat hoax, sudah seharusnya apabila ingin membagikan suatu berita, kita harus tabayyun dulu, klarifikasi dulu, apakah informasi tersebut shahih atau tidak, valid atau tidak, bias dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak. Kalau kita tidak bias melakukan itu, lebih baik berita tersebut berhenti di kita saja. Tidak perlu di-share.


Begitu pula saat kita mengunggah status. Berhati-hatilah. Jangan samapai pepatah mulutmu harimaumu terjadi pada kita. Apa yang kita tulis, sama seperti apa yang kita ucapkan. Bisa berbahaya, bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bisa juga bermanfaat. Kalau status yang kita unggah adalah sesuatu yang bermanfaat, in syaa Allah pahalanya akan terus mengalir seiring banyaknya orang yang terinspirasi dari status tersebut. Begitu pula sebaliknya, bila status itu sesuatu yang berbahaya, atau mengandung fitnah, maka dosa orang-orang yang telah memercayainya atau ikut melakukannya, akan mengalir kepada diri kita juga. Na’udzubillahi min dzalik.


 Acara  yang tak kalah asyiknya di LATANSA, sesuai dengan namanya, LATANSA (Pelatihan Siaga Dasar Perempuan), adalah kursus kilat seputar P3K. Tahu, kan, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan?  Pematerinya seeorang relawan tingkat kabupaten. Mungkin seperti tim SAR (Search  And Rescue), begitu. Maaf saya lupa namanya. ^_^


Dari materi itu saya jadi tahu bagaimana menangani orang yang kecelakaan baik di rumah maupun di jalan, bagaimana menolong korban kebakaran, sampai bagaimana cara memberikan bantuan pernapasan. Selain itu, ilmu lain yang saya dapat adalah, bahwa kita tidak boleh menyebarkan foto orang yang mengalami kecelakaan, karena itu termasuk pelanggaran kode etik dalam bidang medis. Nah loh, selama ini kita seringkali mendapat atau bahkan ikut menyebarkannya, ya.


Dari sekian banyak ilmu yang diberikan hari itu, ada yang sempat membuat saya resah, yaitu bahwa mereka yang sudah pernah mengikuti pelatihan semacam ini, bila menghadapi atau menemui orang yang mengalami kecelakaan dan ia tidak mau menolong, bisa terkena sanksi hokum. Ih, ngeri, kan? Sedangkan ilmu saya belum seberapa. Nanti bukannya menyelamatkan, malah memperparah korban, lagi. Selain itu saya juga tidak kuat kalau melihat darah yang berceceran dan mengalir dari luka. Bisa lemes. Jangan-jangan, saya malah pingsan. Na’udzubillah. Saya sempat merasa menyesal telah ikut mendengarkan materi tadi. Tapi materi itu juga sangat penting. Namun, alhamdulillah, ditambahkan oleh pemateri bahwa kalau tidak ada yang tahu dan tidak ada yang melaporkan bahwa kita pernah ikut pelatihan P3K, in syaa Allah tidak ada masalah. Aman-aman saja.


Penjelasan tersebut, setelah bada Dhuhur, dilanjutkan dengan praktek. Kami yang 1.500 peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok. Selain diberi kesempatan langsung untuk memraktekkan materi yang sudah dijelaskan tentang P3K, kami juga dilatih bagaimana melakukan bela diri praktis ketika ada serangan dari orang yang berniat jahat. Saking asyiknya mendengarkan dan memraktekkan langsung, meski diguyur hujan deras, tak ada satu peserta  pun yang berniat untuk berteduh. Dengan jas hujan sekali pakai, kami bertahan dan berusaha menyimak materi. Jadi ingat masa kecil, asyiknya main hujan.


Sekitar pukul 5 sore, kami berkumpul lagi di lapangan. Sebelum acara ditutup, dipimpin oleh Santika (Barisan Putri Keadilan), peserta melakukan senam Asyik. Setelah itu, setelah sambutan penutup oleh Ibu Fatma Hanum selaku ketua BPKK, acara LATANSA pun ditutup. Kami pulang menjelang Maghrib dengan pakaian yang hampir 70% basah. Tapi, tak mengapa. Kami senang bisa ikut kegiatan ini, walaupun masih ada beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya. Tak mengapa. Bukankah tak ada gading yang tak retak? Semoga LATANSA berikutnya akan jauh lebih baik lagi, aamiin.



LATANSA telah membangkitkan ghirah (semangat) kami yang kadang melemah saat sendiri. Ketika berjamaah, ghirah itu kembali membara.

#KenanganLATANSA2018-BupertaCibubur

Monday, June 15, 2020

Graduation 2020


Bismillaah


Hari ini, Senin, 15 Juni 2020 adalah hari kelulusan kelas 6.  Biasanya, acara kelulusan selalu diselenggarakan dengan acara yang meriah. Ada seragam graduation, pangung, tampilan-tampilan dari adik-adik kelas, dan berbagai acara lain yang meriah. Namun kelulusan kali ini hanya dirayakan dengan pembagian surat kelulusan di sekolah dan pengambilan foto di photo booth yang drancang dengan sederhana. Tanpa panggung, tanpa pemberian tanda kelulusan -meski hanya sebuah scroll berisi surat kelulusan-.


Wajah-wajah lesu tak bersemangat, setelah hampir tiga bulan tak bersua, mewarnai hari ini. Kekakuan dan kecanggungan karena berpisah sekian lama mengurangi kebahagiaan hari ini. Ditambah lagi dengan suasana Graduation yang sungguh di luar perkiraan dan kehendak.


Tampak pula kesedihan yang tak mampu tersembunyikan di balik seragam dan jilbab baru. Semua membuat hati semakin pilu. Ingin memeluk dan sekadar memberikan kecup perpisahan, namun social distancing benar-benar memisahkan kita yang telah sedemikian dekat. Ya Allah ....


Bukan perpisahan yang kusesali, namun keterbatasan ini yang memilukan hati. Ingin rasanya mengulang kembali kebersamaan kita di kelas tercinta. Bercanda, bermain, bekerja sama, makan bersama, salat berjamaah, murajaah, dan semua kegiatan yang pernah kita lakukan bersama. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.


Betapa pun kesedihan yang kita rasa kini, kita mesti yakin bahwa semua ini adalah kehendak Allah Sang Pemilik alam semesta. Hatta daun yang jatuh pun, semua sudah ada dalam skenario-Nya. Apalagi yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Apa pun yan terjadi pasti ada sisi kebaikan yang kadang tidak kita ketahui di awalnya. Kita baru merasakannya setelah sekian lama melewatinya.


Setiap peristiwa, senang atau pun sedih, menguntungkan atau pun merugikan, pasti ada kebaikan di dalamnya, ada hikmah yang akan kita dapatkan. Seperti situasi saat ini, yang mungkin sangat tidak kita sukai. Tetapi, kita harus yakin bahwa Allah menciptakan sesuatu tidak dengan sia-sia. Pati ada tujuan dan kebaikan di sana. Kebaikan untuk kita hama-Nya. Seperti dalam firman-Nya QS. Al Baqarah ayat 216.

"... Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."


Hanya Allah yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi, kita tidak boleh berpikir negatif, bersuudzon kepada Allah. Sebaliknya, berpikir positif dan selalu berprasangka baik kepada Allah, akan membuat hati kita tenang dan tentram. InsyaaAllah.


Selamat jalan anak-anakku
Rajut mimpi indah kalian
Petik bintang di langit tinggi
Bentangkan sayapmu tuk terbang tinggi
Raih suksesmu
Jangan biarkan yang lain mengambilnya
Doaku ...
Sukses dan bahagia
Dunia akhirat kan kaudapat
Aamiin ya rabbal'alaamiin 

Ghirah-mu


Bismillaah


“Semangati saya, Bu!” ujar seorang sahabat  terdengar seperti rintihan. Mukanya sudah pucat dan kelihatannya mulai pusing juga. Terlihat dari jarinya yang memijit-mijit dahi. Tapi ia masih ingin ikut berbaris untuk mengikuti kegiatan berikutnya, membuat formasi huruf LATANSA.  Saran kami agar ia segera menepi dan isitrahat tidak digubrisnya. Semangatnya begitu kuat untuk bisa mengikuti kegiatan sampai akhir. Padahal tadi ketika rehat makan siang, ia sudah mengeluh capai dan ingin tiduran.


“Semangati saya, Bu!” ucapnya lagi sambil terus  memijit-mijit dahinya. “Ibu istirahat aja ...,” seru teman-teman yang lain. Belum selesai kami berbicara, tubuhnya sudah roboh ke teman yang lain, pingsan. Dengan segera, tim medis bertindak melakukan pertolongan dan membawanya ke posko kesehatan. Akhirnya ia harus istirahat juga. Ternyata fisiknya tak sekuat azam-nya.


Asyiknya LATANSA sampai membuat mereka yang memiliki uzur pun tetap keukeuh ingin bergabung. Ada yang sambil menggendong bayi, ada yang kurang sehat sehingga harus menggunakan kursi roda, ada yang memang lemah tubuhnya sehingga tidak kuat untuk melakukan aktivitas fisik berlebihan seperti sahabat yang saya ceritakan di atas. Sakit dan lemahnya tubuh tidak menyurutkan semangatnya yang luar biasa untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Ada  pula yang rela meninggalkan putranya yangsedang terbaring sakit. Semuanya demi  LATANSA.


LATANSA ini memang benar-benar asyik, begitu menghipnotis. Bagaikan gula, LATANSA berhasil mendatangkan begitu banyak akhwat dan ummahat. Seperti peribahasa, ada gula ada semut. Kami inilah semutnya. Hampir 1.500 peserta dari seluruh Kabupaten Bekasi tumpah-ruah memenuhi dan memutihkan salah satu lapangan di Jambore (nama lain Bumi Perkemahan Cibubur) ini. Ada yang datang bersama rombongan dengan naik bus maupun mobil pribadi. Ada juga yang naik motor dengan suami, ataupun dengan akhwat lain. Tidak sedikit pula yang datang bersama keluarga. Ketika sang umi mengikuti LATANSA, sang abi menunggui sambil momong putra-putrinya. Suami hebat! Asyik sekali, punya suami siaga. Alhamdulillah. Walaupun begitu, bukan berarti suami yang di rumah tidak kalah asyik, lho. Mereka juga siaga di rumah dengan pekerjaan rumah plus momong putra-putrinya.


Apa sih, asyiknya LATANSA? Sampai-sampai  rela meninggalkan rumah bahkan sebelum matahari meninggalkan peraduannya? Rela berpanas-panasan, kemudian hujan-hujanan? Apa sih, enaknya LATANSA? Bukankah lebih enak di rumah menikmati liburan bersama keluarga tercinta? Itu barangkali pertanyaan yang muncul dari mereka yang tidak paham dan tidak tahu.


Buat kami yang sudah ibu-ibu ini, emak-emak yang selalu sibuk dengan pekerjaan rumah, LATANSA bisa menjadi ajang Me Time. Saatnya menikmati waktu khusus untuk diri sendiri, tanpa anak dan suami. Dengan Me Time kita seperti menge-charge baterei. Kejenuhan dan kepenatan dari pekerjaan yang itu-itu saja, serasa lenyap dan menguap. Di sana kami bisa bertemu dan berbincang dengan teman lama ataupun teman baru. Bahkan reuni dengan teman-teman liqo waktu masih gadis ataupun saat baru berumah tangga. Itu bisa menjadi rekreasi sekaligus refreshing.




Sunday, June 14, 2020

Khatam

Bismillaah




Hari ini, Ahad, 14 Juni 2020 bertepatan dengan 22 Syawal 1441 H. Anak sulungku, Khoirunnisa Mufidah, telah selesai menghafal 30 juz! Alhamdulillaah wa syukurillah. Baarakallahu fiik Mba Nisa. Semoga dengan wasilah hafalanmu, Allah selalu menjagamu dan memuliakanmu, menjadi keluarga Allah yang senantiasa menjaga Al Qur'an. Aamiin ya rabbal'aalamiin.



Perjalanan Nisa untuk bisa hafal Al-Qur'an sungguh bukan perjalanan yang mulus seperti jalan tol. Penuh ujian dan tantangan. Bersyukur kepada Allah, akhirnya berbagai rintangan itu berhasil dilaluinya meski harus menumpahkan banyak air mata. 


Berawal dari kelas 7, tujuh tahun yang lalu, Nisa mulai menghafal Al-Qur'an di Pondok Pesantren Darul Quran Mulia di Gunung Sindur, Bogor. Untuk menjadi santri di sana pun, bukan sesuatu yang mudah. Saingan yang begitu banyak, menempatkannya di kursi cadangan, waiting list. Alhamdulillaah, memang sudah menjadi ketetapan Allah, akhirnya diterima juga. Meski orang tuanya harus berjibaku mengumpulkan uang pangkal yang harus dilunasi dalam waktu satu pekan. Atas izin Allah, semua itu bisa dilalui.


Berbekal hafalan juz 30 yang telah dimulai sejak di SDIT Annida, Nisa mulai melanjutkan hafalannya, setelah melalui kelas tahsin terlebih dahulu. Tiga tahun di DQM, alhamdulillaah bisa menghafal 7 juz.


Pindah ke PP Hamalatul Quran Al Falakiyah saat masuk SMA, Nisa sempat negosiasi dengan abinya bahwa di sana hanya sampai 10 juz saja. Setelah itu, dia ingin melanjutkan ke SMA negeri. 



Saat kenaikan kelas 11, kembali dia meminta agar diizinkan sekolah di SMA negeri. Namun abinya menolak. "Kalau tidak mau lanjut di pesantren, mendingan nggak usah sekolah," begitu ultimatum abinya.


Dengan setengah hati, dia melanjutkan perjuangan di pondok. Dengan segala permasalahan pribadi maupun permasalahan dengan teman-temannya, dia harus berjuang. Sering air mata menghiasi hari-hari dan sujud-sujudnya. Namun dia tetap bertahan karena tidak ada pilihan lain. 



Alhamdulillaah, di kelas 11 ini dia mendapatkan amanah menjadi pengurus pondok. Dia pun mulai mencintai pondoknya dan mulai terpacu untuk menyelesaikan hafalannya. Di kelas 12, dia naik jabatan menjadi wakil ketua. Saat di kelas 12 inilah sempat terbersit bahwa dia akan mengabdi selama dua tahun. Lagi-lagi abinya tidak setuju karena dianggap terlalu lama. 


Waktu kelulusan kelas 12, Nisa sekaligus mendapatkan ijazah hafal 10 juz. Alhamdulillaah. Bahagianya kami sebagai orang tua. Melihat perjuangannya yang luar biasa, lega rasanya, meski baru 10 juz. InsyaaAllah 30 juz bisa dikejar. Aamiin.


Dan saat pengabdian ini, ketua menjadi amanahnya. Waktu menghafalnya harus dibagi dengan mengurusi pondok dan mengajar adik kelas. Meski begitu, dia tetap berusaha mengejar target khatam tahun ini. 



Awal Maret 2020, saat wabah covid-19 mulai meramaikan dunia, Nisa pulang karena sakit. Sepekan kemudian, pemerintah memberlakukan WFH (work from home) dan LFH (learn from home). Hal itu berpengaruh juga terhadap kehidupan pondok. Himbauan dari pondok, santri yang sedang berada di rumah, untuk sementara tidak boleh kembali ke pondok. Tetapi yang di pondok juga tidak boleh pulang. Baru di pekan berikutnya, pengasuh pondok memulangkan para santri.



Banyak hikmahnya saat lockdown, di rumah aja. Anak-anak jadi memiliki banyak waktu tanpa harus dikejar-kejar jadwal yang padat seperti di pondok. Waktu yang luang itu otomatis hanya digunakan untuk menghafal, karena memang tidak ada pembelajaran, untuk Nisa. Dan ... Puji syukur kepada Allah, akhirnya Nisa bisa hafal 30 juz. Alhamdulillaah wa syukurillah. Baarakallahu fiik Mba Nisa. Semoga semakin mutqin hafalannya, dan engkau pun semakin sholihah. Aamiiin ya rabbal'aalamiin.

Friday, June 12, 2020

Puasa Pertama

Bismillaah



Usianya baru sekitar lima tahun, saat ia belajar puasa untuk pertama kali. Untuk bangun sahur, ia kadang mau kadang tidak. Saya pun tidak memaksanya. Sebangunnya saja. Kalau ia bangun pukul 5, ya dia sahur pada pukul 5. Kalau ia bangun pukul 7, ya dia sahur pada pukul 7. Tidak masalah, yang penting dia mau belajar puasa, itu sudah luar biasa bagi saya.


Meski waktu sahurnya belum sesuai dengan syariat, tetapi dia mampu dan kua tpuasa sampai Maghrib. masyaAllah . padahal badannya kecil, makannyap pun Cuma sedikit. Itulah karunia Allah. Di samping itu mungkin juga karena dia tidak terlalu suka makan. Bisa dibilang malas makan. Sejak mulai mengonsumsi mpasi (makanan pendamping asi), ia sulit sekali disuapi. Belum mencicipi makanan ya pun, ia sudah melengos saat melihat sendok.


Itulah kelebihannya. Di antara 4 saudarnya, Cuma dia yan gbisa puasa full saat masih balita. Kakak dan adiknya, pada saat balita baru bisa puasa setengah hari.


Ternyata hal itu berlanjut hingga saat ini, ketika ia mulai remaja. Ketika puasa sunnah, meski tidak sahur, dia teteap kuat berpuasa sampai maghrib. Jadi ingat kebiasaan saya dulu sebelum menikah. Memang saya pun sering berpuasa sunnah tanpa makan sahur terlebih dulu. Karena tidak ada teman makan, jadi jarang sahur kalau mau puasa sunnah. Dan, alhamdulillaah, saya pun kuat beraktivitas meski sedang puasa tanpa sahur.


Ini bukan berarti saya menganjurkan tidak makan sahur. Makan sahur adalah salah satu sunnah Rasulullah yang mengandung banyak keutamaan dan keberkahan. Jadi, usahak sahur meskihanya dengan seteguk air. Seandainya tanpa sahur kita kuat berpuasa sambil beraktivitas seperti biasa, ya, itulah hebatnya puasa yan gdiniatkan ikhla karena Allah. Karena tubuh kita yang dikomandoi leh otak sudah siap untuk tidak makan hari itu, jadinya tidak berpengaruh negatif. Tetapi bila kita tidak niat untuk berpuasa, danternyata hari itu tidak makan, bisa dipastikan badan akan memberikan sinyal protes. Minimal badan terasa lemas, lebih parahnya bisa sakit maag, pusing, dan muntah.


Maka benarlah sabada Rasulullah segala sesuatu itu tergantung pasda niatnya. Hadits niat.

Thursday, June 11, 2020

Belajar Menjahit


Bismillaah

Sore itu gadis kecil saya, Nafa, minta saya untuk menjahitkan bonekanya yang sobek. Boneka panda pink kesukaannya itu sobek di bagian ketiaknya. Dengan beberapa jahitan, alhamdulillaah, selesai juga. Badan boneka kembali tertutup rapi, tidak bolong seperti sebelumnya.


Saat saya mau memasukkan benang ke dalam jarum, dia menawarkan diri untuk membantu. Wah, kesempatan, ini! Mumpung dia semangat, saya berikan benang dan jarum kepadanya. Beberapa kali dia mencoba. Gagal lagi, gagal lagi. Sampai berkali-kali. Saya berusaha sabar menunggu. Akhirnya dia menyerah dan memberikan benang serta jarumnya kepada saya.


            Selesai menjahit si panda, saya menawarinya untuk belajar menjahit. Dengan antusias, ia menyambut tawaran saya. Lalu saya siapkan kain bekas pakaian bayinya dulu yang imut, benang, dan jarum. Saya minta ia untuk memasukkan benang kembali. Sama seperti tadi,  berkali-kali ia berusaha samapai merasa lelah. Istirahat sebentar, lalu mencoba lagi. Tetapi tetap tidak bisa. Akhirnya saya ambil alih.


            Setelah benang berhasil dimasukkan ke dalam jarum, saya contohkan cara mengikat ujung benang agar nanti saat digunakan untuk menjahit tidak lolos dari kain jahitannya. Setelah itu saya contohkan cara menjahit. Kali ini saya mengajarinya tusuk feston. Setelah dua kali contoh, ia mulai mencoba, sambil saya bimbing.


            Benang pertama habis. Lalu kami memotong benang berkutnya. Kembali saya minta ia untuk memasukkan benang ke jarum. Tetap belum berhasil. Memang sih, jarum dan lubangnya terlalu kecil. Jadi wajar kalau ia kesulitan. Setelah benang berhasil dimasukkan ke jarum, ia mengikat sendiri ujung benangnya, dan mulai menjahit. Alhamdulillah sudah mulai bisa tanpa bimbingan. Walau masih belum rapi, ia senang sekali bisa menjahti. 


Esok harinya, ia bercerita dengan bangganya bahwa tadi dimintai tolong oleh embahnya untuk menjahit bantal yang sobek. Dengan senangya ia berkata, “Untung aku udah belajar jahit!”  Alhamdulillaah, senang rasanya bisa mengajarkan satu life skill ke anak-anak. Semoga bermanfaat untuk masa dewasanya nanti, aamiin.


Masa lockdown ini benar-benar berarti buat kami sekeluarga. banyak waktu yang bisa kami isi bersama untuk semakin menguatkan bonding di antara kami. Alhamdulillah selalu ada hikmah yang bisa kita petik dari setiap masalah dan ujian yang diberikan Allah kepada kita.

Wednesday, June 10, 2020

Tadarus Keluarga


Bismillaah


Nisa mulai bisa membaca Alquran ketika di kelas 3. Saat itu adiknya, Azmi, baru di TK. Karena Nisa sudah bisa membaca Alquran, maka saat Ramadan, saya mengajaknya untuk tadarus bersama. Membaca Alquran secara bergantian.


Sebenarnya, selain memang ingin tadarus bersama, tujuan lainnya adalah untuk tetap membuatnya terbangun sampai waktu berangkat sekolah datang. Maka selesai salat Shubuh, kami bertiga, saya, Nisa, dan Azmi, tadarus bersama. Abinya tidak ikut karena harus salat berjamaah di masjid.


Saya dan Nisa membaca ayat Alquran bergantian, sedangkan Azmi, karena belum bisa membaca Alquran, maka ia bertugas yang membaca terjemahannya. Alhamdulillaah, meski masih di TK, Azmi sudah cukup lancar membaca.


Namanya juga anak-anak, program ini tidak selalu berjalan dengan lancar dan mulus. Kadang-kadang, karena kantuk yang teramat, mereka tidak mau tadarus, malah tidur. Kadang Azmi yang tertidur, kadang dua-duanya tidur semua.
            

Sekarang, setelah mereka besar, ternyata lebih sulit untuk mengondisikan mereka. Apalagi dengan lima anak. Masing-amsing punya keinginan dan kebutuhan sendiri-sendiri. Apalagi saat lockdown ini, baru sekali kami bisa melakuikan tadarus bersama. Setelah itu, sulit mengumpulkan mereka kembali. Ada saja alasannya. 


Di sinilah saya sebagai orang tua merasa sedih. Apalagi melihat keluarga-keluarga yang lain bisa begitu kompak. Saya sadar, ini pasti karena kesalahan saya dalam mendidik mereka. Saya tidak tahu, salahnya di mana. Saya merasa sudah mengajak mereka dialog, sudah berusaha menumbuhkan rasa percaya diri. Tetapi, saya juga menyadari, kadang ucapan saya melemahkan semangat mereka. Astaghfirullah ...


Selama Ramadan kemarin, hanya satu kali kami melakukan tadarus. Nisa menyebutnya, MMQ (Majlis Muallimin Quran). Ini istilah yang digunakan di pesantren. Saat di pesantren, mereka biasa melakukan MMQ sepekan sekali. Bedanya, yang ikut program ini adalah para santri yang sudah mendapat izin mengajar adik-adik santri. Jadi, khusus para guru tahsin dan tahfidz. 


Meningkat dari tadarus waktu mereka kecil, di MMQ ini ada sistem evaluasinya. Setelah kami bergantian membaca, di akhir sesi, Nisa memberikan evaluasi bacaan yang salah. Kadang-kadang juga langsung saat bacaan salah, langsung ditegur. Alhamdulillah, jadi nambah ilmu tajwid dan memperbaiki bacaan. Sayangnya, kebaikan ini hanya berlangsung satu kali. Semoga di Ramadan tahun depan kami bisa melakukannya setiap hari. Aamiin

Tuesday, June 9, 2020

Da'i Cilik


Bismillaah


Saat itu Mufid masih TK, usianya belum genap 6 tahun. Ketika ada acara Gebyar Ar Rahman, sekolah tempat Mufid belajar, ibu guru memintanya untuk ikut lomba Pildacil (Pemilihan Dai Cilik). Sekitar satu atau dua pekan sebelum acara, teks pidato sudah diberikan oleh bu guru.


Tidak hanya di sekolah, di rumah pun ia rajin belajar. Hanya saja, ia tidak pernah mau didampingi saat belajar. Ia maunya belajar sendiri. Maka, ia pun pergi ke samping rumah, sembunyi. Di sana ia mulai menghafal teks yang telah disiapkan oleh Bu Guru. Saat ditanya Bu Guru di sekolah, “Mufid belajar sama siapa di rumah?”                                                                                        "Sendiri,” jawabnya.
“Nggak sama Umi?” selidik Bu Guru.
“Uminya sibuk ngurusin adik,” jawabnya polos.


Duh, nyesek rasanya saat dengar cerita Bu Guru itu. Kok bisa-bisanya dia berkesimpulan seperti itu. Padahal dia memang tidak pernah minta diajari. Jadi dia mengambil kesimpulan sendiri, memutuskan sendiri tindakannya, tanpa pernah bercerita ke uminya.


Pada hari  Mufid maju lomba, saya juga berhalangan hadir karena memang harus mengajar. Ia berangkat diantar abinya. Alhamdulillaah, Mufid dapat juara harapan I. Waah, tidak menyangka. Yang membuat saya lebih surprise lagi, ketika ada sesama wali murid cerita. Kata beliau, Mufid merupakan satu-satunya peserta yang sangat menghafal teks. Tak ada yang terlupa dan tak ada kata yang meleset. MasyaaAllah. Ternyata itu yang membuatnya juara. Namun sayangnya, karena ia selalu belajar sendiri, maka intonasi dan ekspresinya pun tidak ada. Ia sekadar hafal. Sedangkan namanya berpidato, tentunya harus ada intonasi, ekspresi, dan komunikasi dengan audiensnya.


Bagaimana pun, pengalaman ini sangat berharaga, baik untuk Mufid ataupun untuk diri saya sebagai ibunya. Bagi Mufid, ini adalah ajang buatnya mengasah rasa percaya diri. Bagi saya, ini adalah teguran betapa saya kurang memperhatikan kebutuhannya, lebih fokus kepada adiknya. Dan beruntungnya saya, Mufid begitu paham dengan kesibukan uminya. Sangat mengerti bahwa uminya repot mengurusi adiknya.


Sedih sekaligus bangga. Sedih karena belum bisa menjadi ibu yang baik. Bangga karena Mufid sudah bisa mandiri dan sangat pengertian. 

Monday, June 8, 2020

Pertama Sekolah

Usianya menjelang empat tahun saat ia mulai sekolah di TKIT Annida. Pagi-pagi sekitar pukul 6, ia sudah harus siap menunggu jemputan. Letak sekolahnya memang lumayan jauh. Kalau naik jemputan bisa ditempuh sekitar satu jam. Kalau naik motor sekitar 30-45 menit.


Hari pertama sekolah, saya mengantarnya dengan sambil menggendong adiknya. Kami ikut mobil abinya yang sekalian berangkat kerja.


Sampai di sekolah, ia disambut Bu gurunya dan diajak masuk ke dalam kelas. Saya menunggu di koridor, melihatnya dari kaca jendela. Terlihat betapa senangnya  ia bertemu guru dan teman-teman baru. Dia sangat menikmati, meskipun baru saja menempuh perjalanan yang tidak sebentar. Biasanya, kalau baru sekolah TK, orang tua cukup menyekolahkannya di TK dekat rumah yang hanya beberapa menit saja jaraknya.


Saat acara pembukaan, semua siswa dan guru berbaris di halaman sekolah. Guru-gurunya sibuk menenangkan beberapa siswa yang rewel. Maklum, anak TK, hari pertama masih banyak yang menangis. Saat itu, terlihat betapa mandirinya ia. Meski tanpa guru yang memerhatikannya -karena sibuk dengan yang rewel- dia tetap anteng, tidak ikut-ikutan rewel.


Tibalah waktu pulang. Ia datang menghampiri saya dengan wajah lelah namun terlihat bahagia. Ya, hari ini memang cukup melelahkan baginya. Hari pertama sekolah. Banyak hal baru yang ia temui dan pelajari. Guru baru, teman baru, sekolah baru, benda-benda baru yang sebelumnya tidak pernah dilihat. Melelahkan tubuh kecilnya yang memang tak pernah berhenti untuk bereksplorasi.


Saat di mobil jemputan, ia banyak bercerita tentang apa saja yang ia alami hari ini. Penuh semangat dan tak kenal lelah. Justru uminya yang kecapean menunggu sambil momong adiknya. Di sela-sela ceritanya, ia berkata, “Umi, besok nggak usah nganterin ya. Aku mau sekolah sendiri.”
“Sendiri? Mbak Nisa berani?” tanyaku ragu.
“Iya. Aku berani. Kan, udah gede!” serunya mantap.
“Alhamdulillaah, Mbak Nisa sudah besar dan berani sekolah sendiri. Anak hebat!”


Maka, di hari kedua sekolah, Nisa sudah berangkat sendiri dengan jemputannya.
Dalam hati saya bersyukur, satu karena ini berarti mengurangi satu pekerjaan, sehingga saya bisa fokus dengan adiknya. Kedua, saya bersyukur dengan sikapnya yang mandiri dan berani. Terlihat sekali sebagai anak sulung yang bisa diandalkan. Baarakallahu fiik, anakku, Khoirunnisa Mufidah.

Sunday, June 7, 2020

Tanyamu


Bismillaah


“Mi, apa ciri orang munafik?” tanya jagoanku tiba-tiba. Membuatku mengerutkan kening sebelum menjawab pertanyaannya. Namun, dengan polos aku jawab sesuai hadits Rasulullah .


“Bila berkata, ia dusta; bila berjanji ia ingkar; bila diberi amanah, ia khianat,” ujarku dengan nada yang kuatur sewajar mungkin, meski dalam hatiku bertanya-tanya, mengapa tetiba ia bertanya seperti itu.


“Kalau orang yang melarang orang lain berbuat sesuatu, tetapi ia sendiri melakukannya, itu disebut apa?” tanyanya lagi.


Nah, kan. Ni anak pasti ada udang di balik pertanyaannya. Eh, ada udang di balik batu. Dia bertanya, pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Ya iyalah Mak, kalau bertanya pasti ada seduatu yang dipirkan, makanya bertanya. Iya, maksudnya, dia ini sedang merencankan sesuatu, Cuma belum ketahuan ‘sesuatu’-nya itu apa. Sampai di sini emak bingung. “Mmm ... disebut apa ya?” PR deh, buat emak. Harus segera mencari referensi nih.


Eh, bener juga. Malamnya setelah salat Tarawih, jagoan emak membahas soal tadi siang. Ini anak, kalau ada maunya belum berhenti kalau belum terpenuhi. Dia mengingatkan pertanyaan yang belum dijawab tadi.


Setelah menghela napas, mengatur detak jantung agar tidak terlalu menggebu-gebu, kujawablah pertanyaannya sebisa mungkin.
“Manusia itu tempatnya lupa dan salah. Jadi, ketika ada seseorang yang melarang kita membuang sampah sembarangan, misalnya. Eh, suatu waktu dia sendiri membuang sampah sembarangan, itu manusiawi. Kita tidak boleh suudzon, tetapi harus tetap husnudzon. Seperti perkataan seorang ulama, “Saat engkau menemukan saudaramu melakukan kesalahan, carilah 1001 alasan agar kita tidak berburuk sangka kepadanya. Jadi, ketika ia ternyata buang sampah sembarangan, kita harus berpikiran positif, “Oh, mungkin dia lupa, atau sedang buru-buru sehingga tidak sempat mencari tempat samaph.” Begitu, Nak.””


Mendengar penjelasan itu, dia hanya diam saja, tidak berkomentar apa pun dan tidak bertanya-tanya lagi. Semoga penjelasan itu bisa memuaskan rasa penasarannya. Dan, sepertinya ia bertanya seperti itu karena ingin menyalahkan orang lain yang selalu menyudutkannya. Ups! Keceplosan. Kan, tidak boleh suudzon. Astaghfirullaah.

Saturday, June 6, 2020

Naluri


Bismillaah


Pagi itu kau masuk kelas tanpa salam dan malah menangis, sambil menyalamiku. Kutanya ada apa, namun hanya tangisan sendu yang terdengar. Isakmu pun semakin keras, hingga teman-temanmu keheranan campur khawatir. Kucoba menawarimu kursi, dan kau pun duduk. Masih menangis.


Tak biasanya begini. Kamu adalah salah seorang siswa yang hampir tidak pernah ada masalah. Nilai raportmu selalu bagus, bahkan berada di peringkat pertama. Hafalanmu juga sangat cemerlang. Budi bahasamu sangat halus dan menawan, semenarik paras wajahmu yang tirus. Budi pekertimu pun tak beda jauh dengan nilai akademikmu. Hampir semua excellent.


Namun tangismu kini, sungguh mengejutkan semua yang ada di kelas. 


"Ada apa dengan mama dan papa, Bu? Mengapa mereka bertengkar? Ada apa?" Tuturmu di tengah isak tangis. Ada sedih, kecewa, bingung, terlukis di raut wajahmu. Namun begitu, kau belum ingin mengakhiri ceritamu.


"Baru kali ini saya lihat mama dan papa bertengkar. Mata papa  memerah,  suaranya sangat keras. Mama pun tak kalah dengan jeritannya. Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Apa yang membuat mereka seperti itu?"


Mendengar ceritanya yang diselingi isak tangis, saya coba tenangkan dengan merengkuhnya dalam pelukan. Setelah beberapa saat, emosinya mulai stabil. Saatnya untuk berbicara. 


"Sarah, setiap orang pasti punya masalah. Mungkin mama dan papa juga sedang ada masalah."


"Tapi kenapa harus bertengkar?"

"Mungkin mereka tidak bermaksud untuk bertengkar. Kadang ketika berdiskusi untuk mencari jalan keluar, karena terlalu bersemangat, maka suara kita meninggi."

"Tapi papa nggak pernah begitu."

"Ya, kita harus maklum. Mungkin papa khilaf. Masalahnya sangat berat sehingga menguras emosi. Sarah bantu doa ya, agar masalah mama dan papa segera selesai," kata saya mengakhiri drama pagi itu. Sudah waktunya pelajaran. Kasihan siswa-siswi yang lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelajaran dan perhatian.


Alhamdulillaah, Sarah sudah mulai tenang dan bisa mengikuti pelajaran hari itu meski dengan wajah murung. Semoga saja masalah orang tuanya berakhir dengan baik. Kasihan, anak sekecil itu harus menyaksikan prahara rumah tangga. Seandainya para orang tua sadar, betapa anak-anak itu sangat sensitif perasaannya. Nalurinya tajam. Kita yang sedang berdiskusi baik-baik pun bisa dianggap bertengkar karena bicara saling bersahutan. Alangkah lebih baik jika kita ingin membicarakan suatu masalah tidak di depan anak-anak agar mereka tidak terguncang jiwanya. Karena masalah sekecil apa pun sangat berpengaruh terhadap moodnya di sekolah. Dan, gurunya juga nanti yang kewalahan karena harus menetralkan emosinya. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang membawa masalah orang tuanya ke sekolah. Aamiin.

#SHSB