Monday, March 14, 2016

Ta'aruf yang Sesungguhnya

Bismillaah


Kriiiing...kriiiing...
Dering telepon terdengar menjerit-jerit minta diangkat. Kulihat jam dinding yang ada di atas meja telepon, hampir pukul sembilan malam. Siapa malam-malam begini telepon?
"Assalamu'alaikum?" sapaku berusaha ramah meski badan lelah tak terkira. Maklum baru sampai rumah dan belum sempat istirahat.
"Wa'alaikumussalam. Nindy, ya?" tanya seorang perempuan di ujung sana.
"Iya betul. Dengan sia... Eh, Okti, ya?" tanyaku setengah kaget plus senang.
"Betul, Nin. Gimana kabarnya, Nindy?"
"Alhamdulillah baik. Okti gimana?"
"Alhamdulillah baik juga."
"Tumben nih, malam-malam telepon, ada kabar apa, Ti?" tanyaku penasaran.
"Iya maaf, soalnya jam segini aku baru bisa santai karena anakku sudah tidur. Kalau dia belum tidur, aku nggak bisa ngapa-ngapain, Nin."
"Oo... Begitu. Repot ya, punya bayi?"
"Sedikit, tapi banyak senangnya, kok."
"Kapan, ya, aku bisa ngerasain seperti itu?"
"Justru itu aku telepon kamu, Nin. Ada ikhwan, teman suamiku, mau ta'aruf sama kamu, mau nggak?" tanya Okti dengan nada yang sengaja dilambatkan. Sepertinya takut kalau aku syok, terus pingsan mendengarnya.
Siapa yang nggak kaget? Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba Okti yang sudah dua tahun menghilang dari peredaran (emang barang dagangan?), tiba-tiba muncul dengan berita yang begitu mengejutkan dan fantastik buatku. Saat itu aku seperti ketiban duren runtuh. Sakit, dong? Nggak lah. Itu kan kiasan, maksudnya seneng banget, gitu.

Itulah awal mula proses ta'arufku dengan suami yang sekarang selalu membersamaiku dalam duka dan suka. Setelah berita itu, kami bertukaran biodata melalui Okti, sahabatku yang luar biasa ini. Dua tahun tak bertemu, tak membuatnya melupakanku. Ternyata lewat dialah aku bertemu pasangan hidupku. Terimakasih Okti.

Waktu pertama kali baca biodata calon suami, aku merasa nggak yakin, bahkan cenderung sangsi. Apa benar ini jodohku? Tapi proses terus berlanjut ke pertemuan langsung di rumah ustadzahku. Ditemani sang ustadzah, kami saling berkenalan dan bercerita tentang kegiatan masing-masing. Tahukah kau bagaimana perasaanku saat itu? Meski kami duduk berjauhan dan di ruang terpisah, tanganku tetap saja terasa dingin dan badan gemetaran. Jantung pun berdegup lebih kencang. Seperti atlet yang baru selesai lomba maraton. Keringat bercucuran, napas ngos-ngosan.
Nggak karuan, deh, rasanya. Dan, mukaku terasa panas. Kalau aku bisa lihat di cermin, mungkin sudah seperti kepiting rebus, karena menahan malu. Sayangnya waktu itu nggak sempat bercermin.

Setelah pertemuan itu, kami diberi waktu seminggu, kalau tidak salah, untuk sholat istikhoroh memohon petunjuk Allah. Dalam seminggu itu, ternyata hatiku berubah-ubah. Bahkan sempat terbersit pikiran untuk menghentikan proses ini karena aku merasa tidak sreg dengannya. Setelah terombang-ambing dengan perasaan yang nggak jelas, di saat-saat terakhir masa istikhoroh, Allah mulai memberikan petunjuk-Nya. Aku yang sempat tidak sreg akhirnya mantap untuk menerima khitbahnya.

Sesuatu yang baik, seharusnya segera dilaksanakan agar tidak disusupi oleh godaan dan fitnah setan. Itu pula yang ingin kami lakukan. Setelah resmi khitbah, inginnya langsung ke akad nikah. Tapi, pertimbangan keluargaku ternyata berbeda. Karena aku dibesarkan oleh keluarga besar dari almarhum bapak dan ibuku, maka untuk masalah pernikahanku juga harus melibatkan mereka. Akhirnya kami harus menunggu enam bulan untuk sampai ke gerbang mahligai rumah tangga. Alhamdulillah.

Bukan perjalanan yang mulus memang, untuk menyatukan dua insan dalam satu ikatan yang mulia. Karena pada hakikatnya, ketika dua insan menikah, tidak hanya dua sejoli itu yang bertemu, tetapi dua keluarga besar. Dan, untuk menyatukan keduanya, diperlukan kesabaran dan kegigihan agar niat juga tetap terjaga. Tapi, percayalah! Kalau kita berjalan di atas syariat Allah, in-sya Allah pertolongan-Nya sangat dekat. Lamanya usaha dan proses yang kita jalani, semakin menambah keyakinan bahwa segigih apa pun ikhtiar kita, kalau Allah tidak berkehendak, maka hasilnya pun tidak ada. Tawakal kepada Allah menjadi alternatif terbaik yang harus kita pegang.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#Tantangan Minggu Ketiga Maret

6 comments:

irma said...

Masya Allah prosesnya bikin haru mbak.. semoga saja saya juga secepatnya dipertemukan dengan jodoh saya ^ ^

saepudin said...

Luar biasa mba. perjalanan cinta yg mengharukan

Hiday Nur said...

Co cuiiiit mbak Nindy, semua anggota Jomblo syar'i wajib baca nih!

#FPG said...

padahal baru dipertemukan sekali tapi nervousnya banget banget. mungkin karena konteksnya cari jodoh kali ya. kalau misalnya awal kenal karena terlibat satu kegiatan, mungkin bisa lebih relaks

cuap-cuap ratih said...

Wow, Mba Nin Ehem.. Ehem

Helen Widaya said...

Mirip..miripnya kisah kita..

Nanti uni mau cerita juga ah..

Hhhhmmm, so sweet mbak Nindy..baarakallah..