Wednesday, April 24, 2019

Indahnya Kebersamaan



Bismillaah


Hari ini adalah hari terakhir USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) tingkat SD. Di saat siswa-siswi kami sedang berkutat dengan soal-soal IPA, kami, para guru pun sibuk dengan aktivitas masak-masak. Ya, hari ini seluruh guru dan karyawan Al Hidayah Islamic School bahu-membahu menyiapkan makan siang sendiri. Biasanya kami tinggal pesan, maka makan siang sudah diantar ke sekolah dan siap disantap. Kalau pun ada masak-masak, biasanya yang memasak dan repot di dapur adalah karyawan pantry. Kami tinggal menikmatinya saja.

Kesibukan memasak dimulai bertepatan setelah para siswa masuk ke ruang ujian. Dari OB (office boy) dan security hingga kepala sekolah, tak ada bedanya. Semua mendapatkan tugas. Ibu-ibu menyiapkan nasi liwet, tahu-tempe goreng, bakwan, sayur urab, dan lalapan. Tak ketinggalan tentunya, sambal terasi dan dabu-dabu pelengkap ikan bakar. Sementara bapak-bapak membakar ikan dan ayam. Karena dikerjakan bersama-sama, suasana menjadi seru dan tidak terasa lelah.

                    Sambal dabu-dabu

Ada menu baru yang masih asing di telinga saya yaitu sambal dabu-dabu. Konon sambal ini merupakan salah satu makanan khas daerah Makasar. Sambal ini sebagai pelengkap ikan bakar. Maka menu makanannya disebut ikan dabu-dabu. Cara membuat sambal ini cukup sederhana, nggak pakai ribet. Bahan-bahan yang diperlukan adalah cabe rawit, cabe merah keriting, tomat hijau, tomat merah, bawang merah, jeruk nipis, dan minyak goreng. Bahan-bahan selain jeruk nipis dan minyak goreng dipotong dadu, kira-kira seukuran 1 cm. Lalu diberi perasan air jeruk secukupnya. Setelah itu disiram dengan minyak goreng yang sudah dipanaskan. Jangan lupa untuk menggunakan wadah anti panas seperti panci alumunium atau mangkuk, agar wadah tidak meleleh terkena minyak panas. Nah, sambal dabu-dabu siap disajikan dengan ikan bawal bakar. Mmm ... Yummy!

Menjelang Zuhur, makanan pun siap disantap bersama-sama. Biar lebih terasa kebersamaan dan kekeluargaannya, makanan disajikan di atas daun pisang yang masih lengkap dengan pelepahnya, dan digelar di lantai. Sungguh nikmat. Lelahnya memasak terbayar lunas dengan nikmatnya makanan hasil kebersamaan. Menghabiskannya pun dengan kebersamaan, bahu-membahu dengan teman di samping dan di depan, untuk menghabiskan makanan yang telah tersaji. Tak ada yang boleh tersisa, karena itu berarti  mubadzir. Dan mubadzir adalah perbuatan setan.






Tuesday, April 9, 2019

Politik???

Bismillaah

Pemilu tinggal beberapa hari lagi. Suhu politik di negeri ini rasanya kian hari kian panas. Di setiap sisi jalan pun kian riuh dengan poster para caleg (calon anggota legislatif) dari berbagai partai maupun capres ( calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden). Meriah. Pesta demokrasi disambut dengan gempita (sepertinya) oleh seluruh lapisan masyarakat.

Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, tentu menjadi faktor penentu dari Pemilu. Kemana mereka menyalurkan aspirasinya, tentu sangat mempengaruhi perolehan hasil suara partai maupun caleg dan capres-cawapres.

Kita tentunya pernah akrab dengan slogan "Islam Yes, Politik No". Slogan ini sangat berpengaruh terhadap sikap politik umat Islam. Karena menganggap politik itu kotor, banyak yang memilih golput alias tidak menyalurkan hak suaranya. Hasilnya bisa dilihat, banyak parpol Islam yang mendapatkan perolehan suara yang sangat sedikit.

Namun, akhir-akhir ini, slogan itu semakin ditinggalkan karena umat telah sadar betapa pentingnya kita melek politik. Hal ini diawali dengan adanya Pilkada DKI yang telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka tidak boleh golput dan harus menggunakan hak suara mereka.

Hal tersebut diperkuat, awalnya, dari gerakan 212, di sana, perwakilan umat dari seluruh Indonesia bersatu. Dan kini, masyarakat semakin mengerti dan paham betapa politik itu penting. Karena hajat hidup kita pun secara tidak langsung ditentukan oleh para penentu kebijakan yang lahir dari pesta demokrasi. Dan itu artinya, lahir dari aspek politik.

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan berdialog dengan seorang anggota legislatif perempuan dari DPRD II Kabupaten Bekasi. Namanya tak usah disebutkan ya, nanti dikira kampanye, lagi. ^^

Jadi kata beliau, ada beberapa poin mengapa kita harus terjun ke politik.
Pertama, tentu saja karena Islam itu agama yang bersifat syumuliyah, menyeluruh. Maksudnya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan kita, baik yang pribadi maupun yang bersama-sama. Di dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dengan politik. Di mana pun kita, identitas dan syariat Islam tetap harus disematkan. Jangan ketika di masjid Islam, saat di gedung DPR/MPR netral, atau bahkan menanggalkan keislamannya. Na'udzubillahi min dzalik.


Kedua, dengan terjun ke ranah politik, berarti kita ikut berperan dalam menentukan kebijakan di negeri yang mayoritas muslim ini. Jangan sampai kita yang mayoritas malah diatur dan dipaksa tunduk kepada yang minoritas. Kalau kebijakannya positif dan baik sih, tidak masalah. Tapi kalau sampai membelenggu, bagaimana?

Dengan adanya umat Islam di parlemen, diharapkan bisa mewujudkan aturan yang sesuai dengan syariat Islam agar negeri kita menjadi negeri yang baldatun thoyyibun wa robbun ghofur. Negeri yang baik (aman, tentram, sejahtera) dan senantiasa mendapatkan ampunan Allah. Apakah dengan aturan seperti itu, tidak mengancam warga minoritas? InsyaaAllah tidak. Sudah terbukti dari masa ke masa bila Islam memimpin, tak ada warga minoritas yang dirugikan. Karena Islam adalah agama rahmatan lil 'aalamiin. Rahmat bagi seluruh semesta.


Ada pengalaman menarik dari ibu anggota dewan tersebut saat ikut bergabung menjadi Pansus untuk mengesahkan RUU Pariwisata di Kabupaten Bekasi pada tahun 2015. Saat itu hampir seluruh anggota Pansus setuju dengan adanya night club, diskotik dan sejenisnya untuk melengkapi bidang pariwisata, hanya saja keberadaannya diatur oleh Undang-Undang. Tetapi dua orang perempuan di Pansus tersebut tidak setuju. Alasannya, pariwisata masih bisa memberikan income yang besar meski tidak ada fasilitas semacam diskotik itu. Mereka berprinsip bahwa dunia pariwisata harus memiliki slogan "No Sex, No Drugs, No Alcohol" agar keberkahan tetap menjadi milik masyarakat. Dengan segala perjuangan yang tidak mudah, dari berdebat dengan berurai air mata hingga meminta bantuan para ulama, akhirnya apa yang mereka perjuangan membuahkan hasil. Bayangkan bila tidak ada anggota dewan yang mau berkomitmen memperjuangkan hal-hal seperti itu. Entah apa jadinya kita, entah apa jadinya generasi muda kita, entah apa jadinya negara kita.


So, mari salurkan hak pilih kita. Pilihan kita menentukan masa depan kita. Jangan golput ya.




Thursday, April 4, 2019

Mie Sehat Ala Emak-Emak

Bismillaah

Apa sih yang disukai Emak-emak? Apa hayo? Kalau di tempat saya, emak-emak paling suka ngobrol sambil ngemil. Ngobrolnya di bawah pohon seri yang rindang, sambil ngerujak. Mantap dah! Tapi saya hampir tidak pernah bisa nimbrung. Lha, saya kerja dari pagi dan sampai rumah sudah sore. Mana sempat ngobrol ngalor-ngidul, ngetan ngulon.

Tapi, alhamdulillah, Ahad kemarin saya berkesempatan nimbrung di perkumpulan emak-emak. Sambil ngobrol, tidak ngalor-ngidul, apalagi ngetan-ngulon, kami praktik membuat mie sehat. Jarang-jarang lho, kita belajar masak seperti ini. Makanya, ngobrolnya pun tidak di bawah pohon seri, tapi di bawah atap rumah, alias di dalam rumah. Sambil membicarakan ini-itu, dari masalah anak-anak sampai masalah pemilu, (emak-emak juga doyan gosipin pemilu, yak) matang juga tuh, mie ala-ala.

Mau tahu nggak, cara membuatnya? Mau aja, ya.
Begini ya:
Pertama kita siapkan bahan-bahannya, yaitu
0,25 kg terigu,
2 sdm tepung sagu
garam sejumput,
2 sdm minyak goreng 
air secukupnya.
Kalau ingin membuat mie yang bisa mengembang seperti spaghetti, tinggal ditambahi telur 1 butir. Kalau ingin mienya berwarna, bisa menggunakan buah naga, wortel, atau bayam yang sudah diblender dan disaring.

Kedua, siapkan peralatannya seperti baskom dan alat pembuat mie. Kalau tidak punya alatnya, bisa kok diiris-iris menggunakan pisau. Kebayang kan, betapa sabarnya emak ini, mengiris-iris adonan segitu banyaknya.

Ketiga, bahan-bahan yang sudah disiapkan tadi, dicampur jadi satu di dalam baskom, kecuali air. Setelah diaduk, masukkan air ke adonan sedikit-sedikit saja, supaya adonan tidak lembek. Setelah kalis, bagi menjadi beberapa bagian, gulung di cetakan mie di bagian depan, untuk ditipiskan, seperti lembaran-lembaran begitu. Satu adonan tadi bisa beberapa kali cetak. Oya, sebelum dimasukkan cetakan mie, adonan ditaburi terigu supaya tidak lengket. Setelah tipis, masukkan ke cetakan mie yang ada di bagian belakang. Jadi deh, mienya. Tinggal direbus.

Keempat, kita siapkan sajian pelengkap mie. Nggak mungkin, kan, kita makan mie saja tanpa ditemani yang lainnya?
Apa saja temannya?
Ini bahan-bahannya:

Bumbu halus:
Bawang putih, kemiri, ketumbar, lada, jahe, kunyit

Bumbu geprek:laos dan sereh
Supaya wangi, perbanyak salam dan daun jeruk. Begitu kata chef-nya.
Tidak ada takaran, kata chef-nya kira-kira saja.

Bumbu tumis:
Kayu manis, kapulaga dan cengkeh sedikit saja. Bumbu rempah
ditumis dengan minyak yang banyak, kalau sudah wangi dan berubah kecoklatan, saring minyaknya. Ini untuk campuran mienya.
Masukkan ayam cincang ke dalam tumisan bumbu,  aduk-aduk sambil  diberi air, kecap, penyedap (yang sehat ya, Bun), gula pasir, garam secukupnya.
Koreksi rasa, lalu  diamkan sampai matang, sekitar 45 menit kalau pakai ceker.

Cara penyajian:
Kecap asin+minyak dituang sedikit (sesuai selera)  ke dalam mangkok, beri bumbu kuah ayam sedikit, lalu aduk. Setelah mie dan sawi direbus, tiriskan, lalu masukkan ke mangkok,  campur semuanya.

Tambahkan toping seperti daun bawang dan bawang goreng. Jangan lupa ayamnya. Alhamdulillah, sudah siap disantap. Selamat menikmati!