Sunday, January 28, 2024

Terhempas


Bismillah


Tadi pagi, ada pertemuan kedua GML (Guru Motivator Literasi). Hari ini adalah "Training of Coach". Dengan penuh semangat, saya bergabung di ruang Zoom beberapa menit sebelum waktunya. Acara dimulai pukul 08.30, tertulis di undangan. Semangat banget, ya. Iya. Dan, ternyata, di Zoom sudah banyak peserta yang hadir dan sedang mengobrol dengan riang gembira. Wajar sih, kami begitu senang dan bersemangat. Bayangkan, dari 7.000 pendaftar, yang lolos 1.209. Dan, kami termasuk yang lolos. Rasanya, luar biasa bangga. Astaghfirullah, padahal tidak boleh, ya, berbangga diri. Jatuhnya jadi ujub, ya.



Kali ini ada dua materi. Yang pertama disampaikan oleh Kak Aswan, yang kedua oleh Kak Digna, seharusnya. Tetapi karena Kak Digna terkendala sinyal dan tidak bisa bergabung lagi di ruang Zoom, akhirnya digantikan oleh Kak Fachrul, sang pemimpin sekaligus founder Forum Indonesia Menulis (FIM) yang menyelenggarakan Guru Motivator Literasi ini. 



Kak Aswan memaparkan tentang format penulisan yang harus dibuat. Pertama, Wisata Literasi Siswa (WLS). Tulisannya bisa berupa cerpen, puisi, atau pantun yang ditulis menggunakan kertas ukuran A5 dan cukup satu halaman saja. Temanya adalah Ungkapan Cinta untuk Sang Guru. Semua peserta sangat antusias mengikuti materi ini. Bahkan, sampai tidak sabar untuk bertanya, sehingga ruang Zoom menjadi riuh seperti suara lebah. Pusing, mendengarnya.



Yang kedua adalah Wisata Literasi Guru (WLG), dan yang ketiga Wisata Literasi Kepala Sekolah (WLK). Jenis tulisan untuk keduanya ini sama, yaitu esai berupa gagasan atau pengalaman. Hanya temanya saja yang berbeda. Kalau guru bertema Mendidik dengan Cinta, sedangkan kepala sekolah Memimpin dengan Cinta. Tulisannya diketik pada kertas ukuran A4 dengan panjang boleh 3-4 yg halaman. 



Sambil mendengarkan, saya sambil merenung, bagaimana caranya nanti bicara dengan siswa, rekan-rekan guru, dan kepala sekolah. Siapa saja yang akan saya ajak dalam proyek ini. Kalau siswa, sudah pasti, anak kelas 6. Kalau guru? Oh, mungkin rekan-rekan guru yang selama ini cukup dekat dengan saya, ditambah lagi dengan mereka yang suka menulis, walaupun tidak terlalu dekat. 



Terbayang dalam benak saya, antologi siswa nanti pastinya sangat seru. Saya juga membayangkan, bagaimana reaksi anak-anak. Sebagian besar mereka tidak suka menulis. Tetapi saya akan berusaha membujuk mereka. Apalagi, saya berharap, buku antologi ini nantinya bisa menjadi suvenir saat kelulusan mereka. MaasyaaAllah. 😍 Terbayang deh, suvenir kali ini, spesial dan eksklusif.


Tibalah pada pemateri kedua, Kak Digna. Baru sesi perkenalan, tiba-tiba beliau menghilang. Terpental dari ruang Zoom. Setelah ditunggu beberapa saat ternyata tidak ada tanda-tanda beliau masuk lagi, akhirnya digantikan oleh Kak Fachrul. Beliau memaparkan tentang juknis dan buku panduan yang akan digunakan dalam program diseminasi. Dalam KBBI, diseminasi artinya penyebarluasan ide, gagasan, dan sebagainya. Dalam hal ini, adalah cara-cara bagaimana kami memperkenalkan program literasi ini kepada siswa, rekan guru, dan kepala sekolah, serta mendampingi mereka dalam menulis antologi. 



Nah, di sinilah, kami semua merasa terhempas. Kecewa. Kami yang sudah merasa senang karena lolos seleksi, tiba-tiba dihadapkan dengan realita, bahwa untuk program ini, setiap siswa atau guru yang berpartisipasi dikenakan biaya. Siswa dikenakan biaya Rp85.000,00 per siswa, sedangkan guru dan kepala sekolah Rp100.000,00 per orang. 


Langsung saja, ruang Zoom kembali riuh dengan komentar di kolom chat. Sebagian merasa kecewa. Apalagi saat sosialisasi satu pekan yang lalu, dikatakan bahwa kami hanya perlu membayar dengan 
Komitmen
Semangat
Tuntas.



Ternyata, oh ternyata. Berbagai komentar langsung memenuhi kolom chat. Ada yang mengatakan, ini bisnis. Disuruh menulis saja susah, apalagi jika harus membayar. Hanya sekolah sultan, yang bisa seperti itu. Dan, beraneka komentar lainnya. Saya pun, terdiam. Memang dari tadi saya juga diam, hanya menyimak. Sekarang, diamnya saya itu, bingung. Kok, jadi begini, ya? 



Kalau di sekolah saya, wah, susah juga. Harus izin kepala sekolah, yayasan, orang tua, juga. Ribet, kayaknya. Dan, sepertinya saya tidak akan melanjutkan program ini. Salah, nggak, sih🤔





No comments: