Thursday, July 9, 2020

My Story (2)




Bismillaah

Baru enam bulan istirahat, tidak mengajar, datang tetangga depan rumah yang memiliki sekolah baru. Beliau meminta saya untuk mengajar di SD yang baru dirintis. Sebelumnya, saya sempat membantu mengajar di TK beliau yang sudah lebih dulu berdiri. Sewaktu resign dari SMK, saya juga resign dari TK tersebut. Kini, beliau mengajak untuk bergabung di SD.

Setelah berdiskusi dengan suami dan karena faktor tidak enak dengan tetangga, akhirnya saya terima tawaran itu meski anak ketiga baru berusia 6 bulan. Alhamdulillaah saya cuma mengajar bahasa Inggris sepekan sekali, jadi tidak lama saya meninggalkan si kecil.

Tujuh tahun saya mengabdi di sana. Dari hanya sebagai guru bidang studi bahasa Inggris, lalu ditambah menjadi guru tahfidz, wali kelas, dan akhirnya kepala sekolah SMP yang baru berdiri. Ibarat pohon, semakin tinggi, semakin kencang angin yang menerpanya. Begitu pula jabatan. Semakin tinggi, semakin berat beban dan tantangannya. Tapi memang hidup ini penuh tantangan dan perjuangan.


Tujuh tahun mengabdi di sekolah tersebut, ternyata harus berakhir pedih. berawal dari ketidaksetujuan saya terhadap kebijakan yayasan, mengantarkan saya untuk resign di tengah semester. Dengan berat hati saya tinggalkan sekolah yang telah membesarkan saya, yang telah saya cintai, yang telah memberikan banyak makna terhadap hidup saya. Sungguh sebuah sad ending yang memilukan.

Lalu saya memulai perjalanan baru di sekolah yang sekarang. Menjadi guru baru di sini, tidak seperti di sekolah-sekolah sebelumnya. Maklum, sekolah elit. Segala tingkah laku dan profesionalitas kerja kita sangat dipantau dan dituntut. Lebih-lebih kalau bertemu dengan orang tua siswa yang sekaligus merupakan rekan kerja. Itulah masa-masa adaptasi pahit yang saya alami. Saking tak kuatnya, saya sampai menangis di toilet. Alhamdulillah, Allah masih menguatkan dan mengokohkan kaki saya. Hingga saya bisa melewati masa transisi itu dengan selamat dan bahagia.

Tak terasa, hampir tujuh tahun saya berada di sini. Suka dan duka tak pernah lepas dari yang namanya manusia hidup. Apalagi hidup bersosialisasi dengan beragam karakter. Namun, dengan semua itulah kita menjadi dewasa. Kita menjadi kuat, tidak baperan. Kita menjadi tahu, bagaimana seharusnya bersikap dan bertingkah laku agar tidak menyakiti atau mendzalimi orang lain.

Tujuh tahun ini sangat bermakna bagi saya. Di sekolah ini, lagi-lagi, saya bukannya mengajar tetapi malah belajar. Saya belajar bersabar. Saya belajar berempati. Saya belajar menahan hawa nafsu. Saya juga belajar banyak ilmu pengetahuan seperti metode pembelajaran, perkembangan anak, bahasa Arab, tahsin, dan lain-lain. Sungguh anugerah Allah yang tak ternilai. Alhamdulillaah wa syukurillah.

No comments: