Sunday, October 9, 2016

Resensi: Moga Bunda Disayang Allah

Bismillaah






Membaca novel-novel Tere Liye, selalu meninggalkan kesan yang mendalam yang lama hilang. Seperti novel ini, Moga Bunda Disayang Allah. Dari judulnya saja, kita tahu akan ada pesan spiritual yang disampaikan penulis. Dan, seperti biasa pula, saya tidak tahan untuk segera menuntaskan bacaan pada setiap novel Tere Liye, termasuk yang satu ini.
Novel ini berkisah tentang seorang kanak-kanak berusia enam tahun, yang, karena suatu kecelakaan kecil, harus menderita buta, tuli, sekaligus bisu. Putri tunggal dari seorang pengusaha kaya bernama Tuan HK dan isterinya, Bunda HK ini, sangat lucu dan menggemaskan. Bila dilihat selintas, tidak kelihatan bahwa dia memiliki kekurangan itu.
Berbagai pengobatan dan upaya penyembuhan telah dilakukan oleh keluarga yang kaya raya itu. Hingga yang terakhir, satu tim medis didatangkan dari ibukota, untuk menyembuhkan sang putri yang bernama Melati ini. Alih-alih mendapatkan kesembuhan, Melati malah divonis gila oleh tim medis tersebut. Vonis yang keluar karena dipengaruhi rasa marah itu, dijatuhkan kepada Melati karena telah menggigit jari salah seorang dokter anggota tim tersebut hingga nyaris putus. Hanya orang gila yang sanggup menggigit jari hingga nyaris putus, kata salah seorang dokter yang telah dibayar mahal oleh keluarga HK itu.
Vonis yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada, hingga sang bunda jatuh sakit. Saat bunda sakit itulah, ia mendapat kabar dari dokter yang merawatnya, Kinasih, bahwa ada seorang pemuda yang sangat dekat dengan anak-anak dan sangat mengerti dunia mereka. Pemuda itu pandai mendongeng. Dengan dongengnya, salah seorang anak asuhnya yang semula lumpuh-layu, menjadi punya keinginan kuat untuk bisa berjalan dan berlari. Dan, anak itu berhasil!
Itulah yang membuat asa di mata bunda yang tadinya telah menghilang, kini bersinar kembali. Dikirimlah surat demi surat kepada pemuda itu, yang bernama Karang. Hingga surat ke sekian, ternyata tidak ada tanggapan apa pun dari Karang. Tak puas hanya lewat surat, bunda datang langsung ke rumah orang tua asuh Karang. Meminta dan memohon kepadanya agar mau membantu Melati. Awalnya, Karang menanggapi dengan sinis permintaan itu, mengatakan pada bunda bahwa ia salah alamat. Maka, pulanglah bunda dengan harapan yang kembali redup.
Dengan kuasa-Nya, Allah menggerakkan hati Karang untuk membantu Melati. Namun, ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Menghadapi Melati yang tidak bisa mendengar, melihat, dan berbicara saja sudah merupakan perjuangan yang berat, ditambah lagi dengan sikap sang ayah, Tuan HK yang tidak setuju dengan cara-cara Karang dalam menghadapi Melati. Namun Karang tidak berputus asa. Karena dia yakin bahwa janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak. Karena itulah, dia sangat dekat dengan anak-anak dan sangat mencintai mereka.
Membaca novel ini, kita akan teringat kembali dengan kisah nyata seorang tokoh dunia yang mengalami nasib sama dengan Melati yaitu, Helen Keller. Dan memang, novel ini terinspirasi dari tokoh tersebut dan dari sebuah film India yang berjudul Black.
Kisah yang sungguh luar biasa, membuat kita introspeksi diri kembali tentang apa yang telah kita lakukan dengan segala kesempurnaan yang telah Allah anugerahkan. Kadang kita yang sempurna ini, lebih banyak lalai dan mengeluh dengan hal-hal sepele dan tidak penting. Sedangkan mereka yang serba terbatas justru lebih banyak mengukir karya dan lebih pandai mensyukuri nikmat Allah.
Kembali, dan kembali, kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
[QS. Ar-Rahman: Ayat 13]

a

No comments: