Thursday, January 30, 2020

Janji



Bismillaah




"Ibu!!!" teriakku sekuat tenaga melihat lelaki itu menahan tangan dan langkahku. Air mata sudah jebol dari pertahanannya. Sakit hati dan lelah fisik membuatku histeris. Ibu dan Bapak setengah berlari menuju kamarku dan membuka pintu. Pertanyaan Ibu mengalir dengan suara bergetar menahan tangis. Menandakan kecemasan hatinya.

Melihat ada peluang untuk segera angkat kaki dari hadapan lelaki itu, secepat kilat kulangkahkan kaki menuju motor dan memacunya. Menjauh darinya. Tak kuhiraukan pertanyaan dan tatapan mata Ibu dan Bapak. Pikiranku hanya satu: segera lepas dari lelaki itu.

Sepanjang jalan, pikiranku tak karuan. Memoriku berputar mengulang peristiwa dua bulan lalu, saat ia mengungkapkan hasratnya untuk menjadikanku sebagai isterinya. Wajahnya yang polos seperti kain putih tak bernoda, membuatku berpikir untuk mempertimbangkan permintaannya. Walau sebenarnya, bukan dia tipe lelaki idamanku, karena dia perokok. Namun, janjinya untuk berhenti merokok bila sudah sah menjadi suamiku, menggoyahkan prinsip yang selama ini kupegang.

Kucoba mencari jawaban pasti dengan shalat istikhoroh. Entah ini jawaban Allah atau bukan, ternyata dia datang ke rumah dengan keluarganya untuk meminangku. Karena Ibu dan Bapak sudah setuju, dan hasil istikhoroh-ku pun tidak bisa tertangkap jelas, akhirnya kuterima juga lamarannya. Pernikahan pun terlaksana sebulan setelahnya.

Kini, sebulan sudah pernikahan kami. Tapi belum ada tanda-tanda bahwa rokok akan ditinggalkannya. Sebagai isteri, kucoba bicara baik-baik, setelah melayaninya dengan baik pula. Masih kuingat jelas percakapan kami seminggu yang lalu saat kuingatkan dia dengan janjinya yang akan berhenti merokok kalau sudah menikahiku.

"Aku pusing kalau nggak merokok, nggak bisa fokus bekerja. Kamu tahu, itu," jawabnya saat itu sambil merebahkan tubuh dan memejamkan matanya. Tidur. Tak berselang lama, suara dengkurnya mulai terdengar. Huh! Dasar tukang tidur! Isteri bicara baik-baik, malah ditinggal tidur.

Baru sebulan usia pernikahan kami. Bagi orang lain, sekaranglah saat-saat manis  pengantin baru. Tapi aku? Hanya seminggu kurasakan rasa manisnya. Sekarang hatiku malah resah dan gelisah. Bagaimana tidak gelisah, punya suami cuek begitu? Setiap diajak bicara serius, responnya dingin, sedingin es batu. Sedangkan bila bersama teman-temannya, ceria dan aktif berbicara. Beda banget saat ngobrol dengan aku, isterinya. Tetapi, itu tak begitu kurisaukan. Yang membuatku kesal dan semakin resah dengan hubungan pernikahan ini, saat kubaca chatting-nya dengan seorang perempuan. Begitu ringannya ia menyapa dengan kata-kata ‘sayang’ dan ‘cinta’.

“Biasalah, sama temen. Namanya juga anak muda,” begitu jawabnya waktu aku mempertanyakan hal itu. “Itu, kan, bahasa gaul. Nggak usah heran,” lagi-lagi, enteng sekali jawabannya. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. Inikah suamiku?

Bisa-bisanya dia memanggil perempuan itu dengan sapaan mesra, sedangkan dengan isterinya? Jangankan berkata ‘sayang’, ‘cinta’, ngobrol saja ogah-ogahan. Dia lebih tertarik chatting dengan teman-temannya daripada menanggapi isterinya. Jangankan isterinya, panggilan azan saja tidak ia hiraukan. Dia lebih mementingkan chatting dengan komunitasnya, daripada salat berjamaah masjid yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah. Nasihatku tak digubrisnya. Membuatku semakin kesal. Bahkan saat kuingatkan kewajibannya sebagai suami yang harus membimbing dan mendidik isterinya, dia malah melengos, pergi entah ke mana. Dan matanya tak lepas dari layar ponselnya. Astaghfirullah. Mengapa tak ada sedikit pun perhatiannya? Salahkah aku bila menginginkan bimbingannya dalam mengarungi bahtera hidup  ini?

Sesak dada ini seperti dihimpit batu kali yang sangat besar. Pening kepalaku memikirkan sikap suami yang semakin hari semakin menyebalkan. Rasanya muak melihat wajahnya.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak pulang ke rumah hari ini untuk regulasi diri. Aku menginap di rumah teman. Perlu mengabari suami? Tak perlu. Dia juga tidak akan mencariku. Hanya bapak-ibu yang perlu tahu aku ada di mana. Pasti mereka akan sangat mengkhawatirkanku bila aku tidak pulang tanpa kabar.
***
Kupandangi dua garis merah itu dengan perasaan tak menentu. Apa artinya ini? Aku hamil? Seharusnya aku bahagia. Ya, di saat orang lain sulit memperoleh keturunan hingga berpuluh tahun usia pernikahan mereka, alhamdulillah aku langsung hamil di bulan kedua pernikahan kami. Tapi, bagaimana aku bisa bahagia dengan sikap suami yang seperti itu? Sejak aku kabur beberapa hari yang lalu, sikapnya hanya berubah sebentar. Setelah itu, kembali seperti sediakala.

Tak terasa, air mata menetes di pipi. Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku belum siap menjadi ibu. Aku belum ingin mempunyai anak. Aku belum yakin dengan pernikahan ini, apakah akan berlanjut atau ....

“Kenapa Dik, kok menangis?” tanya Mas Wisnu yang baru keluar dari kamar mandi. “Apa ini?” tanyanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu melihat test pack di tanganku. “Hah??? Kamu hamil, Dik?” serunya sambil merengkuh bahuku ke dalam pelukannya. “Alhamdulillaah, terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Dik. Jangan menangis,” ujarnya sambil menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Mulutku masih kelu. Otakku serasa beku; tak bisa berpikir. Kenyataan ini benar-benar membuat pikiran dan perasaanku tak menentu.

“Jangan bersedih, Dik. Aku berjanji akan berhenti merokok. Aku berjanji akan meninggalkan teman-teman yang tak baik,” ujarnya penuh keyakinan, seperti dulu waktu memintaku untuk menjadi isterinya. Aku tak mau tertipu lagi.

“Bagaimana aku bisa percaya dengan janjimu? Dulu kamu berjanji akan berhenti merokok kalau kita menikah. Buktinya?” ucapku sambil berlinang air mata.

“Betul, Dik. Kali ini aku benar-benar berhenti, demi anak kita. Lihat!” serunya sambil meremukkan batang-batang rokok yang tersisa di atas meja. “Dan, lihat ini! Akan kusingkirkan segala komunitas yang menurutmu tidak bermutu itu,” serunya lagi sambil mengambil SIM card dari hp-nya. Dipatahkannya kartu itu, lalu ia campakkan ke dalam keranjang sampah. Senasib dengan remukan rokok tadi. Aku menatapnya tak percaya.

“Percayalah, Dik. Aku sangat mencintaimu. Aku juga sangat bahagia karena kita akan segera memiliki keturunan. Aku akan berubah. Aku akan menjadi kepala keluarga yang baik. Tentu saja dengan bantuanmu, Dik. Bagaimana, Dik? Please ...,” rayunya berusaha meruntuhkan keraguan yang sempat menguasaiku.

Kupandangi wajah lelaki yang akan menjadi ayah anakku itu dengan ragu. Haruskah aku memercayainya?
***

*Dimuat di Majalah Hadila bulan Oktober 2019

No comments: