Menjelang kelulusan sekolah, pasti menjadi saat yang ditunggu-tunggu. Tak sabar ingin segera lulus dan keluar menuju luasnya dunia. Mengetahui berbagai hal di luar yang selama ini dilihat. Hanya seputar sekolah, yang letaknya di dalam kampung sendiri, dan kampung yang dikelilingi oleh sawah dan perkebunan tembakau.
Itulah saat saya SD. Hanya berkutat di kampung sendiri. Bermain dan sekolah tak perlu keluar dari sekitar rumah. Jarak sekolah pun tak sampai 50 meter dari rumah. Oleh karena itu, saat lulus SD menjadi awal untuk mengenal dunia yang lebih luas daripada sekadar kampung halaman.
Lulus SD berarti bersiap untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMP. Saat itu, saya tak sabar sekali untuk masuk SMP. Terutama saat tahu bahwa di SMP ada pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang tidak dipelajari saat saya SD. Namun, tak semua teman saya tertarik dengan pelajaran yang satu ini. Bahkan, ada yang justru takut bahasa Inggris sehingga tidak melanjutkan sekolah. Ia lebih memilih untuk bekerja di kota. Sayang sekali, padahal belum dicoba.
Berbeda dengan pemikiran beberapa teman tersebut, saya justru penasaran dengan bahasa Inggris. Saking penasarannya, saya belajar dengan saudara yang sudah duduk di bangku SMP. Saya diajari bagaimana cara membaca beberapa kosakata bahasa Inggris. Apa yang diajarkan kepada saya tersebut, saya catat dan saya hafalkan. Ya, sebegitu semangatnya saya, waktu itu. Jadi, sebelum memulai pembelajaran di SMP, saya sudah punya bekal beberapa kosakata. Lumayan, lah, jadi nggak malu-maluin.
Maka, saya sangat antusias setiap ada pelajaran bahasa Inggris. Alhamdulillaah, gurunya pun mendukung, lelaki muda dan pintar. ABG (anak baru gede) mana yang tidak senang mendapatkan guru seperti itu. Makin semangat, deh, saya.
Begitu naik ke kelas 2 ... Hmmm ... Guru bahasa inggrisnya terkenal killer. Seorang ibu guru setengah baya, dengan suara yang menggelar dan cara mengajar yang keras, membuat siapa pun yang mendengarnya akan mengkeret. Ngeper, bahasa anak sekarang. Tapi, tidak dengan saya.
Mungkin karena sudah jatuh cinta dengan bahasa Inggris, mendapatkan guru yang ditakuti oleh mayoritas siswa, saya justru semakin semangat belajar. Saya tidak mau dihukum, jadi saya harus belajar sekuat tenaga dan pikiran. Alhamdulillah, walaupun pernah kena marah juga, tapi hanya sesekali. Tak masalah. Namanya juga belajar. Justru dari guru yang killer, kadangkala membuat kita terpaksa belajar sehingga membuat kita lebih maju dan sukses.
Hal itu pula yang saya alami waktu kuliah. Mengambil jurusan bahasa Inggris, tentu saja, ternyata ada saja tantangannya. Lebih banyak dosen killer-nya. Apalagi mereka kebanyakan lulusan universitas mancanegara. Biasa hidup keras di negeri orang, mungkin gemes melihat mahasiswanya yang cenderung santai dan kurang disiplin, jadilah mereka orang-orang yang super tegas.
Saat PKL (praktik kuliah lapangan), saya mendapatkan pembimbing dari salah satu dosen killer tersebut. Waktu mengetahui beliau yang menjadi dosen pembimbing, sempat ngeper juga. Tapi, mau bagaimana lagi, apa pun yang terjadi, harus dihadapi. The show must go on. Nggak boleh dan nggak bisa mundur, juga, kan? Bisa molor nanti waktu kuliah saya. Nambah lagi biaya, waktu, dan tenaga.
Lagi-lagi, justru dosen seperti itulah yang cocok untuk saya. Saya jadi berusaha keras untuk mengikuti selera sang dosen. Walaupun sambil membesarkan anak pertama kami yang baru jalan setahun, alhamdulillaah saya bisa melaluinya. Dan, alhamdulillaah dapat nilai yang memuaskan. Entahlah, apakah saya akan mendapatkan nilai seperti itu kalau dosen pembimbingnya tidak se-perfect beliau. Alhamdulillaah 'alaa kulli haal.
Ternyata, kalau kita sudah jatuh cinta dengan sesuatu, rintangan apa pun akan terasa ringan. Rintangan tersebut tidak lagi menjadi penghalang, namun justru menjadi motivasi untuk lebih keras lagi berjuang. Berjuang untuk meraih sukses di dunia dan di akhirat. InsyaaAllah. Semoga Allah mudahkan 🤲🏻
#KLIP2024
#kelasliterasiibuprofesional
#practicesmakeprogress
#sinergiwujudkanaksi
#ibuprofesional
#komunitasmenulisperempuan
No comments:
Post a Comment