Wednesday, March 29, 2017

Ojek Andalan

Bismillah

Tinggal di perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk kota, memang ada enak dan tidaknya. Enaknya, kita bisa menghirup udara segar dan melihat hijaunya pepohonan dan persawahan. Bisa jalan santai tanpa terganggu arus kendaraan yang ramai, sambil bertegur sapa dengan tetangga yang menuju sawah atau yang sedang bercengkrama di halaman rumah. Bisa mendengar kokok ayam jago bersahut-sahutan di waktu subuh,  kicau burung di pagi hari menyambut sang mentari keluar dari peraduannya, dan juga suara kodok saat hujan mulai mengguyur bumi. Sungguh kenikmatan yang tiada tandingannya.

Tidak enaknya, kemana-mana jauh. Cari apa-apa sulit. Warung sayur hanya ada satu, itu pun jauh dari rumah. Agak kesiangan sedikit, tak ada sisa sayuran yang bisa dimasak. Warung kelontong juga jauh. Itu pun tidak lengkap. Bila ingin menjamu tamu dengan cemilan, bingung harus beli ke mana. Belum lagi kalau ingin bepergian. Sulit mendapatkan kendaraan.

Sebenarnya ada dua transportasi umum yang melewati kampungku, angkot dan bus tiga perempat. Bus kecil yang bisa memuat sekitar 25-30 penumpang. Tapi kenyataannya bisa lebih banyak dari itu. Hanya saja, bus itu jarang sekali lewat. Lebih dari satu jam sekali baru lewat. Itu pun dengan muatan yang sudah overloaded. Bagaimana mau naik?

Kan, ada angkot? Sebelas dua belas dengan si bus. Angkot pun sangat jarang lewat. Padahal penumpang yang setia menunggu juga banyak. Tapi, apa mau dikata. Angkot-angkot itu malas lewat karena jalan raya dari kota menuju kampung sangat jelek dan rusak. Di mana-mana berlubang, mirip dengan kubangan kerbau. Belum lagi kalau hujan turun. Sudah seperti kolam ikan saja.

Dengan alasan itulah, aku pun lebih mengandalkan ojek daripada di-php oleh angkot-angkot yang tidak jelas kapan datangnya itu. Dengan pesan khusus dari suami kepada si Abang ojek, "Bang, pelan-pelan ya, isteri saya sedang hamil," aku pun naik. Waktu itu aku masih kuliah di Jakarta. Bila pulang malam, ojek pun jadi alternatif yang tak tergantikan. Melewati sawah dan kebun rambutan yang gelap, bukan suatu halangan. Kalau zaman sekarang, penumpang takut naik ojek malam-malam karena khawatir menjadi sasaran kejahatan, waktu itu justru si abang ojek yang khawatir saat menembus sepinya dan gelapnya jalan di kampung. "Neng nggak takut, lewat sini malam-malam?" tanyanya waktu itu. "Nggak, Bang," jawabku dengan suara kubuat sedatar mungkin. Padahal hati ini sudah ketar-ketir juga. Sambil menggerutu karena suami tercinta tidak menjemput. Alhamdulillah, meski sering pulang malam, tak ada kejadian apa pun yang menakutkan atau mengkhawatirkan.

Sejak saat itu hingga enam tahun ke depan, ojek menjadi transportasi andalanku. Ke pasar, ke tempat kajian, ke sekolah tempatku mengajar, dan juga ke tempat angkot biasa mangkal (berhenti dan menunggu penumpang). Karena seringnya naik ojek, sampai para abang ojek jadi hapal dengan keluargaku. Bila ada teman atau saudara yang bingung mencari alamat rumah kami, mereka akan diberi tahu oleh para abang ojek itu. Jadi terkenal, deh. ^_^

Namun, sejak kami memiliki motor, sekitar tahun 2006, perlahan-lahan aku mulai meninggalkan ojek. Hingga saat ini, bila pergi ke mana-mana, ya, pakai motor sendiri. Tapi bukan berarti kami tidak menggunakan jasa ojek sama sekali, tidak. Misalnya saja saat kuda besiku harus masuk bengkel, ya ojek tetap jadi andalan. Atau ketika ayahnya anak-anak tidak bisa mengantar atau menjemput sekolah si bungsu, ojeklah andalannya.

So, sepertinya sulit untuk tidak menggunakan ojek. Sekali-kali, ojek tetap kami butuhkan agar perjalanan dan urusan kami lancar. Terima kasih Abang ojek.

No comments: