Thursday, April 28, 2022

Di Rantau Kutemukan Jodohku

Bismillah


Waktu duduk di kelas 6 SD, pernah ada keinginan untuk merantau dan mondok. Namun, cita-cita itu tak terlaksana. Saya gagal mondok karena biayanya yang lumayan besar buat saya yang yatim piatu. Memang, ada paman dan bibi yang siap membantu. Tapi, saya tidak tega untuk membebani mereka. Karena mereka pun punya anak yang harus dibiayai juga.


Meski gagal mondok, saya tetap bisa merantau. Walaupun merantaunya hanya sebatas ke kota kabupaten. Saya tinggal di Mrisen, merantau ke Klaten. Tinggal bersama paman, Lik Muslim, adik ibu yang nomor 5. Ibu saya nomor 2. Saya tinggal di sana selama menjalani masa SMP dan SMA. 



Saya SMP, tepatnya saat saya masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah Negeri Klaten, saya sempat bercita-cita untuk bisa merantau ke Jogja. Kota kenangan yang indah dan ngangeni. Waktu itu saya ingin melanjutkan ke Madrasah Aliyah Unggulan di Jogja. Memang sih, cita-cita itu lumayan tinggi. Bagaimana tidak? Sekolah itu hanya untuk siswa-siswa yang berprestasi dan pilihan. Sedangkan saya, tidak tahu menahu bagaimana caranya untuk bisa mendaftar ke sana. Tak ada sedikit pun informasi yang saya miliki. Zaman itu belum ada search engine, jadi tidak bisa bertanya ke Mbah Google. 


Waktu SMA, cita-cita saya untuk merantau ke kota Jogja belum berubah. Kali ini lebih tinggi lagi. Saya ingin kuliah di UGM, Universitas Gajah Mada. Keren, kan? Bedanya, kali ini saya mendapatkan fasilitas dari sekolah, SMA Muhammadiyah 1 Klaten. Saya diusulkan untuk bisa kuliah di sana melalui jalur PMDK. Saya lupa kepanjangannya. Yang jelas, jalur tersebut menggunakan nilai rapot sebagai bahan seleksinya. Tak tanggung-tanggung, saya memilih Sastra Jepang! Ini terinspirasi oleh kakak kelas yang telah lolos. 


Namun, Allah belum berkehendak. Lagi-lagi, saya gagal. Walaupun begitu, saya tetap berusaha melalui jalur tes UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Saya memilih jurusan bahasa Inggris di UGM sebagai pilihan satu, dan UNS (Universitas Negeri Surakarta) sebagai pilihan kedua. 


Selain itu, saya juga mendaftar di IAIN, sekarang UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saya memilih jurusan bahasa Arab. Ketinggian lagi. Entahlah, selera saya kok terlalu tinggi, ya. Padahal kemampuan saya biasa saja.


Bila orang lain menyongsong tes masuk perguruan tinggi dengan ikut bimbingan belajar, saya tidak. Bukannya merasa sudah mampu, tetapi karena tidak ada biaya. Saya tidak berani minta ke saudara-saudara. Karena hanya belajar sendiri dan kurang gigih juga, lagi-lagi saya gagal merantau ke Jogja. Alhamdulillah 'alaa kulli haal.


Berniat ingin refreshing, saya pun pergi ke Jakarta, ke rumah Bude, kakak ibu. Namun, di luar dugaan dan rencana, saya malah disuruh kuliah di sana. Walaupun enggan, saya tidak berani menolak permintaan Bude karena beliau yang menanggung biaya saya dan kakak adik selama ini. Bisa dibilang, beliau sponsor utama. Sedangkan saudara-saudara yang lain sebagai pihak pendukung.


Jadi, saya secara tidak sengaja merantau ke Jakarta. Cita-cita ingin ke Jogja, malah jauh ke Jakarta. Alhamdulillah 'alaa kulli haal.


MasyaaAllah, rencana Allah memang luar biasa. Di Jakarta lah, saya bertemu jodoh, yang sekarang menjadi suami dan ayah anak-anak saya, Mas Ery Marjianto.


Ceritanya, saya dijodohkan oleh teman Rohis (Rohani Islam) saat kuliah di Universitas Borobudur. Teman tersebut, berbeda jurusan dengan saya. Saya bahasa Inggris, dia Akuntansi. Namanya Okti. 



Sejak lulus kuliah, kami jarang bertemu. Pertama saat dia menikah, kedua saat hadir di pernikahan seorang teman. Selain itu, kami hampir tidak pernah bertemu. Bertelepon pun tidak.


Tetiba, suatu malam, Okti menelepon. Setelah lama tidak pernah berkabar, tahu-tahu menelepon dan mengabari bahwa teman kerja suaminya sedang mencari istri. Dan, dia menawari saya, apakah mau ta'aruf dengannya. 



MasyaaAllah, saya sampai bengong. Berita itu benar-benar surprise. Rezeki yang tak terduga-duga, laa yahtasib. 



Setelah ta'aruf dan shalat istikharah selama dua pekan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Waktu itu bulan Oktober 1999, kalau tidak salah. Setelah keluarga kami bertemu, tanggal pernikahan pun disepakati yaitu tanggal 4 Juni 2000. 



Alhamdulillah, sudah hampir 22 tahun kami menikah. Dan, lagi-lagi, saya harus mengikuti suami merantau ke Bekasi. Di sini di sebuah kampung, yang dulu sangat sepi, sekarang sudah ramai dan padat. Kalau dulu udaranya dingin karena banyak pepohonan, sekarang panas karena penuh rumah. 



Ternyata, banyak hikmah yang saya dapatkan dari perjalanan hidup ini. Keinginan saya untuk merantau ke Jogja tidak diijabah Allah, tetapi malah ke Jakarta, supaya saya bertemu dengan jodoh saya. MasyaaAllah. Benar-benar rahasia hidup yang tak pernah bisa diprediksi. Misteri kehidupan. 

No comments: