Thursday, July 31, 2025

Memupuk Kecintaan Anak pada Allah sejak Kecil


Topik ini menjadi pembahasan yang bagi saya pribadi, refleksinya sangat dalam. Saya seorang ibu dari dua orang putra yang lahir dari rahim saya. Pertama akan masuk usia 7 tahun dan kedua usia 4 tahun. Selain itu, saya memiliki adik bungsu kandung yang rentang usianya selisih 18 tahun dengan saya, sehingga saya mendapat bagian untuk mendidik adik bungsu saya atau bisa diibaratkan menjadi Ibu lebih awal melalui trial.


Dalam proses pengasuhan, ternyata ada rasa yang berbeda ketika mengasuh anak-anak kecil dan mendidik calon pemuda. Ketika kita berhasil memegang seorang anak di 7 tahun pertamanya, maka akan jauh lebih mudah melekatkan antara jiwa ke jiwa, hati ke hati, dan mendidiknya ke depan, di usia selanjutnya. Usia 7 tahun pertama adalah penentu. Apabila kita mengenal _golden age_ pada usia 5 tahun, ternyata dalam Islam sebenarnya seluruh rentang usia manusia merupakan _golden age_. Bedanya adalah _golden age_ untuk setiap kondisi-kondisi tertentu. 

Misalnya untuk keimanan golden age 7 tahun pertama, untuk bahasa golden age 7 tahun pertama. Kemudian 7 tahun berikutnya ada lagi, ada lagi, dan seterusnya.


Sebagai orang tua, ternyata keilmuan-keilmuan tentang menjadi orang tua terhadap anak usia dini ataupun orang tua terhadap anak calon pemuda itu memiliki dinamikanya masing-masing. Hari ini kita akan membahas tentang memupuk kecintaan anak pada Allah dari usia kecil.


Saya merasakan betul tantangannya yang lebih besar dalam menanamkan keimanan,  apabila 7 tahun pertamanya tidak dipegang dengan baik. Sebab, 7 tahun pertama adalah usia emas tentang keimanan.


Islam memiliki timeline dalam mendidik dan mengasuh anak yaitu mulai 15 tahun awal, di mana anak lahir 0 tahun sampai dengan batasnya dia aqil baligh. Aqil baligh memiliki dua frasa yang digabungkan aqiil artinya dewasa secara mental, dewasa secara akal berfikir, dan sanggup untuk memikul beban. Kemudian baligh, yaitu dewasa atau matang secara biologis. 

Sehingga makna aqil baligh adalah dewasa keseluruhan, baik secara mental maupun dewasa secara biologis, yang tentunya sudah matang.


Tanda anak sudah masuk usia baligh atau dewasa secara biologis adalah, apabila perempuan dengan haidh, sedangkan laki-laki ditandai dengan mimpi basah.


Kedua frasa aqiil dan baligh harus sepaket, sebab tantangan hari ini, banyak orang yang kondisi biologisnya sudah matang yang apabila tidak dibarengi dengan kematangan berpikir, maka akan dengan mudah senang terhadap hal-hal yang menggairahkan dan mudah juga untuk disalurkan karena ia tidak memikirkan konsekuensi. Oleh sebab itu, aqil dan baligh harus selalu disatukan.


Pendidikan yang selaras fitrah ini merupakan konsep pendidikan yang selaras dengan Islam yang mengantarkan anak menjadi pemuda atau syabab.  Dalam Islam, identik dengan karya, kontribusi, dan dedikasi sehingga  diharapkan tidak banyak rentang peralihan dan supaya menjadi sosok yang berkarya, berdedikasi, juga berkontribusi.



Kenapa timelinenya adalah 15 tahun? Karena ini nanti akan dipakai untuk mempelajari bagaimana menumbuhkan rasa kecintaan anak pada Allah di rentang masa anak  0-15 tahun. Dalam prosesnya dibagi-bagi lagi menjadi: 0-2 tahun, 2-7 tahun, 7-10 tahun, 10 sampai 15 tahun. 


Jadi, yang dilakukan di setiap rentang usia adalah berbeda-beda: 
Pada usia 0-2 tahun, sebagaimana landasan ayat Qurannya susuilah anakmu dimaksimalkan sampai 2 tahun, maka usia 0 - 2 tahun ini dijadikan acuan untuk melakukan sesuatu berhubungan dengan keimanan, memupuk keimanan anak untuk cinta kepada Allah.


Lalu usia 2-7 tahun ini adalah pra-tamyiz atau sebelum tamyiz. Masuk usia 7 tahun adalah fase tamyiz. Pada fase tamyiz ini, anak dianggap sudah bisa mulai diisi, mulai berpikir logis, bernalar, dan sudah bisa berpikir runut untuk siap belajar. 


Setelah tamyiz, anak akan masuk fase mumayyiz yaitu orang yang bisa membedakan harapannya, minimal membedakan baik - buruk, benar - salah dalam level-level sederhana. Itu tanda bahwa anak kita sudah masuk mumayyiz yang sudah bisa membedakan hal-hal sederhana.


Kemudian usia 7 - 10 tahun.  Ini ada proses lagi dan usia 10-15 tahun ada proses lagi. Timeline ini Insya  Allah sudah ada landasannya yang dirumuskan oleh almarhum Ustad Hari Santoso Hasan dalam literatur pendidikan berbasis fitrah. Jadi, Insya Allah ini memudahkan untuk cepat dipahami bagi kita dalam proses mendidik anak. 


Apabila pendidikan anak kita belum terpenuhi pada usia tersebut, maka kita bisa evaluasi pembelajaran di hari ini, apa yang sudah dan apa yang belum diberikan kepada anak, padahal itu adalah hak mereka sebagai bentuk pendidikan keimanan.


Terdapat satu quotes yang mengikat pembelajaran kita hari ini yaitu ”cinta dapat melahirkan rasa takut, tapi takut tidak dapat melahirkan rasa cinta”.  


Contoh saja, kecintaan kita dengan pasangan kita yang membuat kita takut mencederai hatinya, takut mencederai kepercayaannya. 


Jadi, rasa takut itu bisa lahir dari perasaan cinta. Namun, jika sudah takut lebih dulu, maka belum tentu akan lahir rasa cinta.


Perkara cinta kepada Allah menjadi yang paling awal. Ketika bicara memupuk kecintaan Allah sejak kecil, maka fokusnya memang betul memupuk cinta. Karena nantinya, cinta itulah yang ada pada diri anak kepada Allah,  yang akan melahirkan rasa takut untuk berkhianat pada amanah kehidupan yang Allah berikan pada dirinya, rasa takut untuk mencederai perintah Allah, rasa takut untuk kepeleset berbuat maksiat. Itu semuai rasa takut yang lahir dari rasa cinta.


Dan biasanya, takut yang lahir dari rasa cinta akan membuatnya lebih menjaga sikap, lebih menjaga akhlak, dan lebih menjaga adab.


Namun, apabila kita menakut-nakuti sedari kecil untuk takut dengan zat Allah, biasanya orang tua menggunakan Allah untuk mewakili kemarahan dirinya. Misalnya,  _”jangan rebutan ya, nanti Allah marah”_. Orang tua menggambarkan Allah sebagai zat pemarah, zat yang penghukum sehingga anak akan takut.


Anak yang tumbuh dengan imaji bahwa Allah adalah zat yang menakutkan sehingga lahir rasa takut dalam dirinya itu, sulit untuk menumbuhkan rasa cinta dalam dirinya pada Allah. Sedangkan motor dari penghambaan itu harus komplit: ada cinta, ada takut. Nah, ini salah kaprahnya. Biasanya anak harus takut sama Allah jadi ditakut-takutin dan memang menakut-nakuti anak itu lebih efektif membuat dia mengikuti keinginan orang tua.


Itulah makna cinta dapat melahirkan rasa takut, tapi takut tidak dapat melahirkan rasa cinta dan itu kata kunci kita terkait menumbuhkan kecintaan anak pada Allah sedari kecil.


Pada Quran surat Ibrahim ayat 24-26 ini menjadi ayat yang membuat, kalau di saya sih, efeknya menjadi menjadi sabar. Lebih sabar ketika mengasuh dan mendidik 15 tahun itu berlaku untuk setiap anak ya, bukan hanya anak yang pertama lahir. 


_”Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan; kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke langit.  Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia, supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap tegak sedikitpun.”_


Dalam ayat ini, secara sederhana Allah mengumpamakan seorang manusia  dengan pohon. Dan pohon yang digambarkan adalah salah satunya pohon yang baik. Maksudnya yang baik di sini adalah akarnya teguh, cabangnya menjulang ke langit, dan memberikan buah pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. 


Apabila manusia itu diibaratkan pohon, maka pohon yang baik ini adalah manusia yang baik, manusia yang bagus kualitasnya. Manusia yang bagus kualitasnya akarnya teguh, akar ini serupa dengan keimanannya, keimanannya kokoh, cabangnya menjulang ke langit, pohonnya memberikan buah kepada setiap musim. 


Buah itu karya, kontribusi, dan dedikasi pada setiap musim. Artinya dia tidak kenal waktu, setiap ada kesempatan selalu memberikan manfaat dan itulah manusia yang paripurna, memiliki manfaat untuk orang lain.


