Tadi pagi ketika berangkat ke tempat tugas, saya berpapasan dengan seorang anak laki-laki dengan seragam putih-merah, mengendarai motor dengan gagahnya. Sore hari saat perjalanan pulang, di bawah gerimis sisa hujan, kembali saya bertemu dengan dua anak kecil berboncengan naik motor. Lihatlah, bahkan kakinya pun belum bisa dengan sempurna menginjak tanah, tapi mereka sudah berani mengendarai motor. Apa yang ada dalam pikiran kita saat melihat pemandangan seperti ini?
"Wah, hebat ya, anak kecil sudah lihai naik motor! Saya yang setua ini saja tak berani ...." Itu komentar seorang teman yang merasa sudah berumur, tapi keberanian untuk mengendarai si bebek itu belum kunjung mampir juga.
Atau ...
"Astaghfirullah, kecil-kecil sudah bisa naik motor, kan belum punya SIM? Nanti kalau kena tilang, bagaimana?"
Atau malah biasa-biasa saja?
"Ah, memang sudah zamannya anak-anak bisa naik motor. Lumayan, bisa disuruh beli cabe."
Fenomena seperti ini memang sudah menjadi hal yang sangat wajar dalam masyarakat kita. Mengapa demikian? Ada akibat pasti ada sebab, kan? Apa sebabnya? Ternyata keadaan ini diciptakan oleh para orang tua sendiri. Seperti komentar yang terakhir di atas. Mereka menganggap sudah zamannya, anak-anak juga boleh mengendarai motor supaya bisa membantu orang tuanya. Yang lebih menyedihkan lagi, hadiah motor menjadi iming-iming jika anaknya lulus SD. Ini benar-benar terjadi dengan anak didik saya. Miris, bukan? Lebih miris lagi, ada anak yang tak mau sekolah kalau tidak dibelikan motor. Dan, lebih sangat miris lagi, orang tua mampu membelikan motor untuk anaknya, tapi tak mampu menyekolahkan anaknya. Sehingga anaknya hanya keluyuran tak tentu arah hidupnya.
Padahal kita semua tahu, bahwa syarat seseorang boleh mengendarai motor, harus memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi). Sedangkan SIM hanya bisa diperoleh setelah usia 17 tahun. Selain itu, dalam mengendarai motor atau mobil (tidak berlaku untuk sepeda, ya) dibutuhkan kedewasaan seseorang. Tujuannya apa? Tentu saja untuk menjaga keselamatan diri sang pengendara dan juga orang lain sesama pemakai jalan. Dalam hal ini, anak-anak dianggap masih kurang pertimbangannya saat naik motor. Mereka kurang peduli dengan keselamatan orang lain. Kadang-kadang keselamatan diri sendiri pun diabaikan. Dalam benak mereka hanya ada kesenangan, berkendara sambil bercanda, dan sering ngebut tanpa memperhatikan sekitarnya.
Selain beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas, sebab atau alasan lainnya anak belum boleh mengendarai motor sendiri adalah, karena sekarang banyak begal tangan kosong. Mengapa saya sebut demikian? Karena memang begalnya benar-benar tak membawa senjata apa pun, tangan kosong. Hanya bermodal gertakan, motor sudah berpindah tangan. Berbeda dengan begal yang menyerang orang dewasa. Pasti mereka membawa senjata. Entah pistol, pisau, atau clurit dan sejenisnya. Sudah ada tiga kasus seperti itu di sini, di daerah saya. Semuanya terjadi bukan di jalanan sepi di pinggir hutan, tapi di perumahan! Sang anak? Hanya bisa menangis ketakutan. Takut dengan si begal dan takut dimarahi orang tua karena pulang jalan kaki. Motornya mana, Nak? Na'udzubillaah min dzalik! Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Kita, kita lah yang rugi. Orang tua yang rugi, bukan?
Sebagai orang tua, mari kita berpikir ulang ketika mau memfasilitasi anak. Saat kita tidak mengabulkan keinginan mereka untuk mempunyai dan mengendarai motor sendiri, bukan berarti kita tidak sayang. Justru itulah ekspresi sayang yang sesungguhnya. Karena kasih sayang tidak melulu harus diungkapkan dengan materi, tapi dengan perhatian dan sikap kita yang tulus. Hadiah materi yang tidak pada tempatnya, justru akan mencelakai anak kita, cepat atau lambat.
2 comments:
Buk guru..
Best Tulisannya. .
Sepatu mbak..(sepakat dan setuju) karena kasih sayang tidak selalu diungkapkan dengan materi ^^
Post a Comment