Bismillaah
DKM Masjid Jami’ akan mengadakan khitanan massal dalam rangka
menyambut tahun baru Hijriah. Acara ini bersamaan dengan diadakannya santunan
anak yatim. Pada awalnya, Khitanan Massal ini ditujukan kepada anak yatim dan
dhuafa. Namun ternyata, peserta yang mendaftar kurang dari kuota yang telah
direncanakan. Oleh karena itu, anak-anak ditawari oleh ayahnya apakah ingin
dikhitan atau tidak.
Alhamdulillaah, Hakim, yang saat itu
berumur 5 tahun, bersdia dikhitan, bahkan semangat sekali. Melihat kakaknya
ynag begitu semangat, adiknya, Mufid yang saat itu baru berusia 2 tahun, ingin
dikhitan juga. Padahal dia belum tahu apa itu khitan. Tapi, sebagai orang tua,
kami pun tidak ingin menakut-nakuti.
Sebagai penyemangat, saya menawari
anak-anak hadiah. Mufid ingin mendapat hadiah gitar maianan, sedagnkan Hakim
ingin mobil yang dikendalikan dengan remote control.
Tibalah saatnya mereka dikhitan.
Maka, pergilah kami berempat ke masjid. Sang Embah sudah menggerutu saja,
katanya, anak masih kecil kok dipaksa khitan. Memang, sebagai orang Jawa
Tengah, khitan biasa dilakukan saat anak sudah besar, minimal SD. Bahkan banyak
yan gbaru dikhitan saat sudah duduk di bangku SMP. Teteapi di sini, di Jawa
Barat, anak-anak balita sudah banyak yang dikhitan. Dan itu pemandangan ynag
sangat biasa.
Dengan menetapkan hati dan
keyakinan, meski sebagi ibu , aku pun tidak tega, anak-anak dibawa ke masjid
dalam keasdaan riang gembira. Tetap semangat. Ketika sedang menunggu antrean,
terdengar peserta yang sedang dikhitan menangis. Ini di luar dugaan saya.
Ternyata suara tangis itu memngaruhi kondisi mental anak-anak. Mereka jadi
takut, bahkan Mufid sudah mulai menagnis. Sambil terus dibujuk, kami pun masuk
ke uran gkhitan. Saat Hakim yang dikhitan, alhamdulillah, tidak terlalu banyak
masalah, malah dibilang lancar. Begitu Mufid yang akan dikhitan, dia meronta
dan menagis. Betapa hancur hati ini. Tapi saya coba menguatkan diri dan anakku.
Alhamdulillah selesai juga.
Alhamdulillaah, Hakim tidak
menangis, hanya meringis. Yang menyedihkan adalah Mufid. Mungkin karena memang
masih kecil, dia menangis sejadi-jadinya. Bahkan di sepanjang perjalanan
pulang. Sesampai di rumah, barulah Hakim menagnis sejadi-jadinya, setelah
kakaknya, Nisa, berkata, “Ngak papa Kim, nangis aja. Puas-puasin, boleh kok.”
Ya Allah, mungkin ada orang yang
berpendapat betapa kami ini sebagai orang tua sangat tega kepada anak-anak.
Tidak sayang. Tidak, bukan kami tidak saynag. Justru ini kami lakukan karena
kami sayang mereka. Hakikat khitan itu kan membersihkan. (tentang khitan – cari
referensi)
No comments:
Post a Comment