Monday, October 31, 2016

Habibie & Ainun

Bismillaah

Akhirnya selesai juga membaca buku yang penuh inspirasi dan motivasi ini. Alhamdulillah. Buku setebal 323 halaman ini, sarat dengan nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat dalam hidup berumah tangga dan bermasyarakat. Pak Habibie dan Ibu Ainun telah memberikan kontribusi dan suri tauladan yang sangat baik kepada kita semua. Semoga Allah membalas jasa keduanya dengan yang lebih baik, aamiin.

Sejak kecil, sama seperti anak-anak Indonesia lainnya, saya sangat mengagumi Pak Habibie, yang menurut saya super pintar ini. Jadi, walaupun pada masa reformasi dulu, ada beberapa elemen masyarakat yang tidak menyukainya dan malah menghujat, kekaguman saya pada beliau tidak pernah pudar.

Setelah membaca buku ini, kekaguman itu semakin bertambah. Kalau dulu, saya begitu takjub dengan berbagai prestasi Pak Habibie, sekarang saya sangat terpukau dengan segudang prestasi dan aktivitas Ibu Ainun. Perjuangan, pengorbanan, pengabdian, dan perhatian beliau, menjadi salah satu sebab sukses sang suami. Seperti pengakuan Pak Habibie, "Di balik sukses seorang tokoh, tersembunyi peran dua perempuan yang amat menentukan, yaitu ibu dan isteri."


Ibu Ainun dan Pak Habibie adalah dua cinta sejati, sehingga mereka bisa saling mengerti satu sama lain meski hanya dengan pandangan mata tanpa kata-kata. Saling mengisi dan menguatkan, saling menasihati dan mengingatkan.


Kalau boleh saya simpulkan, cinta mereka begitu indah karena dilandasi iman kepada Allah. Mereka tidak pernah meninggalkan salat lima waktu, bahkan Ibu Ainun tak pernah melewatkan satu malam pun tanpa membaca Al Qur'an. Sehingga hampir semua ia hafal dan maklumi. (Hal. 274) Padahal kesibukannya dalam mendampingi suami dan menjalankan aktivitas sosialnya sangat padat dan menguras energi, hingga beliau jatuh sakit.


Selain itu juga karena kepedulian beliau terhadap masyarakat yang kurang mampu dengan menyediakan beasiswa Orbit, dan juga mendirikan Bank Mata Indonesia, juga organisasi sosial lainnya.  Hidup mereka benar-benar bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarganya, tetapi juga bangsa  dan negara. Masyaallah. Semoga akan semakin banyak Habibie dan Ainun yang lahir dan memberikan banyak kontribusi pada negeri tercinta Indonesia. Aamiin ya robbal'alamiin.


Saturday, October 29, 2016

Janji Kehidupan

Bismillaah

Janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak.

Kalimat yang diucapkan Karang, salah seorang tokoh dalam novel Tere Liye yang berjudul Moga Bunda Disayang Allah ini, sangat mengesankan bagi saya. Kalimat ini sangat inspiratif dan sarat dengan motivasi. Terutama bagi saya, seorang ibu sekaligus guru yang menghadapi berbagai karakter anak dengan kemampuan dan latar belakang yang berbeda-beda.

Seringkali, saat menghadapi anak yang agak sulit diarahkan, atau agak sulit diajari, rasanya ingin menyerah saja. Bagaimana tidak? Berbagai cara dari yang lembut sampai yang penuh dengan ketegasan, bahkan dibumbui dengan ancaman, ternyata tidak berpengaruh.

Yang paling membuat saya sedih dan juga kesal, saat mengajari anak yang sikapnya tidak sopan dan tidak bisa menghargai guru. Sudah dinasihati, dielus, dipuji, diberi kata-kata positif seperti anak sholih, anak pintar, tapi malah membantah. Aku nggak sholih, aku nggak pintar.

Duuh, rasanya ingin menangis saja. Astaghfirullah, astaghfirullah....  Heran, makan apa, ya anak ini? Kok kelakuannya begitu amat?

Tapi bila ingat kalimat di atas, semangat kembali merasuki kalbu. Setiap anak pasti akan memiliki kesuksesan dan masa depan yang baik bila diarahkan dengan baik pula. Tugas kita orang tua dan gurulah untuk mengantarkan mereka menjemput masa depan yang indah.

Tak ada kata putus asa. Apalagi mereka adalah anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya. Helen Keller yang buta, tuli, dan bisu saja bisa mengguncang dunia dengan prestasinya, apalagi anak-anak kita. Pasti bisa lebih hebat lagi.

Dan, kehebatan itu, tentu atas peran besar orang-orang di sekitarnya; orang tua dan guru terutama.

#Semangat!!!

Sunday, October 9, 2016

Resensi: Moga Bunda Disayang Allah

Bismillaah






Membaca novel-novel Tere Liye, selalu meninggalkan kesan yang mendalam yang lama hilang. Seperti novel ini, Moga Bunda Disayang Allah. Dari judulnya saja, kita tahu akan ada pesan spiritual yang disampaikan penulis. Dan, seperti biasa pula, saya tidak tahan untuk segera menuntaskan bacaan pada setiap novel Tere Liye, termasuk yang satu ini.
Novel ini berkisah tentang seorang kanak-kanak berusia enam tahun, yang, karena suatu kecelakaan kecil, harus menderita buta, tuli, sekaligus bisu. Putri tunggal dari seorang pengusaha kaya bernama Tuan HK dan isterinya, Bunda HK ini, sangat lucu dan menggemaskan. Bila dilihat selintas, tidak kelihatan bahwa dia memiliki kekurangan itu.
Berbagai pengobatan dan upaya penyembuhan telah dilakukan oleh keluarga yang kaya raya itu. Hingga yang terakhir, satu tim medis didatangkan dari ibukota, untuk menyembuhkan sang putri yang bernama Melati ini. Alih-alih mendapatkan kesembuhan, Melati malah divonis gila oleh tim medis tersebut. Vonis yang keluar karena dipengaruhi rasa marah itu, dijatuhkan kepada Melati karena telah menggigit jari salah seorang dokter anggota tim tersebut hingga nyaris putus. Hanya orang gila yang sanggup menggigit jari hingga nyaris putus, kata salah seorang dokter yang telah dibayar mahal oleh keluarga HK itu.
Vonis yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada, hingga sang bunda jatuh sakit. Saat bunda sakit itulah, ia mendapat kabar dari dokter yang merawatnya, Kinasih, bahwa ada seorang pemuda yang sangat dekat dengan anak-anak dan sangat mengerti dunia mereka. Pemuda itu pandai mendongeng. Dengan dongengnya, salah seorang anak asuhnya yang semula lumpuh-layu, menjadi punya keinginan kuat untuk bisa berjalan dan berlari. Dan, anak itu berhasil!
Itulah yang membuat asa di mata bunda yang tadinya telah menghilang, kini bersinar kembali. Dikirimlah surat demi surat kepada pemuda itu, yang bernama Karang. Hingga surat ke sekian, ternyata tidak ada tanggapan apa pun dari Karang. Tak puas hanya lewat surat, bunda datang langsung ke rumah orang tua asuh Karang. Meminta dan memohon kepadanya agar mau membantu Melati. Awalnya, Karang menanggapi dengan sinis permintaan itu, mengatakan pada bunda bahwa ia salah alamat. Maka, pulanglah bunda dengan harapan yang kembali redup.
Dengan kuasa-Nya, Allah menggerakkan hati Karang untuk membantu Melati. Namun, ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Menghadapi Melati yang tidak bisa mendengar, melihat, dan berbicara saja sudah merupakan perjuangan yang berat, ditambah lagi dengan sikap sang ayah, Tuan HK yang tidak setuju dengan cara-cara Karang dalam menghadapi Melati. Namun Karang tidak berputus asa. Karena dia yakin bahwa janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak. Karena itulah, dia sangat dekat dengan anak-anak dan sangat mencintai mereka.
Membaca novel ini, kita akan teringat kembali dengan kisah nyata seorang tokoh dunia yang mengalami nasib sama dengan Melati yaitu, Helen Keller. Dan memang, novel ini terinspirasi dari tokoh tersebut dan dari sebuah film India yang berjudul Black.
Kisah yang sungguh luar biasa, membuat kita introspeksi diri kembali tentang apa yang telah kita lakukan dengan segala kesempurnaan yang telah Allah anugerahkan. Kadang kita yang sempurna ini, lebih banyak lalai dan mengeluh dengan hal-hal sepele dan tidak penting. Sedangkan mereka yang serba terbatas justru lebih banyak mengukir karya dan lebih pandai mensyukuri nikmat Allah.
Kembali, dan kembali, kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
[QS. Ar-Rahman: Ayat 13]

a

Thursday, October 6, 2016

VIP in My Life

Bismillaah

Since my parents passed away, I was brought up by my relatives. They were my elder brother and his wife, my grandparents, my aunts and uncles. Even though I didn't have parents anymore, I had many parents. Those whom I mentioned above were my new parents. They loved and took care of me and my brothers as their own children. So, I called them very important people in my life.

In this writing, I will tell about them one by one, in sya Allah. I do this to commemorate their kindness to me,  since I won't be able to pay back what they have done for me. May Allah bless them all and gives them much  more rewards in the world and in heaven. Aamiin ya robbal'aalamiin.

I begin from my elder brother. His name is Ilham Subagyo, but we call him Mas Giyanto. Since father and mother passed away, he replaced their roles as parents. Although he had his own children, he didn't mind to share his care with us, my brothers and me. Not only care, he also shared his time, money, and everything he had. He used to give what we needed without complaint.
As a teacher, he had no much money, but he was not stingy

Now, Mas Giyanto isn't here either. He and his wife have also passed away. Allahu yarham. May Allah loves them as much as they loved us. May Allah places them  in heaven. Aamiin.

Tuesday, October 4, 2016

Orang Tua Pingsan

Bismillaah 





Menjadi orang tua memang tidak semudah menjadi sekretaris, akuntan, atau pun dokter. Mengapa? Karena untuk menjadi orang tua yang baik dan sukses tidak ada sekolahnya apalagi universitasnya. Sedangkan untuk menjadi seorang dokter atau profesi lainnya, kita tinggal memilih sekolah atau universitas mana yang cocok dengan kemampuan dan keuangan kita.
Oleh karena itulah, banyak orang tua yang salah dalam mendidik anak-anaknya. Itu semua bukanlah sesuatu yang disengaja, tetapi benar-benar karena ketidaktahuannya. Sebagai contoh, seorang ibu yang mempunyai seorang anak balita yang tidak memiliki asisten rumah tangga, pasti akan menemukan beberapa kerepotan antara mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah. Di satu sisi, sang anak sedang dalam masa-masa yang memerlukan perhatian ekstra karena jiwa eksplorasinya sangat tinggi, sehingga tidak aman bila dibiarkan sendirian. Di sisi lain, pekerjaan rumah dari memasak hingga menggosok baju, juga perlu perhatian dan waktu ekstra banyak. Sebagai jalan keluar yang praktis, akhirnya sang balita dibiarkan menonton televisi atau bermain gadget. Hasilnya?
Untuk jangka pendek, cara seperti itu sangat jitu dalam menyelesaikan masalah orang tua, dalam hal ini ibu. Anaknya anteng, tidak rewel dan tidak kemana-mana, pekerjaan pun beres. Suami pasti senang dan bangga dengan hasil kerja sang isteri. Untuk jangka pendek. Bagaimana untuk jangka panjangnya?
Di sinilah orang tua tidak sadar dengan bahaya yang ditimbulkan oleh televisi dan gadget, alias pingsan, istilah Ibu Elly Risman, Psi. Orang tua tidak sadar bahwa teknologi canggih yang kelihatannya telah banyak membantu dan menyelesaikan masalah, ternyata malah menimbulkan masalah baru. Begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh keduanya. Apalagi untuk anak balita. Apa dampaknya?
Yang paling jelas, anak menjadi malas bergerak dan bersosialisasi. Penyakit yang diakibatkannya, bisa bermacam-macam, di antaranya obesitas, jantung, darah tinggi, dan diabetes. Jelas sekali bahwa anak yang lebih banyak melakukan aktivitas fisik jauh lebih sehat dan cerdas dibandingkan dengan mereka yang hanya berdiam diri.
Dari segi minat baca, anak yang sudah terpapar layar digital, akan merasa sulit dan malas untuk membaca buku. Hal ini terjadi karena dia telah terbiasa melihat dan menonton gambar -gambar yang berwarna-warni dan sangat dinamis. Sedangkan buku yang kita baca hanya diam dan tidak bisa bergerak semenarik tivi maupun gadget. Ini merupakan kemunduran berikutnya.
Sudah saatnya orang tua bangun dan sadar sehingga tidak menyerahkan anak-anaknya kepada tivi dan gadget tanpa pendampingan, mengingat begitu besarnya bahaya yang ditimbulkannya. Belum lagi bahaya pornografi yang telah merusak moral dan akhlak anak-anak, generasi penerus bangsa.
Mari gunakan gadget dengan cerdas.