Bismillaah
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! ...”
“Astaghfirullah,” desisku melihat berita itu.
“Apaan Mi?” tanya si kecil penasaran.
“Ini Dik, Masjid Al Aqsha diserang Israel,” jawabku geram.
“Ya Allah, kasihan ya Mi. Dasar Israel jahat!!!” ujarnya tak kalah geram.
“Mi, lihat! Anak itu kasihan. Ya Allah ...” teriaknya melihat anak-anak Palestina yang terluka dan berdarah-darah.
“Emang salah mereka apa sih, Mi? Israel sampai segitunya!” serunya tak mengerti.
“Mereka, orang-orang Palestina itu tidak salah, Dik. Mereka kan, sedang beribadah di masjid itu. Sedang melaksanakan perintah Allah. Tidak salah kan?” tuturku berusaha menjelaskan.
“Masak, orang shalat ditembak? Nggak ngerti, aku!” gerutunya sambil cemberut.
Jangankan kamu, Dik, anak kecil. Kami, orang dewasa pun tak mengerti. Mengapa Israel tega berbuat seperti itu. Padahal, mereka dulu mengemis-ngemis supaya diizinkan masuk ke tanah Palestina dan tinggal di sana. Sekarang, tamu yang sudah dimuliakan oleh tuan rumah itu justru ingin menghabisi dan mengusir orang yang telah menyelamatkan mereka. Tamu macam apa, itu?
Dengan pengetahuan seadanya, kucoba menjelaskan kepada si kecil tentang kebiadaban Israel. Tentang saudara-saudara di Palestina yang harus kehilangan orang tua, adik, kakak. Juga kehilangan rumah. Kehilangan masa kecil.
Di saat anak-anak lain sibuk bermain kembang api dan petasan, mereka sibuk menghindari kobaran api di sekeliling mereka.
Di saat anak-anak di belahan bumi lainnya sedang sibuk dengan game online, mereka sibuk berlarian menyelamatkan diri dari amukan bom Israel yang mendarat di rumah-rumah mereka.
Di saat anak-anak lain tidur nyenyak dengan kasur empuk dan selimut lembut, mereka tidur beratap langit dengan dingin yang menusuk tulang, membekukan badan.
Mereka, saudara-saudara kita di Palestina, tidak hanya terancam keselamatannya. Mereka pun hidup serba kekurangan. Tidak hanya kekurangan makanan, minuman, dan tempat tinggal. Mereka pun kekurangan obat-obatan. Mereka sangat membutuhkan bantuan dari muslim sedunia.
“Adik mau berinfak nggak, buat Palestina?” tanyaku hati-hati.
“Jangankan infak. Ke sana pun, aku mau! Aku mau bantuin mereka ngalahin Israel!”
“Eh, ada Kakak, rupanya.” Kaget juga aku mendengar respons si kakak. Ternyata, dari tadi dia menyimak percakapanku dengan si adik.
“Aku mau bantu mereka, Mi. Tapi ... Oiya! Aku kan, kemarin dapet THR dari Om. Boleh nggak, kusumbangin buat Palestina?”
“Boleh banget, Dik. Meskipun sedikit, insyaAllah bermanfaat untuk mereka dan semoga bisa meringankan beban mereka.”
“Aamiin ...” ucap si Kakak dan adik dengan serempak.
“Coba, kita masuk sekolah, ya. Pasti bisa berinfak lebih banyak. Kayak dulu itu, waktu Ali datang ke sekolah,” ujar si kakak sambil menerawang.
Ya, sebelum pandemi melanda dunia, sebelum anak-anak harus belajar dari rumah, setiap tahun, sekolah mereka mengadakan penggalangan dana untuk Palestina. Setiap hari mereka menyisihkan uang jajannya, dan dimasukkan ke kantong infak Palestina.
Bersambung ...
No comments:
Post a Comment