Friday, May 20, 2022

Review "The Architecture of Love"


Judul buku: The Architecture of Love
                      (English)
Penulis: Ika Natassa
Translator: Rain Chudori
Penerbit: Gramedia
Cetakan: 2021
ISBN: 9786020651781
Tebal buku: 272 halaman


Bismillah


Saat kita sedang banyak masalah, atau jenuh dalam menjalani rutinitas, kehilangan semangat dalam melakukan pekerjaan, maka kita butuh refreshing. Penyegaran, suasana baru, kegiatan yang menyenangkan, agar kita bisa kembali fit dan bersemangat lagi.


Itulah yang dilakukan Raia Risjad, tokoh utama novel ini. Dia seorang penulis yang sedang mengalami writer's block. Sejak perpisahan dengan suaminya, dia tidak bisa menulis, meski hanya satu kalimat. Padahal, novel terbarunya terjual best seller dan diangkat menjadi sebuah film yang juga laris manis.


Untuk kembali menemukan ide menulis, Raia pergi berlibur ke New York dan tinggal di apartemen sahabatnya, Erin. Sudah berhari-hari ia menjelajahi kota New York, namun tak satu pun kalimat yang berhasil ia tulis. Sebagai sahabat, Erin tidak tinggal diam. Dia pun berusaha menyemangati dan memberikan ide-ide kegiatan agar Raia bisa terinspirasi.


Salah satunya, mengajak Raia ke pesta tahun baru di apartemen temannya, Aga. Raia yang tidak suka pesta, terpaksa ikut juga. Menjelang pergantian tahun, Raia berusaha menghindari pesta dengan pergi ke toilet. Selain itu, dia juga ingin menghindari ritual saling cium saat tahun baru datang. (Astaghfirullah, ada ya, acara begituan. Na'udzubillahi min dzalik.)


Begitu puncak acara lewat, Raia pun keluar kamar mandi dan berniat untuk bergabung lagi dengan teman-temannya. Namun, sepatu high heels-nya menyebabkan kakinya cedera. Ia pun berusaha mencari tempat duduk untuk beristirahat dan memijit kakinya. Kebetulan di dekat kamar mandi ada ruangan. Ia duduk di sana, di ruangan yang gelap.


Ternyata di sana ada seseorang yang sedang duduk menghadap meja kerja. Raia tidak tahu siapa orang tersebut dan tidak bisa melihat juga karena tidak ada lampu penerangan. Lelaki itu sempat mengkhawatirkan keadaan Raia dan menawarkan apakah Raia butuh sesuatu. 



Tak lama kemudian, datang Aga yang telah mencari-carinya. Dari Aga, Raia tahu bahwa lelaki yang sedang menggambar itu adalah kakaknya. Tapi Aga tidak menyebutkan siapa namanya.


Keesokan harinya, saat Raia jalan-jalan, niatnya ingin mencari inspirasi menulis, ia bertemu dengan kakak Aga. Yang, belum dia ketahui siapa namanya. Itulah awal kebersamaan mereka selama di New York. Setiap hari mereka pergi bersama. Kakak Aga menggambar gedung-gedung yang mereka kunjungi, sedangkan Raia berusaha mencari ide. Sayangnya, ide itu sulit muncul. 


Biasanya, seorang penulis kesulitan menulis kalimat pembuka. Dan, biasanya juga, setelah menemukan satu kalimat pembuka, kalimat berikutnya akan dengan mudah mengalir dan muncul di kepala. Maka, ketika Raia menemukan kalimat pembuka tersebut, ia sangat gembira sehingga rasanya ingin loncat saja. 


"People say that Paris is the city of love, but for me, New York deserves the little more. It's impossible not to fall in love with the city as it's almost impossible not to fall in love in the city." (hal. 34)


Namun, setelah dua kalimat itu, Raia masih belum ada ide menulis berikutnya. Bila ia pergi bersama River, kakak Aga, ia hanya pura-pura sibuk. Kadang-kadang malah hanya menonton film Tom and Jerry. Sedangkan River selalu menyelesaikan gambarnya dengan sempurna. Hingga saat River memergokinya menonton film. 


River lah yang memberikan semangat kepada Raia untuk bisa menulis lagi. Hingga terkumpullah beberapa cerpen yang siap untuk dibukukan. Berkat River, ia bisa menulis lagi. Oleh karenanya, ia tuliskan rasa terima kasihnya di buku terbarunya.


"For River Jusuf, who taught me how to see New York from another light."


Ternyata kalimat itu sangat bermakna tidak hanya buat Raia, tetapi juga buat River. Dia menjadi yakin dengan perasaan Raia kepadanya. 




No comments: