Wednesday, April 20, 2022

Review "Bidadari"



Judul buku: Bidadari
Penulis: Pipiet Senja
Penerbit: Afra Publishing
Cetakan: Pertama, 2010
ISBN: 978-602-8277-22-8
Tebal buku: 172 halaman


Bismillah

Novel "Bidadari" karya Pipiet Senja ini bercerita tentang kehidupan seorang perempuan bernama Soli. Soli yang tidak diharapkan kehadirannya di dunia, harus tinggal dengan neneknya dalam keterbatasan. Belum juga Soli dewasa, neneknya sudah dipanggil oleh Yang Maha Pencipta. Soli pun merantau ke Bandung untuk mencari ibunya.


Namun tak semudah itu. Soli yang luntang-lantung, akhirnya diajak bergabung oleh Tunem. Dia seorang perempuan yang dewasa, menjadi induk semang anak-anak jalanan. Soli tinggal bersamanya di sebuah bedeng. 


Tunem sangat menyayangi Soli. Dia sangat menjaganya. Bahkan, karena ingin menyembunyikan kecantikan Soli yang bisa membahayakan, Tunem sengaja mendadani Soli agar terlihat kumuh dan jelek. 


Meski sudah disamarkan sedemikian rupa, mutiara tetaplah mutiara. Walaupun di dalam lumpur, dia akan tetap berkilau. Begitu pun Soli. Kecantikannya tetap terpancar meski Tunem sudah menyembunyikannya begitu rapi. Apalagi gadis itu mulai menginjak remaja. Ibarat bunga, sedang mekar-mekarnya. Tak heran bila kumbang pun ingin menikmatinya.


Dan, terjadilah peristiwa yang tragis itu. Soli disekap dan dirudapaksa oleh seorang preman mantan kekasih Tunem. Yang berakhir dengan matinya sang preman di tangan Soli. 


Lagi-lagi, Tunem membuktikan kasih sayangnya kepada Soli yang bahkan ibu kandungnya pun tak sudi melihatnya, apalagi menyayanginya. Tunem menyerahkan diri kepada polisi dan mengaku bahwa dialah sang pembunuh. 


Soli sendiri dirawat karena luka dan trauma ditemani dua sahabatnya sesama anak jalanan. Saat itulah ibu kandungnya muncul dan mengaku ingin merawat Soli sebagai anaknya. Memang, si ibu merawat bahkan mengajari Soli tata krama dan juga cara merawat diri sebagai seorang perempuan. Hingga Soli pun tumbuh menjadi gadis jelita yang santun. 


Namun, semua itu ada udang di balik batu. Setelah dirasa cukup, Soli pun dijual ke seorang tauke pengusaha tembakau. Beruntung, sang tauke memperlakukan Soli seperti anaknya sendiri, bukan sebagai istri. Bahkan Soli dipanggilkan guru privat untuk mengajarinya baca tulis dan juga bisnis. 


Soli hidup nyaman dengan sang tauke. Belajar dengan seorang mahasiswa asal Papua. Kebersamaan yang sering terjadi, ternyata menumbuhkan benih-benih cinta. Witing tresno jalaran soko kulino, begitu kata pepatah Jawa. Cinta tumbuh karena terbiasa bersama. 


Namun, hubungan keduanya mulai bermasalah sejak kehadiran anak kandung sang tauke. Pemuda tersebut mulai mendua dan membuat Soli merasa diabaikan. Hingga, puncaknya saat sang tauke meninggal dunia. Soli merasa tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak berhak tinggal di rumah tempatnya bernaung selama ini. Meskipun sang tauke sudah menyiapkan warisan khusus untuk dirinya, tetap saja menimbulkan kecemburuan di antara anak-anak kandungnya.


Akhirnya, Soli pergi ke Holland bersama si pemuda Papua, Nuwa. Selama sebulan mereka hidup layaknya suami istri yang sedang berbulan madu. Hingga di suatu pagi, Soli tak menemukan Nuwa di sisinya. Dan, Nuwa pergi dengan membawa semua barang berharga Soli. Kini, dia sebatang kara di negeri orang, tanpa uang sepeser pun.



No comments: