Saturday, March 26, 2016

Lapis-lapis Keberkahan

Bismillaah

Hidup seorang mukmin bukan dinilai dari panjang umurnya, seperti lirik lagu yang selalu dinyanyikan dalam pesta ulang tahun. Bukan pula berdasarkan jumlah rupiah atau dolar yang sudah ditimbunnya. Tidak juga berdasarkan pangkat atau jabatan tertinggi yang sudah disandangnya. Tetapi, hidup seorang mukmin dilihat dari keberkahannya. Bagaimanakah hakikat keberkahan itu?

Buku Lapis-lapis Keberkahan yang dianggit oleh penulis muda yang sedang berjaya ini, mengupas tuntas tentang keberkahan. Salim A. Fillah. Penulis yang aktif dalam berbagai lembaga sosial ini, sangat apik dalam mengemas kata-kata, menyulam kalimat-kalimat hikmah dalam nuansa sastra yang indah. Membaca bukunya yang setebal 517 halaman ini menjadi sesuatu yang mengasyikkan dan jauh dari kata bosan.

Buku ini memang belum tuntas saya baca. Mungkin baru seperempatnya. Dari sedikit yang baru saya baca itu, ilmu dan hikmah yang didapat sungguh luar biasa. Setiap lembar selalu menyajikan sesuatu yang berbeda dan baru, dari lembar sebelumnya. Memang ada beberapa kisah atau fakta yang mungkin sudah sering kita baca atau dengar. Namun, begitu membacanya ulang dalam buku Mas Salim ini, kita seperti baru saat ini menemukan yang begini ini.

Buku ini dibuka dengan prolog yang mengisahkan tentang tiga gunung. Dua gunung yang pertama digelari Akhsyabain. Gunung yang pernah ditawarkan kepada Rasulullah untuk ditimpakan kepada kaum Thaif saat itu, yang ingkar terhadap dakwah beliau. Tetapi beliau menolak tawaran itu dengan berkata,

"Tidak. Sungguh, aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab adzab. Bahkan, aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak keturunan yang mengesakan-Nya dan tak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun."

Luar biasa. Benar-benar pribadi agung yang tiada bandingannya. Luka dan darah yang mengalir bukan menjadi alasan untuk melakukan serangan balik. Padahal malaikat, ya, malaikat pun siap membantunya. Tetapi Rasulullah justru mendoakan kebaikan untuk kaum yang memusuhinya karena ketidaktahuannya itu.

Gunung yang ketiga adalah gunung yang berada di Yunani. Sebuah gunung tinggi yang lerengnya terjal dan curam, berbatu dan berkerikil tajam, berliku dan mudah longsor. Di sanalah Sisyphus, seorang lelaki perkasa, sedang mendorong sebongkah batu raksasa ke puncak gunung yang runcing itu. Berhasilkah? Silakan dibayangkan.
Ternyata kisah ini menjadi lambang perjalanan hidup manusia yang tiada hasil dan tiada makna. Sia-sia. Hidup yang menyiksa dan jauh dari kata bahagia. Bagaimana dengan kita?

Menurut sang penulis, kebahagiaan janganlah dijadikan sebagai tujuan hidup, karena akan membuat kita tak bisa menikmati perjalanan hidup itu sendiri.

Bahagia adalah kata yang tak cukup untuk mewakili segenap kebaikan. Maka buku ini diberi tajuk "Lapis-lapis Keberkahan". Hidup kita umpama buah beraneka aroma, bentuk, warna, serta rasa; yang diiris-iris dan ditumpuk berlapis-lapis. Tiap irisan itu, punya wangi maupun anyirnya, lembut atau kasarnya, manis serta pahitnya, masam juga asinnya. Tapi kepastian dari-Nya dalam segala yang terindra itu ialah; ada gizi yang bermanfaat bagi ruh, akal, dan jasad kita.

Ialah lapis-lapis keberkahan. Mungkin bukan nikmat atau musibahnya, tapi syukur dan sabarnya. Bukan kaya atau miskinnya, tapi shadaqah dan doanya. Bukan sakit atau sehatnya, tapi dzikir dan tafakurnya. Bukan sedikit atau banyaknya, tapi ridha dan qanaahnya. ....

Itulah beberapa petikan kalimat dalam buku ini. Memberikan pencerahan kepada kita bahwa, ternyata keberkahan tidak melulu berupa kesenangan yang kita peroleh. Bisa jadi ketika musibah datang pun ada keberkahan di sana.

Dalam buku yang disusun dalam tiga bagian ini, kita akan diajak untuk memaknai keberkahan hidup dari mulai berupa irisan-irisan makna yang kemudian  menjadi bertumpuk- tumpuk bahan karya. Pamungkasnya adalah bersusun-susun rasa surga. Cita setiap insan: surga. Surga dalam dan untuk diri, surga dalam keluarga, juga surga dalam berkah langit dan bumi, dalam negeri yang masyarakatnya merasai keadilan.

Demikianlah sepatah dua patah kata yang belum mampu dan masih jauh untuk bisa menggambarkan barang sedikit pun dari kandungan buku ini. Mohon dimaafkan bila ada salah-salah tulis. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Maksud diri ingin mengulas buku, apa daya jari telah lelah. Sekian dan terimakasih sudah berkenan membaca.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#TugasMingguK
eempat

2 comments:

Helen Widaya said...

Mbak Nindy..uni juga suka banget sama isi buku ini..keren...blum slesei juga sih bacanya..

Nindyah Widyastuti said...

tosss uni!