"Bu, gimana sih, penilaian di SD anak kita itu? Perasaan, anakku bisa mengikuti pelajaran, tapi mengapa nilainya di bawah KKM, ya?" tanya Bu Fani emosional.
Bu Fani adalah tetangga sebelah rumah. Kebetulan anak-anak kami belajar di sekolah yang sama. Sani, anak Bu Fani, sudah kelas 5, sedangkan Mufid, anakku, baru kelas 1. Keluhan seperti ini bukan pertama kali kudengar. Bu Fani memang tipe perfeksionis. Sehingga saat melihat nilai raport anak semata wayangnya ada yang di bawah KKM, dia seperti kebakaran jenggot. (Memangnya punya jenggot???) Tapi saya yakin di dunia ini, terutama di bumi Indonesia tercinta ini, banyak Bu Fani lainnya. Mereka sangat concern dengan nilai akademik anak-anaknya.
Bu Fani adalah tetangga sebelah rumah. Kebetulan anak-anak kami belajar di sekolah yang sama. Sani, anak Bu Fani, sudah kelas 5, sedangkan Mufid, anakku, baru kelas 1. Keluhan seperti ini bukan pertama kali kudengar. Bu Fani memang tipe perfeksionis. Sehingga saat melihat nilai raport anak semata wayangnya ada yang di bawah KKM, dia seperti kebakaran jenggot. (Memangnya punya jenggot???) Tapi saya yakin di dunia ini, terutama di bumi Indonesia tercinta ini, banyak Bu Fani lainnya. Mereka sangat concern dengan nilai akademik anak-anaknya.
Kembali ke Bu Fani. Aku berusaha bijaksana dalam menanggapi keluhannya, meskipun terus terang juga kurang paham dengan maksud pertanyaannya.
"Kalau masalah penilaian, sebaiknya tanya ke gurunya langsung, Bu. Meskipun saya juga guru, tapi bisa jadi sistem penilaian di sana berbeda dengan di sekolah saya, Bu."
"Nggak ... Saya mau curhat aja sama Umi Mufid. Ibu tahu kan, Sani, anak saya? Dia kan nggak jelek-jelek amat kemampuannya. Saya mau bilang pinter, nanti dikira kepedean. Sedanglah ... Tapi mengapa di pelajaran PKn ini dia selalu di bawah KKM? Lihat Bu, lihat nih hasil ulangan hariannya! Memang sih, cuma 74. Tapi kan, tugas-tugasnya selalu dikerjain, Bu. Dia itu rajin, Bu. Duh, kesel banget saya sama guru PKn-nya."
"Kalau masalah penilaian, sebaiknya tanya ke gurunya langsung, Bu. Meskipun saya juga guru, tapi bisa jadi sistem penilaian di sana berbeda dengan di sekolah saya, Bu."
"Nggak ... Saya mau curhat aja sama Umi Mufid. Ibu tahu kan, Sani, anak saya? Dia kan nggak jelek-jelek amat kemampuannya. Saya mau bilang pinter, nanti dikira kepedean. Sedanglah ... Tapi mengapa di pelajaran PKn ini dia selalu di bawah KKM? Lihat Bu, lihat nih hasil ulangan hariannya! Memang sih, cuma 74. Tapi kan, tugas-tugasnya selalu dikerjain, Bu. Dia itu rajin, Bu. Duh, kesel banget saya sama guru PKn-nya."
Memang sih, 74 bukan nilai yang kecil. Tapi karena KKM-nya 75, jadi kurang, deh. Seharusnya nilai segitu bisa di atas KKM bila digabung dengan nilai tugas. Akan lebih bagus lagi bila ditambah dengan nilai afektif atau sikap sehari-hari. Sani yang sholih itu, menurutku pantas mendapat nilai 80.
" Sepertinya saya harus ke sekolah, Bu. Saya mau tanya ke gurunya. Mengapa Sani tidak bisa mendapat nilai, minimal sesuai KKM, aja. Apakah kerja keras anak saya, kesungguhannya dalam belajar dan mengerjakan tugas, belum bisa dihargai sesuai KKM?"
"Silakan saja, Bu. Tapi Bu Fani tidak boleh emosi begitu saat bicara dengan guru Sani. Posisikan diri kita sebagai orang yang belum paham dan ingin mendapat penjelasan. Setelah kita tahu sistem penilaian yang sebenarnya, baru kita berikan saran sesuai keinginan kita."
"Iya, saya ingin penilaian itu jangan hanya dari hasil ulangan aja, dong. Harusnya juga dari segi ... Apa tadi, Bu?"
"Afektif, Bu."
"Ya, itu, maksud saya. Jadi sikap dan akhlaknya juga dinilai. Kasihan, kan, kalau anak sudah berusaha keras, tapi nggak ada nilainya di mata gurunya?"
"Betul, Bu," jawabku mengiyakan.
"Iya, saya ingin penilaian itu jangan hanya dari hasil ulangan aja, dong. Harusnya juga dari segi ... Apa tadi, Bu?"
"Afektif, Bu."
"Ya, itu, maksud saya. Jadi sikap dan akhlaknya juga dinilai. Kasihan, kan, kalau anak sudah berusaha keras, tapi nggak ada nilainya di mata gurunya?"
"Betul, Bu," jawabku mengiyakan.
Kondisi seperti itu masih banyak terjadi di sekolah negeri maupun swasta di negara tercinta ini. Padahal pemerintah sudah mengembar-gemborkan pentingnya pendidikan karakter. Mau kurtinem (kurikulum 2006) atau kurtilas (kurikulum 2013), semuanya mengedepankan pendidikan berkarakter. Walaupun begitu, masih banyak guru yang hanya mengukur kemampuan siswa dari satu sisi; kognitif. Padahal dalam raport model terbaru, nilai sikap juga dimunculkan. Alhamdulillah sekolah tempatku mengajar termasuk yang menghargai karakter siswa. Nilai yang diolah untuk dijadikan nilai raport, diambil dari aspek kognitif dan afektif. Dengan demikian, akan sangat kecil kemungkinan, ada anak yang karakternya tidak bagus, tetapi mendapat nilai yang paling bagus. Sebaliknya, anak yang kemampuannya pas-pasan tetapi karakternya baik, belum tentu pula nilainya pas-pasan, atau malah jauh di bawah KKM.
Ada nasihat bagus yang selalu kuingat dari seorang pejabat UPTD. Katanya, bila nilai raport siswa kita jelek, itu adalah cermin dari hasil kerja kita. Jangan salahkan siswa, tapi introspeksi diri kita terlebih dulu. Mungkin memang kita yang belum bisa mentransfer ilmu dengan tepat sesuai takarannya. Belum pas dalam menerapkan metode dan teknik mengajar. So, mari menjadi guru hebat demi melahirkan generasi muda yang hebat. Terus belajar dan belajar. Jangan hanya mengejar sertifikasi, tetapi kualitas diri tak pernah sempat di-upgrade.
Ayo Nindy, kamu pasti bisa!
Ayo Nindy, kamu pasti bisa!
#EdisiMenyemangatiDiri
#One Day One Post
#Menulis Setiap Hari
#Menulis Setiap Hari
2 comments:
keren (y)
Semangat mbak...
Post a Comment