Tuan Putriku
Wajah mungil dengan sebuah gigi seri yang menghitam, selalu membuatku kangen dan ingin memeluknya. Bila tidak sedang mengantuk, dia selalu ceria. Mulutnya hampir tidak pernah berhenti berceloteh. Bahkan ketika terbangun di malam hari karena haus, dia selalu menyapa dan mencandaiku dengan suaranya yang renyah. Nafa, itulah panggilan kesayangan kami kepadanya.
Begitu gadis cilikku ini lahir, rasanya aku seperti mendapat seorang putri. Tubuh mungilnya begitu ringan di tanganku. Membuatku bebas menimangnya tanpa rasa pegel. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lahir dengan berat badan di atas 3 kg. Sang putri yang satu ini sangat beda.
Bagaimana tidak beda? Proses kelahirannya yang lumayan sulit dan paling sulit di antara anak-anakku. Dua kali bolak-balik ke bidan, tapi dia tak jua mau keluar melihat dunia ini. Tepat ketika takbir Hari Raya Idul Fitri membahana di seantero negeri, kupikir ini saatnya dia menyambut takbir itu dengan tangisan pertamanya. Ternyata tidak. Justru kabar kurang menyenangkan yang kudapat. Ternyata leher janin sang putriku ini terlilit tali plasenta. Aku pun harus dioper ke RS yang memiliki dokter kandungan. Akhirnya lahirlah sang putri setelah diinduksi. Benar-benar beda kamu, Nduk.
Di usianya yang kelima ini, wajah imutnya semakin menggemaskan dan ngangeni. Rumah terasa sepi tanpa celotehannya. Setiap ada anggota keluarga yang akan meninggalkan rumah tak luput dari wejangannya. "Da...dah...mba. Hati-hati di jalan ya", begitu selalu pesannya. Begitu juga bila salah seorang dari kami baru pulang, dia yang paling heboh menyambut dengan rentetan ceritanya.
Ah...tak ada habisnya cerita tentangmu, Dek. Semoga keceriaanmu selalu mewarnai hari-harimu, mendatangkan secuil bahagia di rumah kita ini, mengukir senyum di wajah-wajah yang kaucintai, menghilangkan penat dan letih setelah seharian belajar dan bekerja. Love you forever Nafa. Barakallahu fiik.
No comments:
Post a Comment