Bismillaah
Hari ini adalah hari pertama kelas online mulai aktif. Kehebohannya tak hanya di sekolah, namun juga di rumah-rumah. Di sekolah, bapak dan ibu guru, termasuk saya, riweuh mempersiapkan materi, meng-upload, dan juga menyimak hafalan siswa yang direkam, serta mengoreksi jawaban mereka. Menyimak rekaman, tentu sensasinya berbeda dengan menyimak secara langsung atau talaqqi. Apalagi bila menyimaknya di ruangan yang banyak orang dan tidak hanya satu orang yang memperdengarkan rekaman. Rasanya seperti naik rollercoaster, deg-degan, semrawut, de-el-el. Belum lagi ditambah mengoreksi tulisan tangan yang difoto, kecil, di laptop atau hp. Butuh kaca mata dobel, rasanya. Pedih, matanya.
Di rumah, ibu-ibu beradu argumentasi dengan anak-anaknya agar segera mengerjakan tugas dari gurunya. Belum lagi harus memberikan penjelasan layaknya seorang guru. Ibu yang selama ini cuma tahu beres bahwa anaknya sudah diajari guru di sekolah, sekarang harus turun tangan. Terbayanglah riweuh-nya. Dan, percaya atau tidak, anak lebih mudah mengikuti apa kata guru daripada kata ibunya. Itulah yang saya alami. Di sekolah, anak-anak orang sangat mematuhi kata-kata saya. Tetapi di rumah, kata-kata saya tidak terlalu didengarkan oleh anak-anak saya sendiri. Mereka baru percaya dengan apa yang saya katakan bila hal itu sudah disetujui oleh gurunya.
Seperti ketika anak saya mendapatkan tugas melukis tentang keragaman bangsa Indonesia. Ketika dia bingung mau melukis apa, saya menyarankan agar melukis rumah adat saja. Dia bertanya, melukisnya satu rumah atau berapa. Saya jelaskan bahwa yang namanya keragaman, pasti ada lebih dari satu. Eh, dia tak percaya, dan meminta saya untuk bertanya kepada gurunya melalui wa. Setelah gurunya menjelaskan sama seperti yang saya katakan, barulah dia percaya. Guru lebih dipercaya daripada orang tua. Hadeuh.
No comments:
Post a Comment