Thursday, May 5, 2016

Istana Surga

Bismillaah

Ta'lim rutin hari ini agak berbeda seperti biasanya. Temanku, sebut saja Bu Syifa, merasa tersindir dengan materi yang baru saja disampaikan oleh guru kami. Bu Syifa ini seorang yang ekstrovert. Makanya, ketika ada sesuatu yang mengganjal hatinya, langsung diungkapkannya. Begitu pula hari ini.

Setelah materi selesai, dan diberi kesempatan bicara, maka beliau pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Berkaitan dengan ketidakaktifannya dalam organisasi yang memayungi jamaah ini, beliau utarakan beberapa penyebabnya. Salah satunya, karena beliau merasa tidak memiliki kompeten apa pun. Kalau bahasa anak muda sekarang: "Aku mah, apa atuh." Merasa diri rendah tak berharga di mata orang lain, serasa diri tak berguna, dan seperti orang yang paling hina sedunia. Na'udzubillaah min dzalik.

Ternyata teman sekaligus saudaraku seiman dan seislam ini sensitif sekali. Padahal, dia ekstrovert, ya. Mengapa dia sampai kehilangan harga diri begitu?

"Waktu saya mau ikut membantu di rumah baca yang dimiliki kecamatan, salah seorang pengurusnya bertanya ke saya," kata Bu Syifa memulai ceritanya. "Memangnya, basic Bu Syifa apa? Yang dibutuhkan rumah baca ini adalah mereka yang sudah bergelar S-1," kata pengurus itu," lanjut Bu Syifa.

"Lalu, ibu jawab apa? Bukankah ibu juga sudah S-1?" tanyaku menyela ceritanya.
"Saya cuma ber-oo, dan saya langsung pamit pulang. Padahal saya datang ke rumah baca itu atas rekomendasi seorang ustadzah yang sudah kenal baik dengan pengurus tersebut. Saat itu saya merasa, ternyata saya ini tidak berguna dan tidak ada nilainya sama sekali," ujar Bu Syifa sedikit emosi.

Sejak itu Bu Syifa memutuskan untuk tidak terlalu aktif berorganisasi. Dia merasa nggak pe-de, dan ... sakit hati, tentunya. Dan, sampai saat ini, setelah sekian tahun berlalu, ternyata luka itu belum kering.

Malam, bada magrib, aku sempatkan baca buku Salim A. Fillah yang selalu tertunda untuk dituntaskan. Seperti cerita bersambung, ternyata bab yang kubaca, masih ada hubungannya dengan curhatan Bu Syifa di acara ta'lim tadi. Tentang sakit hati.

Pada bab Atap Penaung Islam dalam buku Lapis-lapis Keberkahan, dikisahkan tentang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang tersenyum karena diperlihatkan kepada beliau suatu adegan. Adegan tentang dua orang yang bersengketa di hadapan Allah. Sang penggugat memohon keadilan kepada Allah karena sewaktu di dunia telah dizholimi oleh saudaranya, sang tergugat.

Ketika itulah Allah perlihatkan sebuah istana yang sangat indah. Kemudian Allah berfirman, "Istana ini akan menjadi milik siapa pun yang mampu membayar harganya."

"Berapakah harganya, ya Rabbi? Dengan apakah orang yang menginginkan akan menebusnya?" tanya si penggugat dengan menggebu.

Allah berfirman, "Adalah dirimu mampu membayar harganya. Jika kau memaafkan saudaramu itu, niscaya istana ini akan menjadi milikmu."

Masyaallah. Ternyata hanya dengan memaafkan kesalahan saudara kita, Allah telah menyediakan sebuah istana di surga yang sangat indah. Siapakah gerangan yang tak Sudi memilikinya? Namun, banyak di antara kita yang lebih memilih menyimpan dendam dan sakit hati, karena ketidaktahuannya. Termasuk si penulis ini. Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah.

وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ اِخْوَانًا عَلٰى  سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ

Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.
[QS. Al-Hijr: Ayat 47]

Sa'id bin Jubair menuturkan dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, "Seorang mukmin baru akan masuk surga setelah Allah lenyapkan segala rasa tak nyaman, terluka, sesak, sempit, dengki, dan dendam kepada saudaranya."

Ya Rabbi,
Surgamu sungguh kuharap
Namun rasa-rasa itu masih bersemayam di hati yang dhoif ini
Ampuni hamba ya Rabb
Bersihkanlah hati ini
Izinkanlah aku menjadi penghuni surga-Mu
Agar bisa kupandang kemuliaan dan keperkasaan-Mu
Agar bisa tersampaikan rinduku pada Rasul tercinta
Betapa aku ingin bersamanya di
Jannah-Mu
Allahumma aamiin

No comments: