Monday, May 25, 2020

Opname



Bismillaah


Usianya belum genap enam bulan, saat saya mulai mengajar SMK Abdi Negara. Terus terang, berat bagi saya, mengajar di saat anak belum selesai ASI eksklusifnya. Terpaksa, saya mengajar sambil menggendongnya agar tetap bisa memberikan ASI eksklusif. Waktu itu belum trend ibu menyusui memompa ASI untuk bayinya. Kalau sekarang, sudah biasa dan banyak yang melakukannya sehingga bisa bekerja tanpa harus membawa bayi ikut bekerja.


Sebenarnya saya juga belum ingin mengajar, mengingat anak-anak masih kecil. Tetapi karena sekolah tersebut memerlukan guru bahasa Inggris, dan sekolah sudah berjalan selama dua pekan tetapi belum memiliki guru bahasa Inggris, maka saya pun bersedia mengajar. Oleh suami pun sebenarnya belum diizinkan. Tetapi, tadi, karena kasihan para siswanya tidak belajar bahasa Inggris, akhirnya suami membolehkan.


Waktu itu, mengajar masih menggunakan kapur tulis, yang debunya cukup mengganggu pernapasan. Mungkin karena ini pula, bayi saya, akhirnya sakit dan harus di-opname. Waktu itu, usianya belum genap setahun. Sedih rasanya, melihat ia harus diinfus. Setiap mendengar langkah sepatu, dia langsung menangis. Sepertinya dia trauma dengan suster yang telah menyuntikkan jarum infus ke tangannya.
Hari-hari di rumah sakit terasa menyesakkan dada apalagi bila melihatnya menangis ketakutan. Rasa bersalah itu semakin membukit dan menggunung. Rasa bersalah  karena gara-gara mengajar, saya harus mengorbankan anak. Sempat terjadi perang batin antara anak dan siswa. Apakah harus berhenti mengajar atau lanjut? Hal ini seperti makan buah simalakama. Membingungkan.

Permohonan resign pun saya ajukan kepada kepala sekolah, meski baru secara lisan. Dengan alasan belum ada guru pengganti, pengajuan saya ditolak. Terpaksa, saya harus berusaha bersikap profesional meski perang batin terus berkecamuk di dalam dada. Saya harus bersabar sampai guru pengganti datang.


Alhamdulillaah, kurang lebih enam bulan kemudian, datanglah guru baru bahasa Inggris. Tanpa basa-basi lagi, langsung saya hibahkan semua buku bahasa Inggris yang saya miliki, sekaligus berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih. Karena kehadirannya, saya bisa resign, alhamdulillaah.

Pada awal-awal saya resign, kepala sekolah berusaha membujuk saya agar mau mengajar lagi. Tidak mempan membujuk saya lewat telepon, beliau langsung datang ke rumah. Kata beliau, "Mengajar itu ibadah, lho Bu. Pahalanya banyak."
"Mengurus anak lebih banyak lagi pahalanya pak, jawabku sambil tersenyum. Alhamdulillaah," saya tidak tergoda oleh bujukannya.

Ya, kadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Kita tidak boleh serakah untuk mendapatkan semuanya. Harus ada yang diprioritaskan. Dalam hal ini, saya memilih untuk memprioritaskan anak karena dulu niat saya mengajar memang sebatas ingin membantu selama belum ada gurunya. Sekarang sudah ada gurunya, jadi saya bisa lebih fokus untuk mengurus anak sendiri.

Namun, ternyata hal ini tidak berlangsung lama. Kewajiban terhadap lingkungan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Bersambung ....

No comments: