Saturday, February 26, 2022

Julid

Bismillah


Pertama kali mendengar kata "julid", dari seorang rekan guru yang fresh graduate. Orangnya memang suka ceplas-ceplos, dengan siapa saja bisa langsung akrab. Saat itu, saya sempat mengerenyit, tak paham apa maksudnya.


Beberapa waktu berlalu, ternyata kata yang asing di telinga saya itu, sudah masuk ke KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Julid artinya iri dan dengki dengan keberhasilan orang lain, biasanya dilakukan dengan menulis komentar, status, atau pendapat di media sosial yang menyudutkan orang tertentu. Nah, kalau dilihat dari definisinya, julid bukan termasuk sikap yang terpuji. Apalagi ini dilakukan di media sosial yang pastinya bisa diakses oleh penduduk sedunia. 


Kalau ditanya, pernahkah ada orang yang julid terhadap saya? Alhamdulillaah, kalau di media sosial, selama ini belum ada. Dan, semoga tidak pernah ada. Tapi kalau di dunia nyata, pernah sih, ada orang yang iri dengan saya. Tetapi, alhamdulillah tidak sampai mencaci-maki di depan saya. Kalau di belakang sih, katanya ada. Iya, kata orang-orang yang peduli dengan saya. 


Apakah saya sedih dan sakit hati? Ada sih, perasaan itu. Tetapi, saya lebih suka untuk mengabaikannya. Selama hal itu tidak terjadi di depan mata dan tidak membahayakan diri kita, abaikan saja. Ilmu ini saya dapatkan dari suami saya.



Waktu itu, pernikahan kami baru berumur beberapa bulan. Ada seorang rekan instruktur di lembaga bahasa Inggris tempat saya mengajar, merasa iri dengan prestasi dan kedudukan saya. Padahal, saya sih, orangnya nggak sombong, lho. Nggak songong juga. Saya nggak pernah merasa lebih daripada teman-teman yang lain. Tetapi, namanya manusia, mungkin beda-beda penerimaannya.


Beliau ini sebenarnya termasuk sahabat yang akrab dengan saya. Bahkan, sudah saya anggap seperti kakak. Yah, pokoknya deket lah, hubungan kami, tidak sekadar rekan kerja. Cuma, beliau memang lebih senior. Mungkin itu yang membuatnya iri. Saya yang dianggap anak bawang, kuliah juga belum lulus, tetapi sudah diamanahi tugas yang lebih banyak daripada beliau. 


Saat itu, saya tidak merasa kalau beliau julid. Maklum, saya memang kurang peka. Saya baru tahu ketika ada rekan lain yang bercerita bahwa beliau ini memfitnah saya. Terus terang, saya kaget. Tidak menyangka, beliau tega berbuat seperti itu kepada saya. Saya juga sedih dan sakit hati. Saya merasa tidak bersalah, tetapi mengapa difitnah?


Sedangkan dalam Al-Qur'an disebutkan, bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَا لْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
  
"... Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. ..."
(QS. Al-Baqarah: 191)


Saya pun mengadu kepada suami tentang fitnah tersebut dan bertanya kepadanya, apa yang harus saya lakukan. "Abaikan saja." Begitu perintahnya. Tanpa banyak tanya, saya pun menaati kata-katanya itu. Alhamdulillaah. Rekan-rekan kerja yang lain pun tak berubah sikapnya terhadap saya. Mereka tahu bahwa saya hanya korban fitnah. Padahal saya tidak pernah mengklarifikasi ataupun menegur orang yang memfitnah saya. 


Alhamdulillaah, Allah telah memudahkan urusan saya. Sejak itu, saya tidak pernah memikirkan sikap julid yang ditujukan kepada saya. Prinsip saya, selama tidak diungkapkan dan tidak merugikan, abaikan saja. Maafkan. 


No comments: