Saturday, February 19, 2022

Kerinduan

Bismillah


Sudah hampir 8 bulan, saya hanya di rumah, tidak mengajar lagi. Enam bulan pertama, semua terasa menyenangkan. Di rumah, bercengkerama dengan keluarga, antar jemput anak sekolah, menjadi aktivitas yang menyenangkan. Ketika ada teman yang bertanya, "Bosankah?" Dengan bangga, saya jawab, "Tidak." Waktu saya benar-benar terisi dengan kesibukan baru di rumah. Bebas dari segala tugas guru.


Namun, setelah lewat satu semester, ada yang bergolak di dalam dada. Rasa jenuh mulai datang tanpa permisi. Hari-hari mulai terasa membosankan dan tidak produktif. Banyak waktu terbuang sia-sia, unfaedah. Astaghfirullah.


Dan, kerinduan itu mengusik ketenangan selama ini. Serapi apa pun saya menyimpan kenangan saat mengajar, ternyata bobol juga pertahanannya. Rasa rindu itu semakin melesak-lesak, ingin tersampaikan. Saya coba untuk meredamnya dengan doa. Justru air mata yang tak bisa ditahan. Benar-benar rindu yang menyiksa.


Rindu bertemu teman-teman guru, bercanda, berdiskusi. Rindu suasana AHIS yang nyaman, meskipun tugas tak pernah ada selesainya. Rindu murid-murid, bercanda dan bermain. Rindu semuanya ....


Tapi, apalah dayaku. Hasrat hati ingin kembali mengajar, apa daya tak ada izin dari suami. Belum, belum ada izin. Berharap, tahun ajaran baru nanti, bulan Juli, sudah boleh mengajar lagi. Rasanya, hidup saya lebih bermakna bila dipakai untuk mengajar. Daripada di rumah, kebanyakan tidur. Astaghfirullah.


Keputusan untuk di rumah saja ini, berawal dari suami yang melarang saya untuk mengajar. Saat itu, saya dengan suka cita menyambut keputusan itu. Bahagia rasanya, bisa terbebas dari tugas-tugas yang kadang membuat stress. 



Saat mengajukan pengunduran diri kepada kepala sekolah, ternyata beliau tidak mengizinkan. Alasan bahwa suami yang meminta saya untuk di rumah saja, tidak usah mengajar, tidak diterima oleh beliau. Lalu saya sampaikan bahwa saya resign karena ingin mengurus si bungsu. Eh, beliau malah meminta si bungsu dipindah saja sekolahnya ke AHIS. 


Ya, meskipun sekolah di AHIS adalah sesuatu yang menyenangkan, tetapi bukan pilihan terbaik. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, salah satunya masalah dana. Tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sedangkan kakak-kakaknya juga membutuhkan dana yang lumayan banyak.


Akhirnya saya ajukan alasan, bahwa ibu mertua sakit dan tidak bisa apa-apa. Kalau suami ada keperluan keluar rumah, ibu tidak ada yang menjaga. Maka, saya harus resign. 


Untuk alasan yang terakhir, kepala sekolah mau menerima. Tetapi, beliau menyarankan saya agar mengajukan cuti saja. Cuti tanpa tanggungan selama setahun. Artinya, saya tidak mendapatkan gaji. Tetapi, alhamdulillaah, untuk BPJS, masih ditanggung sekolah. Alhamdulillah.


Jadilah sekarang, saya cuti. Masih harap-harap cemas, apakah setelah setahun ini, bisa mengajar kembali. Bisa bertemu dengan rekan-rekan guru dan juga para siswa. Kembali berkutat dengan tugas-tugas administrasi, yang ternyata mulai saya rindukan. Dan, ternyata, tugas-tugas itu yang membuat pikiran saya tetap bekerja dan produktif. Tidak seperti sekarang.



Sekarang ini, saya merasa tingkat kecerdasan saya berkurang, termasuk daya pikir. Mungkin karena jarang digunakan untuk berpikir. Kalau mengajar kan, saya banyak berpikir. Mencari bahan ajar, menyusunnya, mengoreksi hasil pekerjaan siswa, mencari metode mengajar yang cocok untuk siswa, dan lain-lain. 



Ternyata kesibukan yang dulu sempat saya hindari dan tidak saya sukai, sekarang begitu saya rindukan. Walaupun begitu, saya harus tetap bersyukur bagaimana pun keadaan saya. Berada di rumah, InsyaaAllah juga banyak hikmah yang saya dapatkan. Paling tidak, bisa menikmati masa-masa bersama anak-anak dan suami. Sesuatu yang dulu sangat jarang saya nikmati karena pergi mengajar pagi-pagi, pulang sore. Itu pun dalam keadaan lelah. Yang terpikir hanyalah, bagaimana bisa istirahat. 


Alhamdulillah 'alaa kulli haal. Semua harus disyukuri karena pasti ada hikmahnya.

No comments: