Sunday, July 5, 2020

My Story


Bismillaah

Perjalanan saya menjadi guru, tak semulus jalan tol. Banyak duri dan lampu merah yang sering menginterupsi lajunya. Kadang lancar, sering pula tersendat. Tapi semua bisa dijalani dengan penuh gejolak rasa.

Dimulai saat belajar di MTs (Madrasah Tsanawiyah, setara SMP), saya diminta membantu mengajar Pramuka dan PKS (Patroli Keamanan Sekolah). Bahkan saya dan beberapa teman mengajar di sekolah lain. Ternyata amanah itu membuat saya semakin percaya diri untuk berbicara di depan orang banyak. 

Menginjak bangku SMA, selain masih menjadi pembina Pramuka, tak dinyana-nyana, saya mendapat tambahan amanah dari seorang guru. Pak Suhud Eko Yuwono, guru bahasa Inggris favorit saya, meminta tolong untuk menggantikan beliau mengajar. Saat itu ada kekurangan guru bahasa Inggris, sehingga dalam satu waktu beliau harus mengajar di dua kelas sekaligus. Nggak mungkin, kan? Akhirnya saya yang mengajar di kelas 2. Saat itu saya kelas 3. 

Bagaimana rasanya? Campur aduk pastinya. Antara senang, bangga, grogi, dan takut. Senang bisa membantu beliau. Bangga karena sudah menjadi asisten guru favorit dan mengajar pelajaran kesukaan. Grogi karena yang dihadapi adalah adik kelas yang postur tubuhnya banyak yang lebih tinggi dan lebih besar daripada yang mengajar. Takut kalau menyampaikan penjelasannya tidak sesuai dengan materi.

Namun, alhamdulillaah, saat-saat itu berjalan dengan lancar. Saya semakin suka dengan pekerjaan mengajar. Tapi, waktu itu impian saya ingin menjadi pengajarnya mahasiswa alias dosen.

Memasuki masa kuliah, ternyata kegiatan mengajar tidak bisa lepas dari saya, meskipun yang saya lakukan bukan mengajar secara formal di dalam kelas. Dimulai dengan mengisi kajian di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Rohis - Kerohanian Islam, juga membimbing siswa secara privat dari rumah ke rumah, serta di rumah sendiri. 

Begitu lulus kuliah dari Akademi Bahasa Asing, selang beberapa bulan, saya diterima menjadi instruktur bahasa Inggris di sebuah lembaga. Di sana, lagi-lagi, kemampuan mengajar saya semakin terasah. Menghadapi peserta didik yang beragam usia dan latar belakang, jenjang pendidikan, serta pekerjaan. Semua memberikan pengalaman luar biasa yang tak terlupakan.

Hampir lima tahun saya bergabung dengan lembaga pendidikan tersebut. Setelah menikah dan pindah tempat tinggal, otomatis saya harus resign. Sempat di rumah saja selama empat tahun, di tahun kelima, ada teman yang meminta agar saya ikut mengajar di sekolah tempatnya mengabdi. 

"Kasihan Bu, sudah dua pekan sekolah berjalan, tapi belum ada guru bahasa Inggris-nya," bujuk teman tersebut saat saya menanggapi dengan agak enggan. Maklum, anak kedua saya masih bayi, belum bisa ditinggal.

Setelah berdiskusi dengan suami dan mengajukan syarat agar diizinkan membawa anak saat mengajar, akhirnya saya pun bergabung dengan sekolah SMK tersebut. Namun karena anak sakit dan saya hamil anak ketiga, maka resign menjadi keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Pihak sekolah sempat keberatan sampai kepala sekolah dan wakilnya datang ke rumah untuk mengajak saya bergabung kembali.

"Mengajar itu ibadah, lho Bu. Pahalanya banyak," begitu pak kepala sekolah berusaha memengaruhi keputusan yang telah bulat.

"Mengurus anak juga ibadah, Pak. Lagi pula, kan, sudah ada guru baru, Pak," jawab saya berusaha tak terpengaruh. 

Ya, memang harus ada yang diprioritaskan, dan juga harus ada yang dikorbankan. Apalagi sebagai seorang perempuan yang memiliki ikatan. Ikatan sebagai isteri dan seorang ibu.


No comments: