Wednesday, March 2, 2016

Kesah Mutiaraku

Hujan masih mengguyur bumi saat kami tiba di ponpes sang putri sulung. Basah dan dingin tak mengurangi semangat kami tuk segera bersua dengan mutiaraku. Sebulan tak menatap wajahnya, membuat rindu menggunung di hati. Ditambah lagi dengan kabar bahwa dua pekan ini dia demam sehingga tak bisa sekolah dan mengikuti try out. Sedihnya ...
"Mi ... Itu mba Nisa!" kata si bungsu menghentikan langkahku.
"Mana?" tanyaku bersamaan dengan salam yang keluar dari mulut sang kakak.
"Assalamu'alaikum, Umi ..." ujarnya sembari memeluk diriku erat. Ekspresi kangennya membuktikan kerinduan yang telah lama tersimpan.
"Wa'alaikumussalam, sudah sehat, Mba?" jawabku bahagia melihat senyum cerianya mengembang di kedua bibirnya. Lega rasa hati ini melihatnya sehat dan segar, meskipun belum terdengar suaranya menjawab pertanyaanku.
"Alhamdulillah, mi. Cuma masih pusing sedikit," katanya.
Setelah menyimpan makanan dan barang-barang keperluan selama sebulan, kami duduk di teras mushalla. Mushalla ini terletak di luar pagar pesantren, merupakan wakaf dari sang kyai untuk warga sekitar. Tapi masyarakat sekitar jarang terlihat sholat berjamaah di sini. Kebanyakan orang tua santri yang sedang menjenguk anaknya saja. Jadi, suasananya sepi. Enak buat bercengkrama, melepas rindu anak beranak ini.
"Mba, katanya Ustadzah Ina mau dipindah?" tanya suamiku memulai obrolan siang ini.
"Dari dulu beritanya begitu, Bi. Tapi sampai sekarang masih ada, tuh."
"Emang kenapa, Mbak? Ada masalah apa dengan ustadzah itu?"
"Dia itu nyebelin, Mi. Masak hanya gara-gara masalah kecil, dia sampai nyumpahin kami nggak lulus UN, coba?"
"Mungkin karena diulang-ulang. Masalah kecil kalau dilakukan terus-menerus, jadi masalah besar, Mba," suamiku mencoba untuk husnudzon.
"Tapi emang dia itu selalu pilih kasih. Kalau angkatan lain yang berbuat salah, konsekuensinya tak seberat angkatanku. Dan dia itu baper. Kalau marah, mainnya sumpah-sumpah gitu. Masak ustadzah kayak, gitu?"
Itulah sekelumit pembicaraan kami di pesantren. Selalu ada saja keluh-kesah yang keluar dari putri kami itu. Suatu saat dia mengeluhkan teman-temannya yang suka mem-bully-nya. Di waktu yang lain dia curhat tentang guru-gurunya yang terlalu pintar, sehingga saat menjelaskan materi pelajaran terlalu cepat, alhasil jadi susah difahami. Sekarang dia meradang dengan salah seorang ustadzah pengasuhnya. Duuh ... anakku ... anakku... Kapan keluh-kesahmu berakhir?
Dulu, sebelum putriku masuk pesantren, ada seorang teman yang bertanya. Bukan bertanya, tapi berargumentasi tepatnya. Katanya, orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren itu enak, tak ada pekerjaan, karena semua sudah di-handle oleh ustadz dan ustadzahnya. Orang tua seperti itu tidak ada beban dan tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Betulkah demikian? Ternyata pendapat itu tidak benar, menurutku.
Kalau menurut pendapat teman tadi, orang tua tahu beres. Begitu keluar dari pesantren, anak sudah 'jadi', sholeh, berbakti kepada orang tua, dan sederet prestasi lainnya. Dan, orang tua? Tak perlu mendidik dan mengajari apa pun. Uenak tenan, kalau seperti itu, ya. Ternyata itu hanya isapan jempol. Yang kami rasakan, meskipun anak di pesantren, kami tak lepas kontrol begitu saja. Minimal, doa harus selalu dipintakan kepada Sang Khalik, agar buah hati kami bisa beribadah dan belajar dengan baik. Bisa menghafal Al Quran dengan lancar. Selain doa, ikhtiar juga harus selalu dilakukan. Bila orang tua di rumah malas-malasan dalam beribadah, anak yang di pesantren pun akan demikian. Bila orang tua di rumah malas menghafal Al Quran, yang di pesantren pun kena imbasnya pula.
Itulah yang kami rasakan. Jadi, kalau anak sudah di-pesantrenkan, orang tua tidak cukup hanya ongkang-ongkang saja. Selain bekerja mengumpulkan biaya pesantren, juga harus berdoa dan rajin beribadah, supaya radiasinya sampai kepada sang anak. Apalagi pesantren bukan surga yang bebas dari gangguan setan. Di sana juga banyak godaan dan gangguan yang bisa membuyarkan konsentrasi dan tujuan awal tinggal di pesantren. Masalah selalu datang silih berganti. Tinggal kita sebagai orang tua, bagaimana caranya memotivasi buah hati agar tetap istiqomah. Bukan pekerjaan mudah.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

2 comments:

Ann said...

Aku dulu juga pernah nyantri, tp pondoknya nggak mukim

Rifa said...

Tulisannya mencerahkan mba Nindiyah