Saturday, March 11, 2017

Hanya Allah



Sumber: Google




Bismillaah


Mentari baru saja menyapa dengan sinar hangatnya, saat kudengar suara motor loper koran berhenti di depan rumah. Segera saja kusambut koran pagi itu dengan rasa bercampur-aduk. Ya, hari ini pengumuman UMPTN yang kunanti.


Setelah menelusuri nomor demi nomor, nama demi nama, jelas sudah, namaku tak tercantum. Lemas! Bahkan air mata pun tak kuasa menetes. Paklik dan Bulikkku hanya bisa berucap, "Sabar, yo, Nduk."


Mentari yang kian cerah menyinari bumi, tak mampu menerangi pilu hatiku. Gelap sudah masa depanku. Rasanya pengangguran akan menjadi predikatku. Lihatlah! Inneke dan Yunita mendapat PMDK (lulus tanpa tes) di UNS, Wening di UNDIP, Intan di UGM. Sedangkan aku? Malu, kesal, kecewa, sedih, berbaur menyatu menjadi awan gelap nan pekat. Kuliah di universitas yang kuidam-idamkan, hanya khayalan di negeri dongeng.


Setelah PMDK gagal, UMPTN gagal, apa lagi yang bisa kulakukan? Satu-satunya harapan yang masih ada adalah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Dan itu pun tak lolos. Lengkap sudah penderitaan dan kesedihanku.


Satu demi satu, kawan-kawan datang ke rumah Paklik, tempat aku tinggal selama 6 tahun ini. Mereka mencoba menghibur dan menyemangatiku. Hatiku sedikit terhibur dengan kehadiran dan perhatian mereka. Tapi, membayangkan mereka akan sibuk dengan kegiatan kuliah mereka, rasanya aku tak sanggup melihatnya. Aku tak ingin lari dari kenyataan ini, tapi aku juga tak mungkin melihat kebahagiaan mereka menyandang gelar mahasiswa, sedangkan aku hanya pengangguran.


Ke Jakarta. Ya, ke sanalah aku berniat untuk sekadar menghindar dari teman-teman dan sedikit refreshing. Rencanaku, setelah pikiran dan perasaanku normal kembali, aku akan pulang lagi ke kampung halaman ini. Dan, berusaha lagi agar bisa tembus UMPTN.


Namun rencana tinggal rencana. Sesampainya di Jakarta, di rumah Bude, beliau malah menyuruhku mendaftar di sebuah PTS. Niatku yang hanya ingin refreshing di Jakarta ini, malah berubah. Mentaati perintah Bude, akhirnya aku terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di sebuah akademi bahasa asing.


Diawali dengan rasa setengah hati, akhirnya aku bisa menjalaninya dengan sepenuh hati. Kusyukuri nikmat ini dengan berusaha dan belajar sebaik-baiknya agar bisa mempersembahkan hasil terbaik untuk orang-orang tercinta yang telah banyak berbuat baik kepadaku.


Meskipun demikian, ujian, cobaan, kesepian, dan kesendirian sering membuatku pilu dan nelangsa. Di saat-saat seperti itulah, ingin rasanya berlari pulang ke kampung, bertemu teman-teman dan guru-guru tempatku curhat selama ini. Menumpahkan segala rasa hingga dada terasa ringan. Tapi di sini? Teman dekat, aku tak punya, atau belum punya, tepatnya. Bude? Ah, malu. Beliau sudah terlalu baik. Aku tak ingin membebani pikiran beliau dengan masalahku. Lalu, kemana aku harus mencari tempat mengadu dan berkeluh kesah?


Saat itulah aku tersadar, betapa beruntungnya diri yang dhaif ini. Betapa beruntungnya diri yang hina ini. Meski tak ada teman atau guru sebagai luapan perasaan, tapi aku masih memiliki Engkau, Ya Allah. Benar-benar keberuntungan yang tiada tara. Ada Engkau, ya Rabbi, yang tak pernah bosan mendengar keluh kesah, yang tak pernah mengecewakan hamba-Nya.


Ya. Sejak saat itu, aku begitu merasakan dan menyadari nikmat menjadi seorang muslim. Kalau tidak ada Allah, apa jadinya diriku?
Kalau tidak mengenal Allah, apa jadinya aku? Bila Allah telah bersamaku, tak perlu lagi merasa sepi dan sendiri. Tak pernah lagi merasa pilu dan nelangsa. Sebab, hanya kepada Allah tempat kubergantung. Hanya kepada Allah aku menyembah dan memohon pertolongan. Bukan kepada manusia, apalagi makhluk yang lain.

1 comment:

Raida said...

hiks... hiks .... aku suka aku suka, sedih sekaligus terharu, terimakasih sekali telah berbagi kisah inspirasinya mba :)