Sunday, March 26, 2017

Pecel Pincuk



Sumber: food.detik.com


Bismillah
Sarapan, makan pagi sebelum memulai segala aktivitas, sudah menjadi kebiasaan saya dan keluarga. Khusus di hari libur, kami biasa cari sarapan di luar rumah. Sekalian jalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Ini sekaligus sebagai ajang refreshing buat anak-anak dan uminya.
Sejak menikah hingga saat ini, bubur ayam menjadi menu favorit. Karena semua anggota keluarga suka, kecuali anak ketiga kami, Hakim. Dia tidak suka bubur maupun makanan lain yang terbuat dari beras. Anehnya, kalau kue jipang, dia paling suka. Padahal bahan dasarnya sama, beras. Bedanya, sebelum menjadi jipang, beras yang sudah dimasak menjadi nasi, dikeringkan terlebih dahulu. Setelah itu baru digoreng, kemudian diberi campuran gula dan bumbu lainnya. Setelah itu diletakkan di loyang, sampai mengeras. Baru dipotong berbentuk balok.
Kembali ke menu sarapan. Namun, kebiasaan menyantap bubur ayam, akhir-akhir ini mulai sedikit ditinggalkan. Mengapa? Ya, ini berkaitan dengan selera sang kepala rumah tangga. Ternyata beliau mulai suka sarapan dengan nasi pecel. Awalnya karena tidak sengaja. Waktu itu kami mau sarapan di warung bubur langganan kami. Tapi ternyata tutup. Nah, tercetuslah ide untuk makan nasi pecel. Sekali coba, ternyata hubby suka. Jadi keterusan. Kalau saya? Jangan ditanya deh, pecel memang sudah menjadi makanan favorit saya selain bubur ayam. Jadi, ngikut saja dengan kebiasaan baru.
Nah, tadi pagi, kami makan nasi pecel pincuk Bu Ida di Cibubur. Alhamdulillah, rasanya mantap. Warungnya pun nyaman. Suasananya, njawani banget. Bahkan para pelayannya pun berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Serasa pulang kampung.
Sesuai namanya, pecel yang bisa ditemani dengan nasi atau lontong ini, disajikan dengan daun pisang berbentuk pincuk. Salah satu ujungnya direkatkan dengan lidi, sisi yang lain dibiarkan. Ndeso banget, kan? Itu kan, kebiasaan saya waktu kecil di kampung. Belum ada kertas nasi, apalagi sterofoam. Tapi, dengan alas daun pisang, makanan lebih higienis dan tidak khawatir terkontaminasi dengan bahan kimia.
Pecelnya merupakan makanan sehat bergizi karena terdiri dari sayur-sayuran, tempat makannya pun aman dan ramah lingkungan. Seharusnya kuliner seperti ini perlu disosialisasikan dan didukung, agar masyarakat Indonesia kembali kepada makanan tradisional yang sehat dan bergizi, serta meninggalkan makanan impor, yang sebagian besar merupakan junk food.
Yuk, kita back to nature. Selain menyehatkan, juga agar kita lebih​mencintai produk bangsa sendiri. Sehingga kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Makanan negeri sendiri tidak suka, tapi yang dari negeri barat malah digandrungi. Berarti kebarat-baratan, dong? Kalau kearab-araban tidak boleh, mengapa yang kebarat-baratan dibiarkan saja? (Ups. Jadi kemana-mana. Maaf.)

No comments: