Monday, February 1, 2016

Cemas

Pagi ini, seperti biasa, setelah anak-anak pergi sekolah, saya pun berangkat untuk mengajar. Berbeda dengan hari biasanya, pagi ini saya harus menjemput Abdan, anak rekan guru yang sedang pergi umroh atas biaya wali murid. (Kapan giliran saya, ya?) Ini hari kedua saya menjemputnya. Ketika sedang menyiapkan motor, sebenarnya ada nada panggilan dari hp saya. Karena sedang terburu-buru, maka saya abaikan saja.

Sampai di depan gang rumah Abdan, ternyata ada tenda yang menutupi jalan. Kata seorang ibu yang ada di pinggir jalan, ada orang meninggal dunia. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Terpaksa saya harus memutar, mencari jalan lain. Dan ... saya salah jalan lagi, karena jalan yang saya ambil ternyata mau dicor. Di sana  sudah ditutup batu gamping putih. Dengan susah payah saya coba lewati dengan pelan-pelan. Tidak terlalu sulit, ternyata. Masih lebih sulit menulis di One Day One Post, apalagi dengan tantangan Februari Membara. Tantangan jalan ini tampak lebih mudah. Akhirnya sampai juga di rumah Abdan.

Lho, kok sepi? Biasanya mereka sudah stand by di depan rumah menunggu saya, tapi ini lengang sekali. Setelah saya klakson, ibu Abdan keluar dan berkata, "Saya telpon Umi gak diangkat, lalu saya sms. "Memang kenapa?" kata saya sambil agak merasa menyesal mengapa tadi hp yang berdering saya abaikan saja. Seandainya .... Ah, sudahlah.
"Saya gak berangkat Mi, si kembar sedang sakit. Abdan gak mau ikut Umi, malu katanya. Jadi bonceng Aruna saja. Tadi saya telpon, maksudnya biar Umi gak usah kesini."
Oalaaa...h
"Maaf ya Mi, mana Umi udah jalan muter ya?"
Ya, sudahlah. Nasi sudah jadi bubur, tapi masih bisa dimakan, kan? (hehe...menghibur diri)

Siang hari setelah anak-anak selesai sholat dan pulang, saya juga pulang. Seharusnya hari ini saya pulang sore untuk memberi les tambahan. Tapi karena rencana mau mengantar si sulung kembali ke pesantren, jadi saya izin pulang cepat.

Sampai rumah, ternyata gadis kecilku yang mulai berangkat dewasa sedang menyeterika baju dan belum bersiap-siap. Katanya dia mau balik ke pesantren bareng temannya alias nebeng. Janjiannya pukul 14.30. Sekarang sudah pukul 14.00 dan dia belum beres juga.
14.30. Ayahnya malah ceramah dan belum berangkat mengantar putri kami itu. Hatiku mulai resah dan gelisah, khawatir kalau dia ditinggal temannya.
14.45 Akhirnya mereka berangkat dengan air mata masih menetes di mata putri kami yang paling besar itu. Ah, pilunya hatiku melihatnya, tapi lidah ini kelu tak bisa berkata-kata. Tabahkan dan sabarkan putriku, ya Allah.
Lima menit kemudian teman putriku telpon tapi tidak bisa terhubung. Gantian saya yang telpon, berkali-kali, tapi tidak nyambung juga. Hati ini semakin ketar-ketir. Kasihan anakku kalau sampai ketinggalan. Akhirnya ada sms bahwa temannya juga baru berangkat dari rumahnya. Alhamdulillaah.

Setelah hampir 45 menit mantengin hp, alhamdulillah ayahnya sms kalau anak kami sudah berangkat bersama temannya. Akhirnya, berakhir juga kecemasan seorang ibu. Selamat jalan, Nak. Fii amanillaah. Selamat belajar, barakallaah.

2 comments:

Airhein said...

fii amanilaah wa barokah. aamiin. :)

Unknown said...

Masya Allah.. luar biasa perjuangannya.. sampe muter2.hehe..

Iya yaah terkadang naluri ibu cepat cemas, takut anaknya kenapa2..

Saya aja kalau anak jatuh misalnya, huaaaaa kalang kabut.. berusaha menyembunyikan kepanikan. Karena kalau ketahuan panik, anak akan panik juga. Alhasil menangislah..