Pohon yang dimaksud dalam Quran surat Ibrahim ini ayat 24-26 ini adalah pohon yang berbuah setiap musim. Manusia yang baik itu yang berbuah setiap musim. Yang berbuah setiap musim itu adalah pohon-pohon yang rata-rata tumbuhnya lama, butuh jangka waktu panjang, maintenancenya cukup effort. Hanya petani atau perkebun atau hanya yang telaten, hanya yang mau sabar yang akan bisa membantu menumbuhkan pohon dengan jangka waktu yang lama sampai dengan tumbuh buahnya. Apabila sudah tumbuh buah pertama, biasanya dia tidak bisa dihentikan, berikutnya berbuah dan berbuah. 


Artinya adalah kalau kita mau menumbuhkan manusia kecil di rumah kita, anak-anak kita yang insya Allah harapannya kelak jadi manusia terbaik, sebaiknya kita optimalkan semampu kita. Berarti kita bersiap dalam jangka waktu yang panjang dengan effort yang nggak sedikit.


Berbicara tentang memupuk kecintaan pada Allah berarti membicarakan tentang fitrah keimanan, karena yang bisa menumbuhkan rasa cinta kepada Allah itu karena ada fitrah,  khususnya fitrah keimanan. 


Setiap anak lahir dalam keadaan keimanannya yang ia pernah bersaksi bahwa Allah adalah Robnya. Tidak ada anak yang tidak cinta kepada Allah. Semua anak itu pada dasarnya cinta kepada Allah dan cinta kepada kebenaran.


Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda terkait dengan pendidikan fitrah keimanan. Ayah adalah pendidik akidah dan keimanan, dan ibu pendidikan akhlak. Dalam Quran,  terkait aqidah itu diwakili cuplikan kalimat atau dialognya itu oleh tokoh laki-laki. Contohnya Lukmanul Hakim. Dalam Al-Qur'an Allah sampaikan bahwa Lukmanul Hakim berkata kepada anaknya, _”Yaa Bunayya, (wahai anakku) janganlah engkau menyekutukan Allah.” Kalimat tersebut adalah kalimat aqidah yang pendidiknya  disandarkan pada ayah. 


Aqidah adalah hitam-putih, benar-salah, halal-haram, tidak ada tengah-tengah, tidak ada abu-abu. Akidah itu kaku dan harus tegas. Ayah memiliki profil yang tegas dan cenderung lebih kaku daripada ibu.


Sedangkan ibu khasnya adalah cerewet dan kecerawatan ibu hadir secara  natural. Harapannya kecerawatan ini diberikan oleh Allah kepada ibu untuk mendidik akhlak dan akhlak itu butuh pengulangan. 


Misalnya kita sebagai ibu yang mengingatkan anak untuk makan pakai tangan kanan, atau saat menguap harus ditutup. Kadang juga mengingatkan kepada anak untuk bersalaman pada om, tante, kakek atau nenek. Kecerewetan tersebut diaplikasikan untuk mendidik akhlak anak.


Membahas anak usia 0-2 tahun. Rawatlah rasa cinta dan imaji positif anak. Bahwa Rabb Allah adalah Rabb (Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur alam semesta). 


Anak melihat perwakilan Allah itu dari orang tuanya. Jadi sebelum anak kenal Allah, anak kenal kita dulu sebagai orang tuannya. Bayi melihat ibunya terlebih dulu, lalu ayahnya. 


Nah, apabila ibu dan ayahnya baik maka penciptanya pasti baik. Sehingga, ketika ibu dan ayah tidak berperan baik atau banyak galaknya, sebenarnya yang paling dikhawatirkan adalah imaji anak kepada Allah sebagai penciptanya. 


Jadi, pasanglah mimik wajah yang nyaman dan ada suara yang nyaman kepada anak.


Berikutnya tentang anak yang rentang usia 3-7 tahun. Pada usia ini masih mengajarkan sama, yaitu mengenalkan kecintaan pada Allah dan ditambah mulai mengenalkan Nabi Muhammad  ﷺ adalah utusan Allah dan Islam adalah agama atau jalan hidup keselamatan, dengan cara penyampaian yang bisa diterima oleh anak, bukan cara orang dewasa. 


Beri kabar gembira kepada anak sebanyak-banyaknya, beri kabar gembira pahala atau nanti Allah akan memberi kebaikan. 


Berikan cerita kisah-kisah yang imajinya positif terhadap Allah dan Rasulullah ﷺ, dan  hindarkan dulu kisah-kisah terkait neraka, azab, Dajjal, atau kiamat. Walaupun benar, namun dahulukan cinta dulu pada Allah.