Friday, May 29, 2020

Cemas


Bismillaah




Dua bulan lebih kita sudah di rumah aja karena lockdown. Segala aktivitas kita lakukan semua di rumah, bersama-sama sekeluarga. Alhamdulillaah, kebersamaan ini semoga semakin mempererat ikatan persaudaraan dalam keluarga kita, semakin menambah ketaatan kita kepada Allah, aamiin.


Alhamdulillaah kalau semua kegiatan bisa berjalan dengan baik. Ada kalanya, kendala datang menguji kesabaran kita. Misalnya sakit. Ya, sakit di masa wabah Corona ini, sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan. Makanya, kita tak pernah bosan untuk selalu berdoa agar Allah senantiasa menjaga kita agar terhindar dari penyakit dan marabahaya lainnya. Kita biasakan untuk membaca Al Ma'tsurat pagi dan petang. Ini sebagai ikhtiar kita, di samping selalu mengonsumsi makanan yang sehat, bergizi, halal, dan thoyib.


Tetapi, bagaimana bila sakit menghampiri kita? Itulah yang kami alami, sakit bergantian. Pertama saya yang terserang sakit kepala. Biasanya, kalau sakit kepala, cukup dengan tidur semalam, esok paginya sudah sembuh. Tetapi, pusing kali ini berlangsung sampai dua hari sehingga saya menjadi was-was. Alhamdulillaah, dengan berdoa, olahraga, dan mengonsumsi habbatussauda, madu, dan minuman herbal, pusing itu akhirnya hilang. Lega sekali rasanya. 



Dua hari berikutnya. "Mi, pusing," kata Mufid dengan lemas. Memang, seharian ini dia hanya tidur. Saat adzan Maghrib berkumandang pun, dia tidak mau beranjak dari tempat tidur. Saat saya pegang dahinya, "Panas, Mas. Pusing banget, ya?" Tanya saya khawatir. Dia hanya menganggukkan kepala. Akhirnya, buka puasa pun tetap di tempat tidur.


Langsung saja saya buatkan minuman yang dicampur madu. Tak lupa, minum habbatussauda dan kapsul herbal penurun panas. Sehari, masih panas juga. Tidur pun tidak nyenyak. Mengeluh pusing. Terpaksa harus dikompres untuk membantu menurunkan demamnya. Keesokannya terpaksa tak berpuasa. Salat pun dilakukan sambil duduk.


Hari kedua, panasnya sudah turun, alhamdulillaah, tapi masih pusing. Selain minum obat herbal, saya pun memijitinya dan mengerok punggungnya dengan minyak kayu putih. Setelah seharian dirawat dengan ramuan herbal dan doa yang terus saya panjatkan di saat sujud, alhamdulillaah, sorenya keadaannya semakin membaik. Alhamdulillaah, terima kasih ya Allah.




Wednesday, May 27, 2020

Perselisihan


Bismillaah



"Ini punyaku!" seru Nisa.
"Punyaku!" teriak Azmi tak kalah kencang. 
Mereka berebut mainan sambil saling pukul dan saling jambak. Saya yang sedang mengurusi adik jadi tergopoh-gopoh mendatangi mereka berdua. Sekuat tenaga saya coba memisahkan dua anak yang sedang berseteru ini. Dua-duanya masih kecil, masih SD. Usia mereka hanya selisih 3 tahun. 



Beberapa saat kemudian, setelah emosi mereka sudah reda dan adiknya pun sudah tidur, saya panggil mereka berdua. Kami duduk di beranda dapur, di atas lantai tanpa alas apa pun. Berusaha santai dan rileks.

Saya usap rambut keduanya dengan lembut sambil bertanya, "Tadi kenapa? Kenapa Mba Nisa dan Mba Azmi berantem?"
"Abis, Mba Nisa-nya ...."
"Apaan, kan kamu duluan!" 
Belum selesai Azmi bicara, sudah dipotong oleh Nisa. Sepertinya emosi keduanya belum benar-benar normal. Masih ada sisa-sisa kemarahan yang belum tersalurkan.



"Sudah, sudah .... Tak baik, dengan saudara kok berantem. Umi sedih, kalau kalian berantem. Mba Nisa dan Mba Azmi itu andalan Umi, yang bisa bantu Umi. Kalau kalian berdua berantem, tidak akur, nanti siapa yang akan bantu Umi?" tutur saya panjang lebar dengan menahan emosi juga. Saya benar-benar sedih dengan kejadian ini. Sebelumnya mereka adalah anak-anak yang manis, akur. Baru kali ini mereka bertengkar seperti ini, sampai main fisik. Ibu mana yang tak sedih?



"Maafin Nisa, ya Mi," ujar Nisa sambil memeluk saya.
"Azmi juga ya, mi," adiknya tak mau ketinggalan.
Kuraih mereka dalam dekapan, sambil kubisikkan kata-kata nasihat agar mereka tak mengulangi perbuatan seperti tadi lagi.



Begitulah mereka. Kakak-adik yang lucu dan menggemaskan. Si adik, Azmi, inginnya meniru semua gaya dan tingkah laku si kakak. Kakaknya pun selalu berusaha tampil sebagai kakak yang baik dengan memberikan instruksi-instruksi layaknya seorang guru kepada muridnya. Klop, sebenarnya. Namun, namanya anak-anak, berselisih pendapat itu biasa. Bertengkar itu biasa, sebagai bumbu pergaulan agar seru. Nanti juga, sebentar kemudian akan baikan lagi, tak ada sakit hati apalagi dendam. 

Alhamdulillaah, kalau anak perempuan lebih mudah dinasihati. Setelah itu, hampir bisa dikatakan tidak pernah terjadi pertengkaran yang berarti. Lain halnya dengan anak laki-laki. Saat ini berdamai, beberapa menit kemudian bisa terjadi insiden lagi. Namun, namanya juga anak-anak, mereka pun akan cepat akur kembali, seperti tidak terjadi apa-apa.



Sebagai orang tua, kadang kita perlu turun tangan membantu menyelesaikan masalah mereka, tapi sering juga, kita hanya mengawasi dari jauh. Kalau mereka sudah bisa menemukan solusi sendiri, itu akan sangat baik dalam menumbuhkan kemandirian. Jangan sedikit-sedikit orang tua yang menangani masalah anak-anak. Nanti bisa menimbulkan ketergantungan sehingga mereka tidak percaya diri saat menghadapi masalah kehidupan.

Monday, May 25, 2020

Opname



Bismillaah


Usianya belum genap enam bulan, saat saya mulai mengajar SMK Abdi Negara. Terus terang, berat bagi saya, mengajar di saat anak belum selesai ASI eksklusifnya. Terpaksa, saya mengajar sambil menggendongnya agar tetap bisa memberikan ASI eksklusif. Waktu itu belum trend ibu menyusui memompa ASI untuk bayinya. Kalau sekarang, sudah biasa dan banyak yang melakukannya sehingga bisa bekerja tanpa harus membawa bayi ikut bekerja.


Sebenarnya saya juga belum ingin mengajar, mengingat anak-anak masih kecil. Tetapi karena sekolah tersebut memerlukan guru bahasa Inggris, dan sekolah sudah berjalan selama dua pekan tetapi belum memiliki guru bahasa Inggris, maka saya pun bersedia mengajar. Oleh suami pun sebenarnya belum diizinkan. Tetapi, tadi, karena kasihan para siswanya tidak belajar bahasa Inggris, akhirnya suami membolehkan.


Waktu itu, mengajar masih menggunakan kapur tulis, yang debunya cukup mengganggu pernapasan. Mungkin karena ini pula, bayi saya, akhirnya sakit dan harus di-opname. Waktu itu, usianya belum genap setahun. Sedih rasanya, melihat ia harus diinfus. Setiap mendengar langkah sepatu, dia langsung menangis. Sepertinya dia trauma dengan suster yang telah menyuntikkan jarum infus ke tangannya.
Hari-hari di rumah sakit terasa menyesakkan dada apalagi bila melihatnya menangis ketakutan. Rasa bersalah itu semakin membukit dan menggunung. Rasa bersalah  karena gara-gara mengajar, saya harus mengorbankan anak. Sempat terjadi perang batin antara anak dan siswa. Apakah harus berhenti mengajar atau lanjut? Hal ini seperti makan buah simalakama. Membingungkan.

Permohonan resign pun saya ajukan kepada kepala sekolah, meski baru secara lisan. Dengan alasan belum ada guru pengganti, pengajuan saya ditolak. Terpaksa, saya harus berusaha bersikap profesional meski perang batin terus berkecamuk di dalam dada. Saya harus bersabar sampai guru pengganti datang.


Alhamdulillaah, kurang lebih enam bulan kemudian, datanglah guru baru bahasa Inggris. Tanpa basa-basi lagi, langsung saya hibahkan semua buku bahasa Inggris yang saya miliki, sekaligus berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih. Karena kehadirannya, saya bisa resign, alhamdulillaah.

Pada awal-awal saya resign, kepala sekolah berusaha membujuk saya agar mau mengajar lagi. Tidak mempan membujuk saya lewat telepon, beliau langsung datang ke rumah. Kata beliau, "Mengajar itu ibadah, lho Bu. Pahalanya banyak."
"Mengurus anak lebih banyak lagi pahalanya pak, jawabku sambil tersenyum. Alhamdulillaah," saya tidak tergoda oleh bujukannya.

Ya, kadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Kita tidak boleh serakah untuk mendapatkan semuanya. Harus ada yang diprioritaskan. Dalam hal ini, saya memilih untuk memprioritaskan anak karena dulu niat saya mengajar memang sebatas ingin membantu selama belum ada gurunya. Sekarang sudah ada gurunya, jadi saya bisa lebih fokus untuk mengurus anak sendiri.

Namun, ternyata hal ini tidak berlangsung lama. Kewajiban terhadap lingkungan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Bersambung ....

Saturday, May 23, 2020

Life Skill

Bismillaah

BDR atau belajar di rumah, ternyata tidak melulu mengerjakan tugas-tugas akademik. Anak-anak pun bisa belajar mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan life skill.

Life skill atau keterampilan hidup, merupakan keahlian yang harus dimiliki seseorang agar bisa survive dan mandiri. Untuk anak-anak, life skill lebih mengarah pada keterampilan hidup sehari-hari, agar ia bisa mandiri. Beberapa contohnya adalah menyapu, mengepel, mencuci, dan memasak.

Ketika dalam pelajaran matematika ada survei tentang life skill apa yang paling digemari, anak keempat kami, Mufid, memilih membantu memasak. Dan itu memang terbukti selama lockdown ini. Bahkan dia berpesan, kalau dia sedang tidur, sedangkan ada pekerjaan mengulek, dia minta dibangunkan. Ya, memang dia spesialis mengulek. Hasil ulekannya halus.

Selain itu, Mufid juga suka memasak nasi goreng. Beberapa variasi pun dia lakukan. Seperti waktu itu, dia memasak nasi goreng dicampur kacang goreng. Enak? Menurutnya sih, enak 😊.

Alhamdulillaah, belajar dari rumah ada sisi positifnya juga, meski tak dapat dipungkiri, sisi negatifnya pun ada. Yang terpenting, kita harus selalu bersyukur dengan apa pun yang telah Allah tetapkan untuk kita. Dan bersabar bila mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Thursday, May 21, 2020

Akhirnya



Bismillaah


Setelah sekian lama gabung di OTM (ODOP Tembus Media), akhirnya tulisan saya tahun ini ada yang tembus media. Rasanya tuh, seperti tersiram embun pagi yang sejuk dan menyegarkan. Bagaimana tidak? Setiap baca chat grup, banyak teman-teman yang tulisannya tembus. Bahkan satu orang bisa beberapa tulisan yang berkesempatan nampang di media. Meskipun banyak juga sih, yang masih menunggu dengan harap-harap cemas seperti saya.


Alhamdulillaah, penantian saya berakhir juga. Beberapa hari yang lalu, tulisan saya dimuat koran Solopos. Ya, memang bukan tulisan yang cetar, seperti artikel atau opini, hanya tulisan sederhana tentang kejadian sehari-hari. Namun, bagi saya itu sudah sangat membanggakan, bisa nampang di koran.



Karena tulisan inilah, akhirnya saya dapat semacam penghargaan dari OTM, berupa poster atau flyer namanya ya? Pokoknya penghargaan lah. Wah, tambah bahagia rasanya hati ini 殺. Terima kasih OTM, terima kasih ODOP. Semoga ODOP dan OTM semakin berjaya dan semakin banyak menebar manfaat dan kebaikan untuk lebih banyak orang. Aamiiin ya rabbal'aalamiin.

Wednesday, May 20, 2020

Tadarus Bersama


Bismillaah 


Nisa mulai bisa membaca Alquran ketika di kelas 3. Saat itu adiknya, Azmi, baru di TK. Karena Nisa sudah bisa membaca Alquran, maka saat Ramadan, saya mengajaknya untuk tadarus bersama. Membaca Alquran secara bergantian.


Sebenarnya, selain memang ingin tadarus bersama, tujuan lainnya adalah untuk tetap membuatnya terbangun sampai waktu berangkat sekolah datang. Maka selesai salat Shubuh, kami bertiga, saya, Nisa, dan Azmi, tadarus bersama. Abinya tidak ikut karena harus salat berjamaah di masjid.


Saya dan Nisa membaca ayat Alquran bergantian, sedangkan Azmi, karena belum bisa membaca Alquran, maka ia bertugas yang membaca terjemahannya. Alhamdulillaah, meski masih di TK, Azmi sudah cukup lancar membaca.


Namanya juga anak-anak, program ini tidak selalu berjalan dengan lancar dan mulus. Kadang-kadang, karena kantuk yang teramat, mereka tidak mau tadarus, malah tidur. Kadang Azmi yang tertidur, kadang dua-duanya tidur semua.


            Sekarang, setelah mereka besar, ternyata lebih sulit untuk mengondisikan mereka. Apalagi dengan lima anak. Masing-amsing punya keinginan dan kebutuhan sendiri-sendiri. Apalagi saat lockdown ini, baru sekali kami bisa melakuikan tadarus bersama. Setelah itu, sulit mengumpulkan mereka kembali. Ada saja alasannya. Di sinilah saya sebagai orang tua merasa sedih. Apalagi melihat keluarga-keluarga yang lain bisa begitu kompak. Saya sadar, ini pasti karena kesalahan saya dalam mendidik mereka. Saya tidak tahu, salahnya di mana. Saya merasa sudah mengajak mereka dialog, sudah berusaha menumbuhkan rasa percaya diri. Tetapi, saya juga menyadari, kadang ucapan saya melemahkan semangat mereka. Astaghfirullah ...

Monday, May 11, 2020

Perumahan Nafa



Bismillaah


Pandemi covid-19 yang telah membuat kita harus work from home atau learn from home, telah menimbulkan dampak positif maupun negatif pada setiap sisi kehidupan. Anak-anak yang biasa bebas berlarian di halaman sekolah saat waktu istirahat tiba, kini harus anteng, berdiam diri di rumah. Tak ada lagi main bola, tak ada lagi main petak umpet, tak ada lagi main kelereng, tak ada lagi main-main yang lain. Kini, semua gerak dibatasi oleh lockdown. Beruntung bagi mereka yang memiliki rumah yang luas. Namun sebagian besar memang tidak beruntung karena mereka tinggal di perumahan sederhana yang tak lebih dari 100 meter persegi atau di kontrakan-kontrakan sempit di gang yang sempit pula.
Begitu pun anak-anak saya.


Alhamdulillaah Allah mengaruniai kami rumah yang cukup luas buat kami. Anak-anak bisa bermain, meski dengan lahan terbatas. Namun demikian, tetap saja kebosanan menghinggapi mereka. Tak bisa bebas berlari, tak bisa bertemu teman dan bercanda bersama. Sekarang, kegiatan yang paling sering dan mudah dilakukan paling menonton tv atau membaca buku. Bermain game online pun terbatas karena mereka belum punya hp sendiri, masih harus pinjam ke kami, orang tuanya. Hampir dua bulan dengan kegiatan yang itu-itu saja, bete akhirnya.


Bahkan saat pertama kali diumumkan bahwa sekolah diliburkan dan anak-anak diminta tetap belajar di rumah, gadis kecil saya, Nafa, sudah protes saja. "Ah, bosen. Di rumah nggak ada temennya ...." Tetapi sekarang, justru dia yang terlihat paling enjoy dengan lockdown ini. Ternyata dia bisa menciptakan dunia mainnya sendiri.
Setiap kardus bekas, entah itu bungkus makanan atau kardus sepatu, ia kumpulkan. Lalu dibentuk dengan sedemikian rupa sehingga menjadi rumah-rumahan. Memang, hanya berupa kamar-kamar yang disekat oleh kardus yang dilem, tetapi memang itu sudah bisa disebut rumah. Rumah ala Nafa. Kalau dulu zaman saya kecil, membuat rumahnya di tanah. Temboknya menggunakan tanah yang ditimbun dan disusun sedemikian rupa. Jadi sama seperti perumahan Nafa, hanya beda bahan bangunannya.


Semua barang mainan yang ia miliki menjadi pelengkap perumahan itu. Oya, saya sebut perumahan, karena memang ada beberapa rumah. Ada orang-orangan super kecil, mobil-mobilan, kardus yang dibuat menjadi suatu benda, juga plastisin. Ya, beberapa hari yang lalu, entah dapat ide dari mana, tetiba dia minta dibelikan plastisin. Dengan plastisin itu, dia semakin berkreasi untuk memperlengkap perumahannya. Ada binatang, bunga, bahkan mobil angkot yang bisa menampung beberapa penumpang.


Dengan permainan itu, Nafa jadi asyik dengan dunianya sendiri. Kakak-kakaknya juga asyik dengan dunia mereka. Karena Nafa paling kecil, dia jarang terlibat dalam aktivitas kakak-kakaknya. Dia dirasa belum level oleh kakak-kakaknya. Jadinya ya, sukses dengan dunianya sendiri. 


Alhamdulillaah, jadi tidak rewel. Meski, kadang-kadang, terucap juga kata bosan dan ingin kembali sekolah. Semoga wabah ini segera berakhir sehingga anak-anak bisa sekolah kembali dengan normal, aamiin.

Tuesday, May 5, 2020

Blessings in Disguise

Bismillaah

Pembelajaran daring telah memaksa para guru untuk melek teknologi. Selama ini guru terbiasa mengajar secara langsung, bertatap muka dengan siswa sehingga tidak terlalu pusing dengan teknologi modern. Termasuk saya. Apalagi di sekolah tempat saya mengajar memang dilarang menggunakan gadget sebagai media belajar. Paling banter, kami hanya menggunakan proyektor sebagai media pembelajaran. Itu pun sangat jarang karena harus bergantian dengan guru lain.

Kini, di saat wabah Corona menguasai dunia sehingga memaksa semua orang untuk tinggal di rumah saja, membuat para guru harus berpikir keras mencari cara bagaimana menyampaikan materi pelajaran dengan cara yang menarik. Internet menjadi satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan guru dengan siswa. Berbagai aplikasi pun tersedia untuk memfasilitasi program belajar jarak jauh ini. Dari aplikasi sederhana yang hanya berfungsi untuk "chatting" (percakapan), sampai yang bisa digunakan untuk konferensi (meeting).

Hari ini kami berlatih menggunakan aplikasi "meeting" Cisco WebEx. Dengan aplikasi ini kami akan mengadakan program "Sapa Ananda", sebuah program pembelajaran yang ditujukan untuk menyapa peserta didik yang hampir dua bulan ini tidak bisa bertemu dengan guru-gurunya. Bahasa sederhananya, ini ajang temu kangen antara guru dan siswa.

Dalam kegiatan gladi bersih ini, ternyata ada seorang teman kami yang mengalami kesulitan dalam mengoperasikan aplikasi ini sehingga terpaksa beliau harus ke rumah saya. Berkali-kali beliau mencoba masuk ke aplikasi, tetapi selalu gagal. Jadi tambah panik. Dalam situasi kita panik dan pikiran tidak tenang, memang bisa membuat kita jadi seperti kehilangan akal. Setelah berkali-kali gagal, bahkan sampai membuat akun email baru, alhamdulillaah berhasil juga. Perjuangan yang luar biasa.

Di balik segala kesulitan yang kami temui, ada hikmah yang bisa kita petik. Kami jadi banyak belajar tentang berbagai aplikasi online. Selain itu, kami juga jadi bisa memberikan materi pelajaran dengan lebih menarik menggunakan power point dan video. Alhamdulillaah, pasti ada hikmah di balik segala kesulitan. Every cloudy has a silver lining. Blessings in disguise.