Monday, May 9, 2016

Jihad Ibu (1)

Bismillaah

Praaang!
Botol cantik berwarna ungu mirip itu jatuh berkeping-keping. Berantakan. Airnya pun tumpah ruah di lantai. Bu   Kiki yang sedang menjelaskan soal kepada Rio langsung bertindak cepat.

"Ayo teman-teman kita bereskan beling yang berserakan ini. Hati-hati, ya! Hadi, tolong ambil tong sampah untuk tempat beling. Rina, tolong ambil kain pel, ya," instruksi Bu Kiki kepada murid-muridnya.

"Siap, Bu!" seru Hadi.
"Baik, Bu," kata Rina.

"Alhamdulillah, selesai sudah. Tolong dikembalikan barang-barangnya, ya," kembali Bu Kiki memberikan instruksi kepada para siswa setelah selesai membereskan pecahan kaca dan mengepel lantai. Beliau pun berjalan menuju mejanya ingin sekadar merenggangkan perutnya yang terasa kencang. Saat itulah, "Astaghfirullah! Aduh! Perutku," kata Bu Kiki sambil memegangi perutnya yang sedang mengandung anak pertamanya. Wajahnya terlihat pucat-pasi dan badannya gemetar.

"Kenapa Bu?" tanya Bu Ani yang berjalan tergesa dari ruang sebelah. Ruang kelas mereka berada dalam satu ruangan yang hanya dipisahkan oleh lemari dan rak buku. Tak heran bila mereka bisa saling mendengar suara dari kelas tetangganya.

"Saya terpeleset, Bu," jawab Bu Kiki masih gemetar.
"Jatuh?" tanya Bu Ani dengan cemas. Siapa yang tak cemas mendengar ibu yang sedang hamil terpeleset. Sangat berbahaya, bukan?

"Alhamdulillah, tidak, Bu. Saya tadi bisa berpegangan meja ini. Cuma perut saya jadi kaku begini, ya?"

"Oo, mungkin karena kaget, Bu. Minum dulu, Bu, biar agak tenang," saran Bu Ani.

"Ya Bu, terima kasih," sahut Bu Kiki sambil meraih botol minumnya.

"Duuh, gara-gara botol minum pecah tadi, ya Bu, Ibu hampir celaka," ujar Bu Ani.
"Iya. Punya siapa, ya, botol itu?" tanya Bu Kiki.
"Mungkin punya Bu Sofi. Beliau kan, paling suka ungu, ya?" tabak Bu Ani dengan yakinnya.
"Mungkin," jawab Bu Kiki.

----------------

Sepulang dari sekolah, Bu Kiki merasa badannya semakin tak menentu. Flu yang sudah menyerang dari kemarin semakin menjadi-jadi. Perutnya pun masih terasa kencang, meskipun tak sekencang tadi saat terpeleset. Rencana memasak untuk suami tercinta ternyata belum bisa dilaksanakan. Karena badan yang tak bisa diajak kompromi, dirinya hanya bisa berbaring di ranjang.

Keesokan harinya, Bu Kiki tak kuasa bangun dan berangkat mengajar. Dirinya hanya tergolek di kasur memandangi sang suami yang bersiap-siap.

"Sudah, Dik Kiki hari ini istirahat saja, ya. Mudah-mudahan setelah istirahat cukup, besok bisa mengajar lagi," kata Pak Rudi, suami Bu Kiki.

"Tapi aku kepikiran anak-anak, Mas. Nanti mereka belajarnya bagaimana?"
"Tenang sajalah, di sekolah banyak guru yang bisa menggantikan. Pasti anak-anak tidak akan terlantar. Yang penting kamu sehat dulu. Kasihan anak kita yang di dalam perut, kalau kamu capek. Dia pasti tidak nyaman juga," bujuk Pak Rudi panjang lebar.

"Iya, deh. Tapi, nanti tolong jelaskan apa yang harus diajarkan hari ini pada Bu Ani, ya. Jangan lupa, lho!" pinta Bu Kiki setengah mengancam.

"Iya, iya. Nanti aku sampaikan. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lupa sarapan dan minum susu, biar kamu dan bayi kita sehat," pesan Pak Rudi sambil mengecup kening istrinya.

"Ok!" sambut Bu Kiki dengan senyum paling manisnya.

Jadilah hari itu Bu Kiki istirahat total di rumah. Meski demikian, dia tak lupa dengan tugasnya sebagai guru. Profesi yang sangat dicintainya. Materi pelajaran untuk para siswanya pun telah disiapkan selama ia tidak bisa mengajar. Benar-benar guru yang bertanggung jawab.

No comments: