Saturday, January 7, 2017

Ranking Satu


https://Fatihnovia.blogspot.com






Bismillah

"Anak ibu ranking berapa?" Pertanyaan yang selalu dilontarkan hampir oleh setiap orang tua saat pembagian raport tiba.  Adakah yang salah?
Mungkin sebagian kita mengganggap hal itu wajar-wajar saja. Apa salahnya bila orang tua berharap anaknya menempati peringkat tinggi di kelasnya, mengalahkan teman-temannya? Bukankah itu sesuatu yang sangat membanggakan?

Masalahnya, kita sering menganggap bahwa anak yang berprestasi adalah mereka yang menempati 5 atau 10 besar. Selain itu, dianggap anak yang, maaf, bodoh. Padahal nilai akademik, apalagi ranking, tidak bisa menjadi jaminan atau tolok ukur kepandaian atau kebodohan seorang anak. Karena setiap anak memiliki kecerdasan dan kelebihan serta kemampuan yang berbeda-beda.

Celakanya, banyak orang tua yang sangat berambisi untuk menjadikan anaknya menempati peringkat pertama dengan cara menyuruhnya ikut les tambahan yang mungkin tidak disukai anak, atau waktu belajar yang sangat ketat baik di rumah atau pun di sekolah. Akibatnya, banyak anak yang merasa stress karena ambisi orang tua ini.

Seperti cerita seorang ibu ini. Beliau memiliki 6 orang anak. Ketika anak pertamanya mulai bersekolah di SD, beliau sangat disiplin dalam mengatur waktu belajar putri pertamanya ini. Sebut saja namanya Putri. Setiap pulang sekolah, setelah ganti baju dan makan siang, tugas Putri adalah mengerjakan PR yang diberikan guru pada hari itu. Setelah selesai, Putri harus tidur siang. Sore hari, Putri belajar mengaji di TPA hingga menjelang Maghrib. Malam hari, adalah tugas Putri untuk belajar pelajaran esok hari dengan didampingi mamanya. Aktivitas ini berlangsung sejak Putri kelas satu hingga kelas tiga.

Menjelang kelas empat, Putri mulai bosan. "Ma, aku capai. Aku nggak mau sekolah," keluh Putri. Sudah dibujuk dengan berbagai cara, ternyata tetap saja Putri mogok sekolah. Akhirnya sang mama mengalah dan membiarkan Putri tidak sekolah. Sebagai gantinya, Putri diajak refreshing ke berbagai tempat wisata dan juga pusat perbelanjaan. Ini berlangsung selama hampir enam bulan. Kedisiplinan dan jadwal yang sangat ketat selam ini, ternyata harus dibayar mahal. 

Mengapa hal itu bisa terjadi? 
Kalau kita mengingat kembali prinsip parenting yang diajarkan agama Islam, 7 tahun pertama kehidupan anak harus diisi dengan banyak bermain. Belajar pun harus dengan cara menyenangkan, tidak seperti orang dewasa yang tahan duduk berjam-jam. Bila ini kita abaikan, dampaknya akan sangat tidak menyenangkan. Ketika kecil, anak kita mungkin rajin sekali belajar, atas instruksi orang tuanya. Prestasinya juga mungkin sangat membanggakan dan memuaskan orang tua. Namun, begitu tiba saatnya dia harus benar-benar belajar sendiri, rasa bosan mulai menyergap. Sekolah dan belajar menjadi sesuatu yang sangat ditakuti dan dihindari. Na'udzubillahi min dzalik. Oleh karena itu, mari kita bimbing anak kita sesuai fitrahnya dan sesuai tuntunan ajaran Islam, agar kita tidak salah langkah. Jangan jadikan anak kita sebagai pelampiasan ambisi orang tua yang tertunda.