Thursday, January 28, 2016

Fahmi

Penampilannya sederhana, sesederhana pola pikir dan kepribadiannya. Wajah polos tanpa make-up, kerudung panjang menutup dada dan sikunya, gamis bermotif sederhana, adalah penampilan sehari-harinya. "Bu guru banget!", begitu komentar teman-temannya. Bu Siti, itulah namanya. Nama yang sederhana, serasi sekali dengan penampilannya.

Bu Siti adalah seorang guru SD, mengajar dan menjadi wali kelas 6. Dia sangat mencintai profesinya dan berdedikasi tinggi. Pada awalnya, mengajar hanya ia niatkan untuk mengamalkan ilmu yang sudah susah payah ia kumpulkan sampai bangku kuliah. Sayang rasanya kalau tidak ditebarkan kepada orang lain. Tapi kini, ada sesuatu yang hilang, hampa terasa, bila lama tidak mengajar. Baginya, mengajar bukan sekedar transfer ilmu kepada murid-murid, tetapi juga belajar dari mereka tentang berbagai hal.

Bu Siti merasa beruntung sekali bisa menjadi guru anak-anak SD, meskipun cita-citanya waktu remaja adalah ingin menjadi dosen. Ternyata menjadi guru SD itu asyik dan exciting. Setiap hari ada saja tingkah anak-anak yang bisa membuat tertawa, sedih, dan jengkel. Namun tak jarang, mereka membuat hatinya penuh dengan rasa bangga dan terharu. Apalagi bila melihat anak yang sering dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, bahkan guru-gurunya.

Seperti siang itu. Kali ini Bu Siti mengajar tentang puisi. Setelah diskusi panjang lebar kali tinggi, Bu Siti meminta murid-muridnya untuk menulis puisi bebas. "Bu, boleh tidak, saya menulis puisi tentang sahabat?" tanya seorang Aditya. "Boleh, nak. Silahkan", jawab Bu Siti. " Kalau tentang rumah, bu", tanya Arif, tak mau kalah dengan temannya. Dan masih banyak pertanyaan lainnya, dari yang lucu sampai yang nyeleneh, semua dijawab dengan sabar oleh Bu Siti.

Setelah tiga puluh menit, tiba saatnya untuk membacakan puisi masing-masing di depan kelas. Darma berpuisi tentang sahabat, Rama tentang lingkungan, Bayu tentang rumahnya yang sering bocor bila hujan turun. Duuh kasihan sekali, kamu, nak. Bisik Bu Siti dalam hatinya. Sepertinya ini puisi yang paling menyedihkan. Ternyata bukan. Puisi yang paling menyedihkan ternyata milik Fahmi. Hampir semua temannya menangis ketika Fahmi membacakan puisinya. Bu Siti pun tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Siang itu kelas 6 banjir air mata, sedangkan di luar, hujan turun tak kalah deras. Seakan ikut berduka dengan anak-anak dan bu gurunya itu.

Mengapa puisi Fahmi begitu mengharu biru? Karena dia menulis dengan mencurahkan segenap perasaannya. Dia ungkapkan kerinduannya pada ibu kandungnya yang berada di Kalimantan. Mereka terpaksa berpisah karena ayahnya menikah lagi dengan perempuan yang sekarang menjadi ibu tirinya. "Ibu...aku merindukanmu
Kapankah kan kaubawa aku bersamamu?
Kuingin memelukmu
Kuingin selalu dekat denganmu ibu
Jemput aku, ibu..."

Ya Allah, anak sekecil itu harus menderita karena perceraian orang tuanya. Orang dewasa, entah apa yang mereka pikirkan sehingga tega membuat buah hatinya menderita.
Tabahkan hatimu, nak. Insyaallah ibumu akan datang menjemputmu. Doa Bu Siti dalam batinnya yang ikut tersayat.

1 comment:

Unknown said...

Terinspirasi dari kisah nyata mb?