Thursday, March 31, 2016

Beruntungnya Dikau

Bismillaah

Riesa Ismail. Saat mengeja nama ini, terbayang seorang gadis ramah nan enerjik. Betapa tidak? Di setiap fotonya, senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Enerjik? Ya, hanya seorang yang enerjik yang bisa melakukan banyak kegiatan sosial di sela-sela kesibukannya sebagai PNS. Itulah Riesa Ismail.

PNS? Wow ... Di negeri ini PNS ( Pegawai Negeri Sipil) adalah pekerjaan yang sarat gengsi dan menjadi idaman banyak orang. Begitu menggiurkannya posisi PNS i ni, sampai ribuan orang rela berbondong-bondong dan berdesak-desakkan mengadu nasib di Gelora Bung Karno ( tempat yang biasa digunakan untuk tes PNS). Dan, tahukah Anda, Mba eh, Uni Riesa ini salah satu yang beruntung, karena dengan mudahnya lolos dalam tes tersebut. Padahal, beliau nggak niat untuk mengikuti tes tersebut! Keren, ya?

Itulah rezeki. Tak bisa diduga dan diprediksi. Orang yang benar-benar niat, sampai jual tanah warisan orang tua yang belum meninggal, malah tidak lolos. Yang tak ada niat, iseng-iseng berhadiah, eeeh ... benar-benar dapat hadiah. Barakallaah Uni Riesa!

Oya, happy milad juga ya! ( Bahasanya campur sari, nih). Barakallaah fii umrik. Semoga sukses dan bahagia dunia akhirat, dan dapat jodoh orang Padang biar bisa pulang kampuang!

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#ArisanRondeKelima

Tuesday, March 29, 2016

Doa 'Tuk Sahabatku

Merah raut wajahmu
Menahan tangis, meredam marahmu
Menghalau sakit dalam hatimu
Tergores kata
Yang tak pernah kauduga

Ingin kau balas
Ingin kau jawab
Ingin kau bantah
Ingin kau ingkari

Namun bibirmu kelu
Namun mulutmu membisu
Namun hatimu
Tak ingin berlarut dalam kata
Tak ingin gemuruh dalam emosi
Tak ingin meluap dalam debat

Sungguh panjang tali kesabaranmu
Sungguh luas pintu maafmu
Sungguh jauh cara pandangmu
Sungguh arif budi pekertimu

Aku malu, sahabat
Tak sanggup diri di sisimu
Tak sanggup diri membantumu
Tak sanggup diri membelamu

Hanya doa yang
Teruntai dalam heningku
Terlantun dalam sujudku
Moga Allah selalu menjagamu
Selalu membelamu
Selalu membantumu
Dari mereka yang dzolim

Aamiin ya rabbal 'alamiin

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Monday, March 28, 2016

Tulisan Nggak Jelas

Bismillaah

Minggu terakhir bulan Maret, bulan ketiga berada di dunia ODOP, seharusnya aku sudah lebih semangat dan lebih rajin menulis. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Rasa malas dan bingung mau menulis malah datang seenaknya, tanpa permisi dan basa-basi.

Walau begitu, aku berusaha untuk berjuang mengalahkan kemalasan itu. Dan, sampai di sini tak tahu mau menulis apa. Buntu rasanya otak ini.  Tapi, percayalah teman-teman, ini bukan efek dehidrasi. Karena aku sudah cukup banyak minum, yah ... meski belum sampai 2 liter, sih. Tapi sudah standar seperti hari-hari sebelumnya dan biasanya. Makanya, ini bukan efek dehidrasi. Jadi jangan menawari minuman seperti di iklan tivi, ya? Tak suka, tak suka.

Baiklah, malam ini aku curhat saja tentang kesumpekan dada ini sehingga tak ada selera menulis. Tapi ini sudah menulis, ya? Menulis nggak jelas ini, mah. Dari pada nggak nulis, nanti diusir dari bumi ODOP. Mendingan nulis meskipun nggak jelas. Jadi jangan dibaca, ya. Kalau sudah terlanjur baca, terimakasih, terimakasih, sudah repot-repot. Maaf ya, kalau Anda kecele.
"Lha, ternyata cuma tulisan nggak jelas dan nggak bermutu!"
Mohon maaf, ternyata ini efek nulis raport nggak selesai-selesai. Pusiiiiing.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#SusahnyaKonsisten

Saturday, March 26, 2016

Lapis-lapis Keberkahan

Bismillaah

Hidup seorang mukmin bukan dinilai dari panjang umurnya, seperti lirik lagu yang selalu dinyanyikan dalam pesta ulang tahun. Bukan pula berdasarkan jumlah rupiah atau dolar yang sudah ditimbunnya. Tidak juga berdasarkan pangkat atau jabatan tertinggi yang sudah disandangnya. Tetapi, hidup seorang mukmin dilihat dari keberkahannya. Bagaimanakah hakikat keberkahan itu?

Buku Lapis-lapis Keberkahan yang dianggit oleh penulis muda yang sedang berjaya ini, mengupas tuntas tentang keberkahan. Salim A. Fillah. Penulis yang aktif dalam berbagai lembaga sosial ini, sangat apik dalam mengemas kata-kata, menyulam kalimat-kalimat hikmah dalam nuansa sastra yang indah. Membaca bukunya yang setebal 517 halaman ini menjadi sesuatu yang mengasyikkan dan jauh dari kata bosan.

Buku ini memang belum tuntas saya baca. Mungkin baru seperempatnya. Dari sedikit yang baru saya baca itu, ilmu dan hikmah yang didapat sungguh luar biasa. Setiap lembar selalu menyajikan sesuatu yang berbeda dan baru, dari lembar sebelumnya. Memang ada beberapa kisah atau fakta yang mungkin sudah sering kita baca atau dengar. Namun, begitu membacanya ulang dalam buku Mas Salim ini, kita seperti baru saat ini menemukan yang begini ini.

Buku ini dibuka dengan prolog yang mengisahkan tentang tiga gunung. Dua gunung yang pertama digelari Akhsyabain. Gunung yang pernah ditawarkan kepada Rasulullah untuk ditimpakan kepada kaum Thaif saat itu, yang ingkar terhadap dakwah beliau. Tetapi beliau menolak tawaran itu dengan berkata,

"Tidak. Sungguh, aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab adzab. Bahkan, aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak keturunan yang mengesakan-Nya dan tak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun."

Luar biasa. Benar-benar pribadi agung yang tiada bandingannya. Luka dan darah yang mengalir bukan menjadi alasan untuk melakukan serangan balik. Padahal malaikat, ya, malaikat pun siap membantunya. Tetapi Rasulullah justru mendoakan kebaikan untuk kaum yang memusuhinya karena ketidaktahuannya itu.

Gunung yang ketiga adalah gunung yang berada di Yunani. Sebuah gunung tinggi yang lerengnya terjal dan curam, berbatu dan berkerikil tajam, berliku dan mudah longsor. Di sanalah Sisyphus, seorang lelaki perkasa, sedang mendorong sebongkah batu raksasa ke puncak gunung yang runcing itu. Berhasilkah? Silakan dibayangkan.
Ternyata kisah ini menjadi lambang perjalanan hidup manusia yang tiada hasil dan tiada makna. Sia-sia. Hidup yang menyiksa dan jauh dari kata bahagia. Bagaimana dengan kita?

Menurut sang penulis, kebahagiaan janganlah dijadikan sebagai tujuan hidup, karena akan membuat kita tak bisa menikmati perjalanan hidup itu sendiri.

Bahagia adalah kata yang tak cukup untuk mewakili segenap kebaikan. Maka buku ini diberi tajuk "Lapis-lapis Keberkahan". Hidup kita umpama buah beraneka aroma, bentuk, warna, serta rasa; yang diiris-iris dan ditumpuk berlapis-lapis. Tiap irisan itu, punya wangi maupun anyirnya, lembut atau kasarnya, manis serta pahitnya, masam juga asinnya. Tapi kepastian dari-Nya dalam segala yang terindra itu ialah; ada gizi yang bermanfaat bagi ruh, akal, dan jasad kita.

Ialah lapis-lapis keberkahan. Mungkin bukan nikmat atau musibahnya, tapi syukur dan sabarnya. Bukan kaya atau miskinnya, tapi shadaqah dan doanya. Bukan sakit atau sehatnya, tapi dzikir dan tafakurnya. Bukan sedikit atau banyaknya, tapi ridha dan qanaahnya. ....

Itulah beberapa petikan kalimat dalam buku ini. Memberikan pencerahan kepada kita bahwa, ternyata keberkahan tidak melulu berupa kesenangan yang kita peroleh. Bisa jadi ketika musibah datang pun ada keberkahan di sana.

Dalam buku yang disusun dalam tiga bagian ini, kita akan diajak untuk memaknai keberkahan hidup dari mulai berupa irisan-irisan makna yang kemudian  menjadi bertumpuk- tumpuk bahan karya. Pamungkasnya adalah bersusun-susun rasa surga. Cita setiap insan: surga. Surga dalam dan untuk diri, surga dalam keluarga, juga surga dalam berkah langit dan bumi, dalam negeri yang masyarakatnya merasai keadilan.

Demikianlah sepatah dua patah kata yang belum mampu dan masih jauh untuk bisa menggambarkan barang sedikit pun dari kandungan buku ini. Mohon dimaafkan bila ada salah-salah tulis. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Maksud diri ingin mengulas buku, apa daya jari telah lelah. Sekian dan terimakasih sudah berkenan membaca.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#TugasMingguK
eempat

Friday, March 25, 2016

Sekolah Terpadu ODOP







Bismillaah


Mentari baru saja naik setinggi tombak, ketika Bu Irma Sari tiba di sekolah kesayangannya, Sekolah Terpadu ODOP. Memasuki pintu gerbang sekolah, dilihatnya beberapa anak juga sudah mulai berdatangan diantar orang tua atau pengasuhnya, atau sopirnya. 
"Assalamu'alaikum, Bu Irma," sapa seorang siswa berpeci putih dengan ceria.
"Wa'alaikumussalam, Aydi. Apa kabar hari ini?" balas Bu Irma tak kalah cerianya.
"Baik, Bu. Hari ini sholat Shubuhku tidak kesiangan, Bu," jawab siswa yang memiliki nama lengkap Aydi Rain ini. Mungkin lahirnya saat hujan turun, jadi namanya Rain. 
"Oh ya? Alhamdulillah. Aydi bangun sendiri?" 
"Hehe ... Enggak. Aku dibangunin mama."
"Oh, bagus! Besok bangun sendiri, ya? Itu namanya mandiri. Jadi tidak merepotkan mama," saran Bu Irma kepada Aydi.
"In sya Allah, Bu. Bu, aku mau masuk kelas dulu, ya. Da dah ...," lambai Aydi sambil berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua.
"Oke," jawab Bu Irma membalas lambaian siswanya.


Bu Irma pun melanjutkan langkahnya ke kantor guru. Dilihatnya Bu Roma Pakpahan sedang duduk menghadap laptop di meja kerjanya. Serius sekali kelihatannya, sampai tidak sadar kalau ada yang datang.
"Pagi, Bu Roma! Serius sekali. Sedang apa, sih?" sapa Bu Irma penasaran.
"Eh! Pagi juga, Bu Irma. Kaget, saya. Kok saya nggak denger kalau Bu Irma datang, ya?"
"Ya iyalah, lha wong Ibu sedang serius begitu. Ada bom juga pasti nggak kedengeran."
"Ah! Ya, nggak gitu-gitu juga kali Bu. Kalau bom kan suaranya kenceng, pasti dengerlah ..."
"Pagi-pagi udah serius banget, sih Bu?"
"Iya nih, gara-gara Kepala Sekolah kasih tugas baru. Jadi tambah pekerjaan. Tapi, nggak pa-pa lah, asal masih berbau tulis-menulis. Kalau disuruh betulin mobil, baru tuh saya pusing tujuh keliling."


"Assalamu'alaikum," sebuah suara terdengar dari depan pintu.
"Wa'alaikumussalam, eh ... Bu Sabrina. Sudah pulang? Mana oleh-olehnya?" jawab Bu Irma antusias.
"Yaelah ... Bu Irma, belum juga duduk, sudah ditanya oleh-oleh," sahut Bu Roma sambil tertawa.
"Iya, nih. Kasih minum dulu, dong. Capek nih, mana jalanan macet, lagi," balas Bu Sabrina tersenyum.
"Teman-teman sedang apa ini, pagi-pagi sudah ngeriung?"
"Biasa, Bu. Kalau hari pertama masuk, ada aja yang dibicarakan. Seperti bertahun-tahun tak ketemu. Ngobrol ngalor ngidul gak tentu juntrungannya," jawab Bu Irma dengan logat jawa yang medok.



Begitulah suasana kantor guru Sekolah Terpadu ODOP. Ramai, riuh rendah dengan kelakar segar yang selalu menumbuhkan ide-ide baru dan semangat membara untuk terus berkarya mendidik anak- anak bangsa ODOP. Semoga akan lahir anak-anak bangsa yang terampil menulis tulisan berkualitas, bermanfaat, dan menginspirasi anak-anak bangsa ODOP dan juga di luar  bangsa ODOP. 


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#TugasArisanRondeKeempat




Thursday, March 24, 2016

Cooking Day

Bismillaah

Penat terasa menyumbat hasrat Namun tekad tak boleh mundur
Tubuh boleh penat
Tapi semangat tak boleh kendur

Lelah menggerogoti lengan dan kakiku setelah seharian beraktivitas. Dari adzan subuh hingga pukul sembilan malam, badan belum mendapatkan haknya. Berhubung kewajiban ODOP harus ditunaikan, maka hak tubuh terpaksa ditunda. Sabar ya, tubuhku sayang.

Hari ini kita akan intip acara Cooking Day dari kelas 3 sampai kelas 6. Sasaran pertama kita adalah kelas 3.  Kelas 3 yang terdiri dari 3 kelad ini, kompak sekali membuat es buah dan roti bakar. Hmm ... Lezat, pastinya. Lanjut ke kelas 4. Kelas 4 ini juga terdiri dari 3 kelas. Berbeda dengan kelas 3 yang kompak abis, ternyata kelas 4 ini menyiapkan menu sendiri-sendiri. Kelas 4 Kholid membuat jasuke (jagung-susu-keju),   4 Khodijah membuat sandwich isi telur dadar, sedangkan 4 Ummu Salamah membuat papeda, masakan daerah Papua, dan es sirup. Segeerr.

Selesai melihat aktivitas di kelas 4 yang beragam itu, selanjutnya kita pindah ke kelas 5. Di sana ada dua kelas, dan menunya pun berbeda. Kelas 5 Bilal membuat bakwan sayur atau biasa disebut bala-bala, sedangkan 5 Aisyah membuat martabak telur. Waah sama-sama gorengan dan sama-sama yummy. Tak heran bila gorengan mereka langsung ludes tak bersisa.

Beralih ke kelas 6. Kelas 6 Mush'ab yang komposisinya laki-laki semua, termasuk wali kelasnya, bekerja sama membuat pancake. Dari bentuknya, lumayanlah. Tapi, rasanya ... lumayan juga sih. Maklumlah, yang memasak para cowok yang biasanya tinggal menyantap. Walaupun begitu, patut diacungi jempol untuk kerja sama dan kerja keras mereka.

Yang terakhir adalah kelas 6 Hafshah dan 6 Asma. Kali ini mereka duet membuat pizza. Berkumpul di ruang kelas 6 Hafshah,  mereka bersatu padu berusaha menciptakan resep pizza yang lain dari yang lain. Pada cooking day kali ini, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 3 siswi. Waah ... Seru sekali mereka. Dari saat menimbang terigu yang harus digunakan, sampai bagaimana berkreasi dengan bentuk pizzanya, ada saja yang mengundang senyum.

Ada kelompok yang aktif, baik dalam berbicara maupun bekerja, tapi cepat tuntas pekerjaannya. Ada pula yang adem, tak bersuara dan slow motion. Sehingga saat kelompok lain sudah menikmati hasilnya, mereka baru mulai memanggang. Saat kelompok lain sudah selesai beres-beres, mereka baru menyantap hasil masakannya. Meski demikian, secara keseluruhan, acara hari ini sukses. Mengapa? Dari segi proses, mereka sudah bisa bekerja sama dengan baik. Dari segi hasilnya, ternyata tak kalah dengan buatan 'warung-warung' pizza yang terkenal itu.
Good job, guys. Barakallahu fiikum.

Sekian hasil reportase hari ini. Saatnya pergi ke pulau kapuk.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Wednesday, March 23, 2016

Apa Kelebihan Anak Kita?

"Anak kita kelebihannya apa ya, Mi?" tanya suamiku setelah baca artikel tentang mantan presiden kita yang jenius, Bapak BJ. Habibi. Berita tentang sakitnya beliau memang sempat menjadi trending topic di media massa dan medsos. Begitu pula di rumah kami. Apalagi anak ganteng kami, Hakim, termasuk salah satu fans beliau. Cita-citanya pun ingin seperti beliau,  jadi professor.
"Belum kelihatan, ya," lanjut suamiku, melihat aku masih diam saja.
Aku diam karena sedang berpikir tentang pertanyaannya barusan. Kelebihan apa yang dimaksud olehnya? Dan, apa tadi katanya, belum kelihatan? Terus, selama ini, kemana saja dia sampai tidak tahu kelebihan anak-anaknya? Duuuh ... Suamiku, sibuk sekali dikau, ya?

Sebenarnya suamiku selalu memantau perkembangan anak-anak. Dia bukannya tidak tahu kelebihan yang mereka miliki. Hanya saja, kelebihan yang dimaksudnya di sini, apalagi kalau bukan kelebihan dalam bidang akademik dan kecerdasan intelektual. Seperti kebanyakan orang tua lainnya, yang selalu mengukur kemampuan anaknya dari rangking yang diperoleh di sekolah. Padahal itu sudah tidak jaman lagi.

Setiap anak yang lahir di dunia ini, sudah dibekali Allah dengan kemampuan masing-masing, yang pasti berbeda antara satu anak dengan anak yang lain. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, tidak bisa dan tidak boleh disamaratakan. Makanya ada yang disebut multiple intelligence atau kecerdasan jamak yang dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner.

Menurut teori tersebut, setiap anak/orang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya bisa buka di sini. Jadi, kita sebagai orang tua tidak boleh menuntut anak hanya berprestasi dalam hal akademik saja. Dan, bila mereka berprestasi dalam bidang lain, dianggap bukan sebagai kelebihannya.

Di Indonesia, kita mengenal Rudi Hartono yang jago bulu tangkis. Rudi Chaerudin yang piawai memasak. Ada juga Rudi Habibi pembuat pesawat pertama di negeri tercinta ini. Nah, dari ketiga Rudi itu, siapakah yang paling berprestasi? Tentu, ketiga-tiganya berprestasi dalam bidangnya masing-masing.

Kembali ke pertanyaan suamiku di atas. Memang anak-anak kami belum ada yang mendapat rangking 1 di kelas, kalau itu yang disebut prestasi atau kelebihan seperti yang dimaksud suamiku. Tetapi mereka memiliki kelebihan dalam hal lain. Si sulung, misalnya. Dia tipe anak mandiri sejak usia balita, dan termasuk anak yang suka bergaul dan easy going. Dia memang agak ceroboh, tetapi di situlah justru Allah memberikan kelebihan yang lain. Karena sadar dengan sifatnya itu, dia mudah mencari alternatif lain bila suatu saat benda yang diperlukannya tidak ada. No problem, katanya.

Berbeda dengan adiknya. Adiknya mempunyai sifat sangat teliti, tekun, rapi, apik, dan tega membuat orang lain menunggu demi sebuah kerapian. Dan karena sifatnya ini, dia agak sulit diberi pilihan. Dia akan keukeuh dengan keinginannya, sulit dibelokkan. Sedangkan hidup tak selamanya mulus.

Dari kedua anak tadi, ternyata anak pertama yang suka grusa-grusu itu lebih cerdas intelektualnya dibanding adiknya. Sedangkan adiknya, kecerdasannya ada pada gerak tubuhnya atau kecerdasan kinestetik. Secara intelektual dia kalah dengan kakaknya, tapi secara kinestetik dia unggul.

So, mari kita hargai apa pun dan bagaimana pun buah hati kita. Jangan menuntut mereka untuk selalu rangking 1. Bayangkan bila semua orang tua menginginkan anaknya yang rangking 1! Siapa nanti yang berada di urutan kedua, ketiga, dan seterusnya? Setiap anak adalah unik. Setiap anak adalah istimewa. Tugas orang tualah mengantarkannya menjadi pribadi yang selalu istimewa sesuai fitrah kemampuannya.

Mohon maaf bila ada yang nggak nyambung. Lebih baik nggak nyambung dari pada nggak nulis. (Edisi bingung berbuah nggak nyambung.)

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Monday, March 21, 2016

Outing Class SDIT AL HIDAYAH

Sabtu, 20 Maret 2016 pukul 07.30, seluruh siswa peserta outbond siap bersenang-senang di area outbond D'Warrior Jababeka. Dengan seragam kaos abu-abu dan wajah ceria, mereka sangat antusias dan semangat mengikuti instruksi dari kakak-kakak pembimbing.

Pukul 08.30 kegiatan dimulai dengan briefing dan doa memohon kepada Allah agar acara berjalan dengan lancar dan tidak turun hujan. Setelah itu peserta dibagi menjadi beberapa pleton dengan kegiatan yang berbeda-beda untuk menghindari penumpukan dalam setiap pos. Pleton saya mulai bergerak ke pos 4 dibimbing oleh Kak Apgan. Tidak pakai f, tapi p. Kak Apgan ini sangat komunikatif dengan anak-anak dan humoris. Pandai menyemangati anak-anak yang kelihatan mulai loyo dan kesal dengan temannya yang dianggap tidak bisa diajak kerja sama.

Di pos 4 ini, kegiatannya berjudul 'Transfer Karet'. Seperti apa, ya? (maaf saya tidak bisa upload foto-fotonya, karena pakai hape jadi susah, deh)
Di permainan ini, masing-masing anak mendapat 1 sedotan. Oh ya, sebelumnya mereka berbaris sesuai kelompoknya. Ada 4 kelompok, jadi ada 4 baris yang siap berkompetisi. Kita sebut saja kelompok A, B, C, dan D. Setelah itu, siswa yang paling depan mendapat 5 buah karet gelang. (Itu, lho, karet yang untuk mengikat plastik atau sayuran, atau rambut, kadang-kadang)
Karet itu harus ditransfer satu per satu ke teman di belakangnya, terus-menerus sampai ke teman yang paling belakang. Kelompok yang paling cepat selesai, itulah pemenangnya. Di pos ini yang menjadi pemenang kelompok C. Horee! Itu kelompok saya. Good job guys.

Pos berikutnya, pos 5, masih transfer-transfer juga, tapi bukan transfer uang. Coba kalau transfer uang, hmmm...
Sekarang transfer tali berbentuk lingkaran yang bisa masuk ke tubuh orang dewasa. Pertama, para peserta diminta untuk bergandeng tangan, kemudian orang yang paling atas mentransfer tali ke teman berikutnya tanpa melepaskan pegangan tangannya. Terus-menerus sampai ke peserta yang berada paling bawah. Mengapa ada yang di atas dan di bawah? Karena medan permainannya memang miring, jadi barisannya dari atas ke bawah. Setelah sampai kepada teman yang paling bawah, maka peserta ini harus mengembalikan tali kepada teman yang berada paling atas tadi. Ini diulang sampai 6 kali, seperti Rukun Iman, kata Kak Apgan yang selalu memotivasi dengan seruan takbir ini. Allahu Akbar! Kali ini pemenangnya kelompok B! Selamat! Selamat!

Kemudian perjalanan berlanjut ke bukit kecil di bagian belakang area outbond ini. Di sana, pleton dibagi menjadi 2 kegiatan. Kelompok A dan B yang merupakan siswa-siswi kelas 2, bermain transfer air menggunakan papan yang diikat tali di keenam ujungnya. Setiap ujung tali dipegang oleh 1 siswa. Satu orang siswa yang lain meletakkan gelas berisi air di atas papan yang diikat tali tadi. Kemudian dengan mengangkat papan melalui tali-talinya tadi, mereka membawa gelas air itu ke ember kosong yang sudah disediakan. Lalu air di gelas tadi dimasukkan ke dalam ember. Setelah kira-kira 30 menit, permainan diakhiri dengan mengukur ember yang paling banyak isinya. Pemenangnya? Mohon maaf saya tidak melihat hasil pengumuman karena harus mengikuti kegiatan kelompok C dan D yang pesertanya merupakan siswi-siswi kelas 5 dan 6.

Tugas kelompok C dan D adalah menguraikan tangan ruwet. ( Setahu saya, benang ruwet. Ini kok, tangan ruwet?) Mari kita cari tahu cara bermainnya!
Pertama, masing-masing kelompok membuat lingkaran. Kedua, setiap siswi mengulurkan kedua tangannya ke depan, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Ketiga, mereka saling bergandengan dengan posisi tangan masih seperti tadi. Tugas mereka adalah membuat posisi tangan mereka tetap bergandengan, tapi posisi tangan dalam keadaan lurus, tidak silang-menyilang. Waah cukup lama juga mereka menemukan caranya. Akhirnya kelompok D yang lebih dulu menemukan rumus penguraian tangan itu.

Menjelang siang, kelompok kelas 5 dan 6 dikumpulkan menjadi satu. Sekarang saat yang paling ditunggu-tunggu. Flying fox. Inilah permainan paling favorit. Mereka rela mengantri dan rela menunda makan siangnya demi flying fox ini. "Seru, Bu! Tapi capai naik ke towernya," kata Najwa.
"Bu, boleh nggak, sekali lagi?" tanya Dila yang tadi sempat macet di atas. Anak ini nggak ada takutnya sama sekali.
"Kamu nggak kapok? Nanti kalau macet lagi, bagaimana?" tanya saya.
"Nggak pa-pa, Bu, malah seru! Boleh, ya, Bu?" rengeknya.
"Maaf, masing-masing hanya 1 kesempatan. Dan, sekarang sudah waktunya sholat dan makan."
"Ya...."

Setelah ishoma (istirahat, sholat, dan makan), tibalah pada permainan terakhir. Tangkap ikan! Ada yang antusias, ada juga yang enggan.
"Bu, saya nggak mau nangkep ikan," kata Rifda.
"Lho, mengapa? Asyik, lho. Main lumpur dapat ikan," kataku berusaha membujuknya.
"Males, Bu. Nanti saya harus cuci baju sendiri. Kan, susah bu nyucinya kalau belepotan lumpur," jawab Rifda keukeuh.
Selain Rifda, ada beberapa siswi yang tidak ikut menangkap ikan. Meski tidak semua turun ke kolam berlumpur, persaingan untuk mendapat ikan tetap seru. Ada yang bisa bawa pulang 2 ekor ikan (lumayan untuk digoreng), ada yang 1, bahkan ada yang hanya bawa lumpur. Yah, namanya juga rejeki, nak. Ada yang beruntung, ada yang tidak. Tapi, yang penting asyik dan seru, ya.

Demikianlah liputan pribadi ini. Bukan liputan siang, apalagi sore. Sekedar menulis apa yang dialami. Yang jelas, banyak pelajaran yang kami peroleh. Tentang kerja sama, kekompakan, kesabaran, juga pantang menyerah. Lelah tapi bermanfaat.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Friday, March 18, 2016

NATO; No Action Talk Only

Bismillaah

Kosong rasanya pikiran saya malam ini. Sudah pukul 22.11, tapi belum ada ide juga untuk menulis. Tapi karena ingat kata Bang Syaiha dan teman-teman bahwa tidak ada ide pun bisa jadi bahan tulisan, maka saya paksakan jari-jari ini untuk menyentuh keyboard hp. Mudah-mudahan bisa jadi sesuatu yang bermanfaat. Aamiin.

Di sekolah hari ini, ada beberapa peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran. Tentang bagaimana mengemban amanah, tentang bagaimana etika berkomunikasi dengan orang lain, tentang manajemen waktu, dan tentang-tentang yang lain.

Pertama tentang amanah atau kepercayaan dan tanggung jawab yang menjadi tugas kita. Bagaimana seharusnya kita melakukannya?
Biasanya bila kita melihat teman atau rekan kerja yang kurang menjaga amanah, kita akan geregetan ingin segera menegurnya. Bila rekan itu kurang sempurna dalam menyelesaikan tugasnya, dengan mudahnya kita akan mengeluarkan kritikan yang kadang-kadang lebih pedas dari cabe setan. Eh, cabe rawit, maksudnya.

Namun, giliran kita yang mendapat amanah, ada saja alasan agar bisa menghindar atau mengurangi beban yang kita emban. Seperti rekan kerja saya ini. Tadi pagi, ketika ada acara pembinaan, salah seorang rekan yang ditugaskan untuk menyampaikan materi, tiba-tiba tidak bersedia melaksanakan kewajibannya itu. Alasannya, takut suaranya tidak bisa terdengar oleh anak-anak. Sebuah alasan yang dibuat-buat. Mengapa? Karena acara ini tidak berbeda dengan aktivitas mengajar yang setiap hari dia lakukan.  Spontan, teman-teman yang lain langsung protes.

Rekan-rekan guru yang lain, bahkan sampai koordinator acara pun ikut mempertanyakan alasan yang tidak masuk akal ini. Beruntung kepala sekolah tidak ikut-ikutan. Bisa-bisa kena SP (Surat Peringatan), dia.

Dan, yang menambah kejengkelan kami, teman yang tidak amanah ini termasuk yang paling banyak ilmu agamanya dibanding kami semua. Bahasa kasarnya, dia paling pintar, tapi paling bisa ngeles. NATO, bahasa kerennya; No Action Talk Only. Bukan nama organisasi keamanan, ya? Pandai menasihati, pandai menegur orang lain yang berbuat salah, pandai mengkritik, pandai protes bila ada sedikit saja haknya yang terkurangi, tetapi dirinya sendiri tidak bisa menjadi contoh buat orang lain. Jadi ingat firman Allah swt  berikut ini:

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
[QS. As-Saff: Ayat 2]

Dan juga ayat berikutnya:

كَبُرَ مَقْتًا  عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
[QS. As-Saff: Ayat 3]

Astaghfirullah, semoga kita terhindar dari perbuatan seperti itu. Karena kalau kita hanya bisa mengajak atau memberitahu orang lain untuk berbuat kebaikan, sedangkan kita sendiri malah melakukan sebaliknya, itu ibarat lilin. Lilin bisa menerangi alam sekitarnya dengan cahaya yang dihasilkannya, tetapi menghancurkan dirinya sendiri hingga habis tak bersisa. Meleleh.

Kalau kita mengajak orang lain untuk ke surga, maka pastikan diri kita sudah berjalan di barisan paling depan. Jangan sampai ketinggalan!

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#EdisiIntrospeksiDiri

Thursday, March 17, 2016

Arisan Blog Putaran Ketiga

Bismillaah

Seorang dara berkerudung pink sedang duduk di bawah pohon mangga yang tumbuh di depan rumah. Di tangannya terlihat sebuah buku yang cukup tebal, sudah terbuka separuh halaman lebih. Di sampingnya, sebuah cangkir berisi kopi hitam kesukaannya, seakan setia menemani. Suara deru kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan rumahnya, tak mengusik keasyikannya sama sekali. Benar-benar kutu buku!

"Assalamu'alaikum," dua gadis yang terlihat belia berdiri di depan pagar.

Namun dara berkerudung pink itu seperti tak mendengar salam keduanya. Kedua matanya masih terpaku pada buku di tangannya. Tak bergeming.

"Assalamu'alaikum, Leni," suara kedua gadis itu terdengar lebih keras dari yang pertama tadi.

Merasa ada yang memanggil namanya, dara berkerudung pink yang ternyata bernama Leni itu, mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara.

"Wa'alaikumussalam warohmatullaah wabarakatuh. Eeeh ... Ulfa dan Wahyuni. Ayo masuk," ujar Leni.

"Kamu sedang apa sih, Len? Asyik banget, kelihatannya, sampai nggak dengar ucapan salam kami," tanya Ulfa sedikit protes.

"Mmm... Maaf. Aku sedang baca novel. Nih, lihat!"
"Pukat," lirih suara Wahyuni membaca judul novel itu.
"Emangnya bagus, ya?" tanya Ulfa penasaran.
"Bagus, Fa. Aku sampai nggak kemana-mana kalau belum tuntas bacanya. Ngomong-ngomong, kita duduk di dalam saja, yuk. Di sini berisik, banyak asap kendaraan, lagi," ajak Leni kepada dua sahabatnya.
"Ayo," jawab Ulfa dan Wahyuni bersamaan.

"Kak, ada Ulfa dan Wahyuni," kata Leni kepada seorang perempuan yang sedang duduk di depan laptop.

"Assalamu'alaikum, Kak Rina," sapa kedua teman Leni kepada perempuan bernama Rina.

"Wa'alaikumussalam warohmatullaah wabarakatuh. Ee... Ulfa, Wahyuni. Udah lama nggak main ke sini, ke mana aja?" jawab Rina ramah.

"Ada, Kak di rumah. Banyak tugas sekolah, jadi tidak sempat main," jawab Wahyuni.

"Sibuk, ni yee," ujar Rina menggoda dua bersahabat itu.

"Nggak juga. Sepertinya Kak Rina malahan yang sedang sibuk. Tuh, buktinya. Dari tadi ngetik-ngetik di laptop. Sedang nulis cerita lagi, ya Kak?" tanya Ulfa.

"Hehe... Iya nih, ngejar deadline, biasa."

"Aku suka cerbung Kakak yang dimuat di majalah bulan lalu. Penasaran ingin tahu kelanjutannya. Kak Rina sedang nulis lanjutannya, ya? Boleh nggak, aku baca?" tanya Ulfa yang rasa penasarannya semakin menggunung.

"Ee... Nggak boleh, dong. Kalau baca sekarang, nanti kamu nggak beli majalahnya, dong."

"Ya udah, kalau nggak boleh baca. Tapi boleh, dong, kalau kami minta diajari menulis cerita, Kak. Aku ingin sekali seperti Kak Rina. Dari hasil menulis cerbung bisa keliling dunia," pinta Wahyuni dengan ekspresi yang memelas. Biasa, ada maunya.

"Oke, oke. Nanti aku ajari. Tapi jangan sekarang, ya. Aku mau fokus menyelesaikan cerbung ini dulu. Kalian ngobrollah dengan Leni, ya," ujar Rina sambil kembali menatap laptopnya.

Dari arah dapur, keluarlah Leni membawa nampan berisi minuman dan cemilan.
"Ayo teman-teman, silakan minum dulu. Jangan ganggu Kak Rina. Dia lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Kita ngobrol masalah sekolah aja, ya," ujar Leni mengalihkan perhatian teman-temannya.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Note:
Cerita di atas fiksi belaka. Tetapi tokoh-tokohnya nyata. Mereka adalah anggota ODOP batch 1. Nggak percaya??? Klik saja link-nya.

Wednesday, March 16, 2016

Doa Saat Darurat

Bismillaah

Di tengah perjalanan pulang ke rumah, titik-titik air mulai turun dari langit yang berwarna hitam pekat. Sambil terus memacu motor agar terhindar dari guyuran hujan, aku terus berdoa agar Allah berkenan menahan sebentar hujan yang pasti mengandung rahmat-Nya ini. Bukan aku tak menginginkan hujan ini, bukan. Aku hanya berharap bisa sampai ke tempat fotocopy tanpa basah kuyup. Terasa titik-titik air yang tadi masih jarang-jarang, sekarang mulai rapat dan agak banyak. Agak banyak, tapi belum banyak. Kupacu motorku agar lebih cepat sampai, diiringi doa yang tak putus-putus mengharap belas kasih-Nya. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di tempat fotocopy, dan ... bres, bres, bres ... Airnya turun tidak terkira (jadi nyanyi anak TK). Hujan deras sekali disertai petir yang menyambar-nyambar.

Sambil menunggu fotocopy, kucoba menikmati hujan dengan melihat kendaraan yang lalu lalang. Saat itulah lamunanku menerawang ke beberapa tahun silam. Sekitar tujuh tahun lalu. Waktu itu juga hujan turun deras sekali, persis seperti saat ini, disertai suara guntur yang meruntuhkan nyali. Turun dari angkot sambil menggendong Mufid yang baru beberapa bulan usianya, aku berteduh di emperan sebuah rumah makan padang. Perjalanan ke rumah sebenarnya tinggal beberapa menit dengan naik ojeg. Tapi, melihat suasana hujan yang seperti itu, ditambah dengan bayi yang ada dalam gendongan, gentar rasa hatiku untuk meneruskan perjalanan.

Di lain sisi, kalau berdiri terus di emperan ini, lama-lama capek dan basah juga kami berdua. Ya Allah ... bagaimana ini? Tiba-tiba aku ingat materi yang disampaikan  Ustadz Salim pekan lalu. Kata beliau, ketika kita dalam keadaan darurat, lantunkan saja doa berikut ini:

اللهم اني اسالك باني اشهد انك انت الله لا اله الا انت الا حد الصمد الذي لم يلد و لم يولد و لم يكن له كفوا احد

(Allahumma innii as-aluka bi annii asy-hadu annaka antallaah laa ilaaha illaa anta al ahadush-shomad alladzii lam yalid wa lam yuulad wa lam yakun lahuu kufuwan ahad)

Artinya kira-kira (Waktu itu tidak diberitahu artinya, jadi kira-kira saja. Mas Farid ODOP 1 tolong dong, diterjemahkan!)
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dengan ini aku bersaksi sesungguhnya Engkau adalah Allah, tidak ada ilah kecuali Engkau, Yang Mahaesa, tempat meminta segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."

Kulantunkan doa itu beberapa kali sambil memohon agar Allah berkenan menghentikan deras hujan-Nya barang sebentar saja, agar aku bisa pulang. Setelah doa itu kuulang untuk yang ketiga kalinya, hujan berangsur reda. Memang tidak berhenti, tapi sudah berkurang dan guntur pun tak ada. Masyaallah, alhamdulillah, terimakasih ya Robbii, Engkau kabulkan doaku. Terimakasih Ustadz Salim yang telah mengajarkan doa ini.

Di waktu yang lain, saat aku kehilangan dompet yang berisi surat-surat penting, aku pun bermunajat kepada Allah dengan doa ini. Waktu itu kami sekeluarga sudah berusaha mencari dompet tersebut di setiap sudut rumah, tapi tidak ketemu. Setelah sholat Maghrib, aku mengulang-ulang doa di atas sambil memohon kepada-Nya agar dompet itu ketemu. Dan, terjadi lagi keajaiban itu. Dompetku ketemu! Masyaallah ... Sungguh benar janji-Mu. "... Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku." (QS. Al Baqarah: 186)

Namun, ada kalanya doa kita tidak langsung dikabulkan oleh Allah. Bisa jadi Allah menundanya, atau mengabulkan dalam bentuk lain yang tak kalah penting dengan yang kita minta, atau dikabulkan nanti saat kita sudah di alam akhirat. Sebagai hamba, kita hanya wajib berdoa. Keputusan ada di tangan dan kuasa Allah azza wa jalla.  Wallahu a'lam.

Tuesday, March 15, 2016

Bila Belum Saatnya

Tadi pagi ketika berangkat ke tempat tugas, saya berpapasan dengan seorang anak laki-laki dengan seragam putih-merah, mengendarai motor dengan gagahnya. Sore hari saat perjalanan pulang, di bawah gerimis sisa hujan, kembali saya bertemu dengan dua anak kecil berboncengan naik motor. Lihatlah, bahkan kakinya pun belum bisa dengan sempurna menginjak tanah, tapi mereka sudah berani mengendarai motor. Apa yang ada dalam pikiran kita saat melihat pemandangan seperti ini?
"Wah, hebat ya, anak kecil sudah lihai naik motor! Saya yang setua ini saja tak berani ...." Itu komentar seorang teman yang merasa sudah berumur, tapi keberanian untuk mengendarai si bebek itu belum kunjung mampir juga.
Atau ...
"Astaghfirullah, kecil-kecil sudah bisa naik motor, kan belum punya SIM? Nanti kalau kena tilang, bagaimana?"
Atau malah biasa-biasa saja?
"Ah, memang sudah zamannya anak-anak bisa naik motor. Lumayan, bisa disuruh beli cabe."

Fenomena seperti ini memang sudah menjadi hal yang sangat wajar dalam masyarakat kita. Mengapa demikian? Ada akibat pasti ada sebab, kan? Apa sebabnya? Ternyata keadaan ini diciptakan oleh para orang tua sendiri. Seperti komentar yang terakhir di atas. Mereka menganggap sudah zamannya, anak-anak juga boleh mengendarai motor supaya bisa membantu orang tuanya. Yang lebih menyedihkan lagi, hadiah motor menjadi iming-iming jika anaknya lulus SD. Ini benar-benar terjadi dengan anak didik saya. Miris, bukan? Lebih miris lagi, ada anak yang tak mau sekolah kalau tidak dibelikan motor. Dan, lebih sangat miris lagi, orang tua mampu membelikan motor untuk anaknya, tapi tak mampu menyekolahkan anaknya. Sehingga anaknya hanya keluyuran tak tentu arah hidupnya.

Padahal kita semua tahu, bahwa syarat seseorang boleh mengendarai motor, harus memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi). Sedangkan SIM hanya bisa diperoleh setelah usia 17 tahun. Selain itu, dalam mengendarai motor atau mobil (tidak berlaku untuk sepeda, ya) dibutuhkan kedewasaan seseorang. Tujuannya apa? Tentu saja untuk menjaga keselamatan diri sang pengendara dan juga orang lain sesama pemakai jalan. Dalam hal ini, anak-anak dianggap masih kurang pertimbangannya saat naik motor. Mereka kurang peduli dengan keselamatan orang lain. Kadang-kadang keselamatan diri sendiri pun diabaikan. Dalam benak mereka hanya ada kesenangan, berkendara sambil bercanda, dan sering ngebut tanpa memperhatikan sekitarnya.

Selain beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas, sebab atau alasan lainnya anak belum boleh mengendarai motor sendiri adalah, karena sekarang banyak begal tangan kosong. Mengapa saya sebut demikian? Karena memang begalnya benar-benar tak membawa senjata apa pun, tangan kosong. Hanya bermodal gertakan, motor sudah berpindah tangan. Berbeda dengan begal yang menyerang orang dewasa. Pasti mereka membawa senjata. Entah pistol, pisau, atau clurit dan sejenisnya. Sudah ada tiga kasus seperti itu di sini, di daerah saya. Semuanya terjadi bukan di jalanan sepi di pinggir hutan, tapi di perumahan! Sang anak? Hanya bisa menangis ketakutan. Takut dengan si begal dan takut dimarahi orang tua karena pulang jalan kaki. Motornya mana, Nak? Na'udzubillaah min dzalik! Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Kita, kita lah yang rugi. Orang tua yang rugi, bukan?

Sebagai orang tua, mari kita berpikir ulang ketika mau memfasilitasi anak. Saat kita tidak mengabulkan keinginan mereka untuk mempunyai dan mengendarai motor sendiri, bukan berarti kita tidak sayang. Justru itulah ekspresi sayang yang sesungguhnya. Karena kasih sayang tidak melulu harus diungkapkan dengan materi, tapi dengan perhatian dan sikap kita yang tulus. Hadiah materi yang tidak pada tempatnya, justru akan mencelakai anak kita, cepat atau lambat.

Monday, March 14, 2016

Ta'aruf yang Sesungguhnya

Bismillaah


Kriiiing...kriiiing...
Dering telepon terdengar menjerit-jerit minta diangkat. Kulihat jam dinding yang ada di atas meja telepon, hampir pukul sembilan malam. Siapa malam-malam begini telepon?
"Assalamu'alaikum?" sapaku berusaha ramah meski badan lelah tak terkira. Maklum baru sampai rumah dan belum sempat istirahat.
"Wa'alaikumussalam. Nindy, ya?" tanya seorang perempuan di ujung sana.
"Iya betul. Dengan sia... Eh, Okti, ya?" tanyaku setengah kaget plus senang.
"Betul, Nin. Gimana kabarnya, Nindy?"
"Alhamdulillah baik. Okti gimana?"
"Alhamdulillah baik juga."
"Tumben nih, malam-malam telepon, ada kabar apa, Ti?" tanyaku penasaran.
"Iya maaf, soalnya jam segini aku baru bisa santai karena anakku sudah tidur. Kalau dia belum tidur, aku nggak bisa ngapa-ngapain, Nin."
"Oo... Begitu. Repot ya, punya bayi?"
"Sedikit, tapi banyak senangnya, kok."
"Kapan, ya, aku bisa ngerasain seperti itu?"
"Justru itu aku telepon kamu, Nin. Ada ikhwan, teman suamiku, mau ta'aruf sama kamu, mau nggak?" tanya Okti dengan nada yang sengaja dilambatkan. Sepertinya takut kalau aku syok, terus pingsan mendengarnya.
Siapa yang nggak kaget? Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba Okti yang sudah dua tahun menghilang dari peredaran (emang barang dagangan?), tiba-tiba muncul dengan berita yang begitu mengejutkan dan fantastik buatku. Saat itu aku seperti ketiban duren runtuh. Sakit, dong? Nggak lah. Itu kan kiasan, maksudnya seneng banget, gitu.

Itulah awal mula proses ta'arufku dengan suami yang sekarang selalu membersamaiku dalam duka dan suka. Setelah berita itu, kami bertukaran biodata melalui Okti, sahabatku yang luar biasa ini. Dua tahun tak bertemu, tak membuatnya melupakanku. Ternyata lewat dialah aku bertemu pasangan hidupku. Terimakasih Okti.

Waktu pertama kali baca biodata calon suami, aku merasa nggak yakin, bahkan cenderung sangsi. Apa benar ini jodohku? Tapi proses terus berlanjut ke pertemuan langsung di rumah ustadzahku. Ditemani sang ustadzah, kami saling berkenalan dan bercerita tentang kegiatan masing-masing. Tahukah kau bagaimana perasaanku saat itu? Meski kami duduk berjauhan dan di ruang terpisah, tanganku tetap saja terasa dingin dan badan gemetaran. Jantung pun berdegup lebih kencang. Seperti atlet yang baru selesai lomba maraton. Keringat bercucuran, napas ngos-ngosan.
Nggak karuan, deh, rasanya. Dan, mukaku terasa panas. Kalau aku bisa lihat di cermin, mungkin sudah seperti kepiting rebus, karena menahan malu. Sayangnya waktu itu nggak sempat bercermin.

Setelah pertemuan itu, kami diberi waktu seminggu, kalau tidak salah, untuk sholat istikhoroh memohon petunjuk Allah. Dalam seminggu itu, ternyata hatiku berubah-ubah. Bahkan sempat terbersit pikiran untuk menghentikan proses ini karena aku merasa tidak sreg dengannya. Setelah terombang-ambing dengan perasaan yang nggak jelas, di saat-saat terakhir masa istikhoroh, Allah mulai memberikan petunjuk-Nya. Aku yang sempat tidak sreg akhirnya mantap untuk menerima khitbahnya.

Sesuatu yang baik, seharusnya segera dilaksanakan agar tidak disusupi oleh godaan dan fitnah setan. Itu pula yang ingin kami lakukan. Setelah resmi khitbah, inginnya langsung ke akad nikah. Tapi, pertimbangan keluargaku ternyata berbeda. Karena aku dibesarkan oleh keluarga besar dari almarhum bapak dan ibuku, maka untuk masalah pernikahanku juga harus melibatkan mereka. Akhirnya kami harus menunggu enam bulan untuk sampai ke gerbang mahligai rumah tangga. Alhamdulillah.

Bukan perjalanan yang mulus memang, untuk menyatukan dua insan dalam satu ikatan yang mulia. Karena pada hakikatnya, ketika dua insan menikah, tidak hanya dua sejoli itu yang bertemu, tetapi dua keluarga besar. Dan, untuk menyatukan keduanya, diperlukan kesabaran dan kegigihan agar niat juga tetap terjaga. Tapi, percayalah! Kalau kita berjalan di atas syariat Allah, in-sya Allah pertolongan-Nya sangat dekat. Lamanya usaha dan proses yang kita jalani, semakin menambah keyakinan bahwa segigih apa pun ikhtiar kita, kalau Allah tidak berkehendak, maka hasilnya pun tidak ada. Tawakal kepada Allah menjadi alternatif terbaik yang harus kita pegang.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#Tantangan Minggu Ketiga Maret

ODOP: Entertaining, Inspiring

Bismillaah

Ini untuk kali kedua saya menulis tentang arisan blog part 2. Jumat kemarin saya sudah menulis tapi tidak bisa dipublikasikan dari hp. Sepertinya bermasalah pada gambar yang saya sertakan dalam tulisan itu. Sabtu pagi, di sela-sela mengajar BIB (Bimbingan Intensif Belajar) siswa kelas 6, saya sempatkan mengetik di laptop. Tapi ternyata tampilan blog saya sudah berubah, sudah dimodifikasi oleh siswa Bang Syaiha. Jadilah saya bingung mau post di mana. Ada kolom 'What's ...' apa, gitu, saya lupa. Nah, saya tulislah tugas arisan di situ. Bisa di-publish, tapi kok tidak muncul di beranda blog? Ada apa gerangan? Karena bingung, akhirnya sekarang saya terpaksa menulis lagi di halaman baru. Rasanya gimana... gitu. Kesal, kecewa, sedih, de-el-el. Jadi ngat teman yang keluar dari grup ODOP gara-gara kritikan yang tak enak itu. Saya baru dapat masalah begini saja sudah bete, apalagi beliau, ya? Kuatkan hatimu, Mba! Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Biarlah orang mau berkata apa, kalau yang kita lakukan benar, maju terus pantang mundur! Merdeka! Eh.

Karena tulisan yang kemarin bermasalah, jadi kali ini saya menulis seadanya saja. Sekadar menggugurkan kewajiban biar tidak tereliminasi dari dunia ODOP. Jadi mohon maklum, ya. (Ah, memang tulisan saya dari pertama juga cuma seadanya saja, ya?)

Saya cuma ingin memberikan informasi betapa dunia ODOP itu sangat glamour dan gemerlap bak bintang gemintang yang ada di langit malam.

Jadi begini, selama berada di ODOP, saya banyak mendapat ilmu, wawasan, inspirasi, dan juga hiburan. Glamour dan gemerlapnya ODOP berbeda dengan yang ada pada dunia selebriti. Di sini, kita mendapat ilmu dengan cara yang elegan, sederhana, tidak seperti digurui atau diceramahi. Jadinya seperti belajar sambil bermain ala anak TK. Asyik, kan? Mengapa demikian? Simak, ya!

Jenis ilmu pertama yang bisa ditemukan di ODOP adalah tentang pencerahan atau tausiyah agama. Ini bisa kita dapatkan pada tulisan-tulisan Mas Ahmad Farid. Beliau yang masih muda dan masih kuliah di LIPIA (Sebuah perguruan tinggi yang bergengsi karena bahasa pengantarnya bahasa Arab. Ingin sekali anakku bisa kuliah di sana biar jadi ulama, aamiin) ini, sudah bisa menghasilkan tulisan yang sangat dalam maknanya.  Tulisannya tidak pernah lepas dari nilai-nilai agama. Pas banget buat kita yang haus dengan siraman ruhani.

Ilmu kedua yang bisa dibawa pulang dari blog walking di dunia ODOP adalah berupa wawasan tentang seluk-beluk pengkarantinaan. (Betul, tidak ya, bahasanya?) Dari mana kita peroleh ilmu macam itu? Dari siapa lagi kalau bukan bu dokter yang cantik dan ramah ini? Ya ... Mba Julia Rosmaya. Saya juga baru tahu tentang pengkarantinaan itu ya, dari beliau ini.

Ilmu ketiga akan kita dapatkan dari Kang Saepudin. Kalau di blog Kang Sae ini wawasan yang bisa dikantongi warna-warni, lho. Jadi seru, bacanya. Seperti mengulum permen nano-nano, deh. Rame rasanya!

Terakhir ilmu tentang perbanyolan atau apalah. Yang jelas, kalau kita dolan ke blog Ken Patih ini, dijamin sakit perut. Ini berdasarkan hasil survei di dunia ODOP, lho. Sakit perutnya bukan akibat makan yang pedas-asem, tapi karena tertawa. Bahkan ada ODOPers yang sampai tertawa guling-guling. Luar biasa kocokannya.

Penasaran, kan? Ayo segera melawat ke blog mereka, biar seperti saya, makin banyak ilmu, inspirasi, dan terhibur. ODOP is really entertaining and inspiring!

Alhamdulillah tuntas juga akhirnya.

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Saturday, March 12, 2016

Jilbab Halal

Bismillaah
Hari ini saya mencoba untuk menulis isu yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat. Setelah kemarin tidak sempat menulis karena mentok memikirkan tantangan minggu kedua ini, akhirnya dapat ide juga setelah membaca tulisan Ken Patih. Terimakasih bang sudah memberi inspirasi. Ternyata bisa kok, menulis yang ringan-ringan saja seperti Ken. Alhamdulillah...
Jilbab halal. Baru-baru ini iklan sebuah produsen jilbab yang mengklaim bahwa jilbab yang diproduksinya sudah tersertifikasi halal, justru menimbulkan polemik di masyarakat. Bahkan banyak pula yang apatis. (Bahasa apa ini, saya juga nggak mudeng)
Sebagai muslim kita patut menghargai usaha produsen tersebut, terlepas niatnya benar atau tidak. Yang jelas, sebagai seorang muslim memang kita wajib menggunakan segala sesuatu yang halal. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasul tercinta kita, bahwa mencari yang halal itu wajib bagi setiap muslim. (HR. Tirmidzi)
Dulu sebelum teknologi secanggih saat ini, yang harus mempunyai label halal itu hanya makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tapi sekarang, setelah terkuak tentang penggunaan babi dalam hampir semua produk barang, kita memang harus lebih selektif. Jangan sampai ibadah kita tidak sah karena ada benda najis yang menempel di badan kita.
Seperti kita ketahui, hampir 99% tubuh babi bisa dimanfaatkan oleh manusia. Dari bulunya, sampai jeroannya. Bulunya sudah biasa digunakan untuk kuas (baik kuas makanan maupun kuas cat/lukis), kulitnya untuk pembuatan tas, sofa, dan baran-barang lainnya. Enzimnya? Luar biasa banyaknya kegunaan enzim babi, bukan? Dari bahan tambahan makanan sampai media pembuatan vaksin imunisasi, dan alat kosmetik yang sangat lekat dengan wanita. Semuanya sudah tercemar najis, karena sesuatu yang haram pada hakikatnya juga najis.
Tapi kita tidak perlu cemas karena sekarang sudah banyak produk makanan maupun kosmetik yang sudah bersertifikasi halal. Terlepas tadi, apakah niat para produsen lurus atau tidak. Itu urusan mereka dengan Allah. Kewajiban kita hanyalah sebisa mungkin menggunakan yang halal sesuai kemampuan kita.
Kembali ke masalah jilbab halal, maksudnya jilbab yang disertifikasi halal, kita tidak perlu repot kok. Untuk melakukan kewajiban agama, Allah memudahkan kita. Kerjakanlah semampunya. Kalau memang jilbab halal harganya tidak terjangkau oleh kantong kita, tidak usah beli. Jangan sampai malah tidak pakai jilbab gegara belum bisa beli yang berlabel halal.
Sebenarnya yang berlabel halal itu bahan kain yang digunakan untuk membuat jilbab. Berarti termasuk pakaian kita pun juga rawan najis. Menurut MUI, dalam proses pembuatan kain, ada satu tahapan yang dikhawatirkan rawan. Yaitu pada saat pencucian kanji dari kain yang akan diberi warna. Untuk bahan katun, kanji itu hanya bisa luruh dengan bantuan enzim binatang. Dan, biasanya, dengan alasan murah, produsen menggunakan enzim babi. Wallahu a'lam.
Untuk lebih jelasnya, silakan buka: Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI
www.halalmui.org
#One Day One Post
#Februari Membara
#7th day

Friday, March 11, 2016

Merindu Maghfirah-Mu

Kelam
Mentari berhias muram
Hitam menyelimuti alam
Pagi serasa malam
Sebentar namun mencekam
Berjuta hamba berdzikir
Melantun takbir juga istighfar
Menghina diri di haribaan Yang Maha Besar
Diliputi takut dan khawatir
Akankah selamat diri atau berakhir?
Ya Robbii...
Nikmat-Mu sering diingkari
Syukur hampir tak ditemui bersama hari
Menyesal diri telah lalai
Janganlah hukum kefakiran diri ini
Ya Robbanaa...
Keagungan-Mu melenakan hamba
Kebesaran-Mu menciutkan asa
Perkasa-Mu sadarkan raga,
Akan khilaf dan dosa
Kemuliaan-Mu semikan doa
Ridho juga rahmat-Mu slalu kudamba
Jannah-Mu menjadi cita
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Wednesday, March 9, 2016

Dapur Ceria

Bismillaah
Hari libur adalah hari yang selalu dinanti keluargaku. Sehari sebelumnya, si bungsu pasti sudah berceloteh, "Mi, besok libur, ya?"
"Iya, Dek," jawabku.
"Libur semua, Mi?" tanyanya lagi.
"Iya," jawabku pendek.
"Asyik ... Berarti besok jalan-jalan ya, Mi?"
"Insyaallah."
Begitulah setiap hari libur menjelang. Dan itu pula yang terjadi hari ini. Bedanya, kami mulai pagi ini dengan sholat kusuf berjamaah di masjid. Sedangkan pada hari libur biasanya, begitu mentari mulai menampakkan diri, kami langsung jalan pagi. Rute yang biasa kami lewati adalah persawahan di sebelah selatan perkampungan. Setelah itu masuk ke daerah perumahan di belakang rumah, mampir di warung sayuran dan penjual kue, baru kembali ke rumah.
Jalan sehat sekaligus belanja sayur dan kue kesukaan anak-anak.
Pagi ini kami tidak melewati persawahan karena harus sholat di masjid. Jadi, potong kompas saja. Dari masjid langsung beli sayur dan pulang.
Sampai di rumah, aku dan anak-anak istirahat sebentar sambil menikmati jajanan tradisional yang kami beli. Setelah itu menuju dapur mungil kami. Di dapur yang mempunyai pintu di ketiga sisinya ini, kami memulai aktivitas memasak.
"Aku yang ngupasin wortel ya, Mi?" kata jagoanku sambil duduk di lantai depan kulkas yang berdiri angkuh di dekat pintu sebelah kiri.
"Aku yang motongin jagung," sahut si bungsu tak mau kalah sambil duduk membelakangi dispenser dan magic jar yang berjajar di sisi kanan dapur, antara pintu masuk ruang tengah dan pintu sebelah kanan dapur.
Begitulah suasana memasak di hari libur. Penuh dengan celotehan dan gurauan, sahut-menyahut. Sambil mengupas, memotong, kami bercanda dan kadang-kadang adu mulut berebutan sayuran. Meriah! Memasak menjadi aktivitas yang menyenangkan. Anak-anak bisa belajar sambil bermain. Setelah selesai, kini saatnya mencuci dan memotong kecil-kecil. Tanpa dikomando, mereka akan mengajukan diri sebagai sukarelawan.
"Aku yang nyuci," kembali suara si bungsu mendahului yang lain. Lihat saja, dia sudah berdiri di atas kursi kayu di depan wastafel yang mojok di sudut kanan dapur. Tangannya sibuk mencuci sayur-mayur. Air kran yang mengalir deras membasahi bajunya. Di sampingnya, Azmi sudah siap memotong sayuran yang telah dicuci. Di depan Azmi, rak piring kecil siap menampung cucian piring dan gelas untuk ditiriskan. Aku berdiri di samping Azmi, menghadap rak kecil lainnya tempat gula, teh, garam, dan kawan-kawan, sambil meracik bumbu sop. Di sebelah kiri rak gula, lebih rendah 20 cm, kompor gas mungil kami sudah siap melaksanakan tugas. Kompor itu berada di pojok sebelah kiri berdekatan dengan jendela yang tak pernah dibuka lagi.
Kumasukkan sayur-mayur hasil kerja anak-anak bersama bumbunya. Setelah matang, kini saatnya menyantap hasil masakan rame-rame. Rasanya mungkin tak seenak masakan restoran, tapi karena anak-anak yang mengerjakan sendiri, mereka merasa puas dan lahap menikmatinya. Alhamdulillah ... Sebuah nikmat yang tiada taranya.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Tuesday, March 8, 2016

Gerhana Matahari Dulu dan Sekarang


Hari ini saya merasa semua orang heboh dengan akan hadirnya gerhana matahari esok pagi. Rekan-rekan guru, siswa-siswi,  bahkan anak-anak di rumah pun tak mau kalah untuk memperbincangkan topik ini. Apalagi suami. Sejak kemarin sudah sibuk searching seluk-beluk gerhana matahari dan tata cara shalat kusuf. Tugas sebagai anggota DKM katanya.
Kalau Allah berkehendak, besok adalah kali kedua saya ikut merasakan gempitanya orang-orang menyambut gerhana matahari. Kira-kira 30 tahun yang lalu, waktu saya masih kelas 3 SD ( kalau tidak salah), sambutan masyarakat akan fenomena alam yang langka ini juga sangat luar biasa. Sampai-sampai turis mancanegara pun berbondong-bondong ke Indonesia untuk ikut menyaksikannya. Mereka membawa peralatan yang serba canggih untuk bisa menikmati keindahan alam yang hanya akan terjadi 30 tahun lagi itu.
Berbeda dengan para turis itu, kami, warga desa, hanya bisa melihat keajaiban alam itu melalui layar televisi hitam putih. Namanya juga hitam putih, jadi yang dilihat ya hanya bulatan hitam bulan yang menutupi matahari. Nggak ada indah indahnya pisan. Sedangkan mereka, para bule itu, bisa leluasa memandang keindahan langka itu dengan lensa mereka. Di luar rumah! Bagaimana dengan kami? Hanya bisa berdiam di dalam rumah karena takut mata akan buta bila sampai terkena sinar sang mentari yang sedang dimakan buto (raksasa).
Itu dulu. Sekarang? Ketakutan itu sudah tidak ada. Berkat informasi dan teknologi yang serba canggih, kita tahu bahwa peristiwa alam ini tidak berbahaya. Asalkan tidak melihat langsung ke matahari, maka tak akan terjadi apa-apa. Melihatnya dari tivi yang di rumah saja. Kalau ke matahari langsung, bisa gosong. (Hehe ... Ngaco nih tulisannya).
Alhamdulillah, sekarang gempita sambutan masyarakat berupa ajakan dan seruan untuk melaksanakan sholat sunah kusuf. Hampir di setiap masjid akan dilaksanakan sholat ini. Suatu kemajuan yang menggembirakan dan harus disyukuri. Semangat untuk syiar Islam tumbuh di mana-mana bagai jamur di musim hujan. Dan, memang sekarang sedang musim hujan. Pas banget!
Selamat menunaikan sholat sunah kusuf besok pagi!
Dan selamat menikmati keajaiban alam yang langka!
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Monday, March 7, 2016

Aman Berkendara

Sabtu pagi, ba'da subuh, grup wa di lingkungan tempat tinggal saya heboh oleh berita kematian. Berita ini ramai disiarkan di wa antar tetangga, antar guru, dan antar teman. Mengapa sampai seheboh itu? Bukankah kematian itu sesuatu yang pasti terjadi kepada siapa pun dan kapan pun? Bukan hal yang aneh, bukan?
Tentu saja heboh, karena yang meninggal adalah seorang kepala sekolah SD di lingkungan kami. Saya tinggal di daerah yang masih bisa dibilang pedesaan, meskipun di sekitar kami banyak pabrik dan real estate. Karena masih suasana desa, meskipun sesuatu terjadi kepada seseorang yang tidak kita kenal,  berita itu akan dengan mudah dan cepat menyebar. Seperti berita kematian ini.
Bapak kepsek ini masih muda dan baru dikaruniai seorang putra yang masih batita. Beliau meninggal setelah koma beberapa saat di rumah sakit. Penyebabnya adalah kecelakaan. Ketika naik motor, kata narasumber yang saya juga tidak tahu, motornya tersenggol angkot sehingga jatuh dan terlindas truk. Tubuhnya dari  bagian pinggang ke bawah, hancur. Na'udzubillaah min dzalik. Sungguh mengerikan.
Peristiwa seperti ini sering terjadi di daerah saya yang merupakan kawasan industri. Di sini banyak mobil truk dan kontainer berlalu lalang. Meskipun ada aturan bahwa mereka hanya boleh beroperasi di malam hari, realitanya di sepanjang hari mereka ikut meramaikan jalan raya, dan menjadi salah satu penyebab kemacetan. Ditambah lagi jumlah pengendara motor yang setiap hari selalu bertambah. Kata seorang sales dealer motor, dalam sebulan mereka bisa menjual motor rata-rata 100 unit. Bahkan pada akhir tahun 2015 kemarin, dari satu  dealer saja terjual hampir 500 unit. Itu baru SATU DEALER.  Jumlah yang sangat fantastik! Makanya, para pengendara motor sudah seperti kerumunan semut yang berjumlah ribuan di jalanan.
Karena jumlah kendaraan bermotor yang begitu banyaknya, jalan raya jadi selalu macet. Kalau dulu, kemacetan hanya terjadi di depan pasar. Sekarang, hampir di setiap ruas jalan terjadi kemacetan. Inilah yang mungkin menjadi pemicu terjadinya kecelakaan. Orang-orang saling berpacu dengan waktu, tapi jalanan macet tidak mau diajak kompromi. Akhirnya ngebut menjadi satu-satunya alternatif untuk bisa sampai tujuan tepat waktu.
Saya sebagai orang yang juga berkendara motor untuk sampai ke tempat kerja, merasakan betul suasana saling berpacu ini. Kadang ngeri melihat mereka yang dengan sakpenak udelnya nyalib, padahal jarak dengan kendaraan lain hanya hitungan sentimeter. Benar-benar taruhan nyawa yang tak seimbang. Bagaimana tidak seimbang? Ya ... Saat mau mendahului kendaraan lain, kita pasti sudah prediksi jarak, kecepatan, dan waktu sehingga bisa mendahului dengan aman. Tetapi kalau perhitungan kita meleset, kita bisa tersenggol atau tertabrak, dan fatal akibatnya. Sedangkan kalau mau bersabar beberapa menit saja, kita bisa sampai tujuan dengan selamat. Diri kita selamat, orang lain juga selamat.
Dari pengalaman berkendara, ternyata meskipun kita sudah hati-hati, dan sudah membuat prediksi yang jitu, kadang kecelakaan tetap saja terjadi. Di sinilah tawakal kita diuji. Bagi saya, keselamatan bukan berasal dari kehati-hatian semata. Tetapi benar-benar karena kehendak Allah. Betapa pun hati-hatinya diri kita, tapi kalau Allah berkehendak, kecelakaan bisa terjadi kapan saja. Penyebabnya bisa karena pengendara lain yang tidak hati-hati.
Bagaimana agar kita bisa aman dalam perjalanan dan selamat sampai tujuan?  Beberapa tip ini mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan.
1. Berdoa
A. Doa keluar rumah yang sudah diajarkan Rasulullah, hendaknya selalu kita lafadzkan ketika mau bepergian jauh, mau pun dekat.
بسم الله توكلت على الله لاحول ولا قوت الا بالله
Dengan doa ini, insyaallah kita akan lancar saat di jalan dan selamat sampai tujuan.
B. Doa naik kendaraan darat
سبحان الذي سخرلناهذاوماكنا له مقرنين و انا الى ربنا لمنقلبون
Atau doa naik kendaraan laut/air
بسم الله مجرها ومرسهاان ربي لغفور رحيم
2. Berdzikir
Dzikir saat berkendara, membuat kita tetap fokus dan tidak mengantuk. Kebanyakan kecelakaan terjadi karena tidak fokus, lelah, dan mengantuk. Ini bisa diatasi dengan dzikrullah. Tetapi kalau kantuknya sudah tak tertahankan, sebaiknya memang istirahat dulu supaya aman.
3. Pakailah pakaian yang aman. Ini biasanya terjadi pada kaum saya, kaum perempuan, yang suka mengenakan baju dan jilbab berkibar-kibar, kadang-kadang sampai menutupi lampu sen. Ini sangat berbahaya. Yang pertama, baju atau jilbab bisa masuk ke roda/ rantai dan menyebabkan si pengendara jatuh sehingga terluka, bahkan ada yang meninggal. Yang kedua, bila menutupi lampu sen, ketika akan belok, pangendara di belakang kita tidak tahu, dan bisa berakibat tabrakan.
4. Jaga emosi
Usahakan saat berkendara, kita dalam keadaan tenang, tidak sedang marah/ kesal, atau sedih yang bersangatan. Bila kita dalam kondisi ini, akan mengurangi kefokusan. Oleh karena itu, antarlah pasangan kita yang akan pergi berkendara dengan senyuman bukan dengan omelan, sehingga hatinya nyaman dan tidak kemrungsung.
Itulah beberapa tip yang saya ambil dari pengalaman pribadi. Kalau ada yang mau menambahkan, saya akan menerima dengan senang hati.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Friday, March 4, 2016

Puyeng Berbuah Seneng

 
Bingung, puyeng, senut-senut kepalaku dua hari ini. Kenapa puyeng? Iya, puyeng karena cari-cari inspirasi nggak ketemu-ketemu. Sudah obrak-abrik dompet, eh ... kosong. Bongkar-bongkar tas, cuma ada laptop. Kemana para ide pergi, ya? Padahal tugas ODOP belum ditunaikan semua, nih. Belum buat tugas arisan! Kata Bang Syaiha, kalau dalam lima hari berturut-turut ada bolong posting, disuruh keluar dari ODOP! Aduuh ... Jadi ngeri!
Kepuyengan ini sebenarnya sudah sering terjadi. Alhamdulillah, meskipun tidak minum puyer atau tablet, nanti juga hilang sendiri. Saat banyak ide berjejalan di kepala, berdesak-desakan minta keluar, itu juga bisa bikin aku puyeng. Kenapa? Soalnya aku jadi bingung plus bimbang mau menulis yang mana. Padahal kalau tahu ilmunya, mah, nggak usah pusing, ya? Nah, baru-baru ini, kira-kira beberapa menit yang lalu, lihat di facebook, Mas Septian sharing tentang ini. Di sana beliau berbagi foto-foto penulis Dee dalam proses menulis buku, sepertinya.
Salah satu foto itu berisi beberapa kertas karton yang ditempel di dinding. Kemudian ada satu tulisan besar di atasnya, seperti judul. Tulisan itu berbunyi IDEA BOARD dan SCENE BOARD. Maaf kalau salah, ya mas. Mata saya sudah susah baca tulisan yang kecil-kecil. Nah, kalau menurut persepsi saya, catatan-catatan yang ada di bawah IDEA BOARD itu tentang ide-ide yang akan ditulis oleh Mba Dee.
Berarti kalau punya banyak ide, harus kita tulis supaya tidak terbang melayang ke angkasa, ya? Kira-kira begitu kesimpulan yang kusimpulkan sendiri.  Alhamdulillah, dapat ilmu lagi dari teman ODOP. Terimakasih Mas Septian.
Ternyata kepuyenganku tidak hanya berkaitan dengan ide untuk menulis. Kadang pikiran ini merasa buntu saat mengajar. Sudah berusaha menjelaskan dengan berbagai gaya dan cara, ternyata masih ada saja siswa yang belum paham. Mereka masih belum mengerti apa yang aku bicarakan hingga berbusa-busa. Di saat genting seperti itu, eeh dapat ilmu lagi dari ODOPers. Kali ini Mba Hidayati Nur yang berbagi media pengajaran yang sangat kreatif. Bentuknya seperti ular tangga, tapi lebih besar. Media itu digunakan Mba Hidayati untuk membahas soal try out, kalau tidak salah. Keren banget, kan, idenya! Itu bisa kupakai juga untuk mengajar. Selain seru, anak-anak pasti tidak akan mudah mengantuk. Dan, tentu saja, lebih mudah mengerti dan lebih lama melekat dalam memori siswa.
Puyeng dalam menulis sudah ada obatnya. Puyeng dalam mengajar sudah ada solusinya. Kalau puyeng karena lelah melakukan dua hal itu, obatnya apa, ya? Kalau menurut Mba Desi, mungkin traveling bisa jadi obat yang manjur. Ah ... Itu ide yang brillian Mba Desi. Apalagi kalau jalan-jalan ke negeri Ipin-Upin seperti Mba Desi. Asyik, pastinya, ya? Mba Desi, ajak aku, dong! Ingin rasanya melihat menara Petronas, yang kabarnya paling tinggi sedunia itu. Betul nggak, sih, kabar itu?
Tapi, kan, Mba Desi ke Malaysia bukan plesir thok, ya? Tapi bekerja sambil travelling.
Alhamdulillah, dari puyeng ternyata malah jadi satu tulisan. Terimakasih ya Robb. Semoga aku tidak diusir dari dunia ODOP. Amiin.
#One Day One Post
#Menulis Setiap Hari

Thursday, March 3, 2016

Resah Bunda

http://bidanku.com/images/tips-mengatasi-balita-yang-sulit-terlalu-dekat-dengan-ibu.JPG 

"Bu, gimana sih, penilaian di SD anak kita itu? Perasaan, anakku bisa mengikuti pelajaran, tapi mengapa nilainya di bawah KKM, ya?" tanya Bu Fani emosional.
Bu Fani adalah tetangga sebelah rumah. Kebetulan anak-anak kami belajar di sekolah yang sama. Sani, anak Bu Fani, sudah kelas 5, sedangkan Mufid, anakku, baru kelas 1. Keluhan seperti ini bukan pertama kali kudengar. Bu Fani memang tipe perfeksionis. Sehingga saat melihat nilai raport anak semata wayangnya ada yang di bawah KKM, dia seperti kebakaran jenggot. (Memangnya  punya jenggot???) Tapi saya yakin di dunia ini, terutama di bumi Indonesia tercinta ini, banyak Bu Fani lainnya. Mereka sangat concern dengan nilai akademik anak-anaknya.
Kembali ke Bu Fani. Aku berusaha bijaksana dalam menanggapi keluhannya, meskipun terus terang juga kurang paham dengan maksud pertanyaannya.
"Kalau masalah penilaian, sebaiknya tanya ke gurunya langsung, Bu. Meskipun saya juga guru, tapi bisa jadi sistem penilaian di sana berbeda dengan di sekolah saya, Bu."
"Nggak ... Saya mau curhat aja sama Umi Mufid. Ibu tahu kan, Sani, anak saya? Dia kan nggak jelek-jelek amat kemampuannya. Saya mau bilang pinter, nanti dikira kepedean. Sedanglah ... Tapi mengapa di pelajaran PKn ini dia selalu di bawah KKM? Lihat Bu, lihat nih hasil ulangan hariannya! Memang sih, cuma 74. Tapi kan, tugas-tugasnya selalu dikerjain, Bu. Dia itu rajin, Bu. Duh, kesel banget saya sama guru PKn-nya."
Memang sih, 74 bukan nilai yang kecil.  Tapi karena KKM-nya 75, jadi kurang, deh. Seharusnya nilai segitu bisa di atas KKM bila digabung dengan nilai tugas.  Akan lebih bagus lagi bila ditambah dengan nilai afektif atau sikap sehari-hari. Sani yang sholih itu, menurutku pantas mendapat nilai 80.
" Sepertinya saya harus ke sekolah, Bu. Saya mau tanya ke gurunya. Mengapa Sani tidak bisa mendapat nilai, minimal sesuai KKM, aja. Apakah kerja keras anak saya, kesungguhannya dalam belajar dan mengerjakan tugas, belum bisa dihargai sesuai KKM?"
"Silakan saja, Bu. Tapi Bu Fani tidak boleh emosi begitu saat bicara dengan guru Sani. Posisikan diri kita sebagai orang yang belum paham dan ingin mendapat penjelasan. Setelah kita tahu sistem penilaian yang sebenarnya, baru kita berikan saran sesuai keinginan kita."
"Iya, saya ingin penilaian itu jangan hanya dari hasil ulangan aja, dong. Harusnya juga dari segi ... Apa tadi, Bu?"
"Afektif, Bu."
"Ya, itu, maksud saya. Jadi sikap dan  akhlaknya  juga dinilai. Kasihan, kan, kalau anak sudah berusaha keras, tapi nggak ada nilainya di mata gurunya?"
"Betul, Bu," jawabku mengiyakan.
Kondisi seperti itu masih banyak terjadi di sekolah negeri maupun swasta di negara tercinta ini. Padahal pemerintah sudah mengembar-gemborkan pentingnya pendidikan karakter. Mau kurtinem (kurikulum 2006) atau kurtilas (kurikulum 2013), semuanya mengedepankan pendidikan berkarakter. Walaupun begitu, masih banyak guru yang hanya mengukur kemampuan siswa dari satu sisi; kognitif. Padahal dalam raport model terbaru, nilai sikap juga dimunculkan. Alhamdulillah sekolah tempatku mengajar termasuk yang menghargai karakter siswa. Nilai yang diolah untuk dijadikan nilai raport, diambil dari aspek kognitif dan afektif. Dengan demikian, akan sangat kecil kemungkinan, ada anak yang karakternya tidak bagus, tetapi mendapat nilai yang paling bagus. Sebaliknya, anak yang kemampuannya pas-pasan tetapi karakternya baik, belum tentu pula nilainya pas-pasan, atau malah jauh di bawah KKM.
Ada nasihat bagus yang selalu kuingat dari seorang pejabat UPTD. Katanya, bila nilai raport siswa kita jelek, itu adalah cermin dari hasil kerja kita. Jangan salahkan siswa, tapi introspeksi diri kita terlebih dulu. Mungkin memang kita yang belum bisa mentransfer ilmu dengan tepat sesuai takarannya. Belum pas dalam menerapkan metode dan teknik mengajar. So, mari menjadi guru hebat demi melahirkan generasi muda yang hebat. Terus belajar dan belajar. Jangan hanya mengejar sertifikasi, tetapi kualitas diri tak pernah sempat di-upgrade.
Ayo Nindy, kamu pasti bisa!
#EdisiMenyemangatiDiri
#One Day One Post
#Menulis Setiap Hari

Wednesday, March 2, 2016

Kesah Mutiaraku

Hujan masih mengguyur bumi saat kami tiba di ponpes sang putri sulung. Basah dan dingin tak mengurangi semangat kami tuk segera bersua dengan mutiaraku. Sebulan tak menatap wajahnya, membuat rindu menggunung di hati. Ditambah lagi dengan kabar bahwa dua pekan ini dia demam sehingga tak bisa sekolah dan mengikuti try out. Sedihnya ...
"Mi ... Itu mba Nisa!" kata si bungsu menghentikan langkahku.
"Mana?" tanyaku bersamaan dengan salam yang keluar dari mulut sang kakak.
"Assalamu'alaikum, Umi ..." ujarnya sembari memeluk diriku erat. Ekspresi kangennya membuktikan kerinduan yang telah lama tersimpan.
"Wa'alaikumussalam, sudah sehat, Mba?" jawabku bahagia melihat senyum cerianya mengembang di kedua bibirnya. Lega rasa hati ini melihatnya sehat dan segar, meskipun belum terdengar suaranya menjawab pertanyaanku.
"Alhamdulillah, mi. Cuma masih pusing sedikit," katanya.
Setelah menyimpan makanan dan barang-barang keperluan selama sebulan, kami duduk di teras mushalla. Mushalla ini terletak di luar pagar pesantren, merupakan wakaf dari sang kyai untuk warga sekitar. Tapi masyarakat sekitar jarang terlihat sholat berjamaah di sini. Kebanyakan orang tua santri yang sedang menjenguk anaknya saja. Jadi, suasananya sepi. Enak buat bercengkrama, melepas rindu anak beranak ini.
"Mba, katanya Ustadzah Ina mau dipindah?" tanya suamiku memulai obrolan siang ini.
"Dari dulu beritanya begitu, Bi. Tapi sampai sekarang masih ada, tuh."
"Emang kenapa, Mbak? Ada masalah apa dengan ustadzah itu?"
"Dia itu nyebelin, Mi. Masak hanya gara-gara masalah kecil, dia sampai nyumpahin kami nggak lulus UN, coba?"
"Mungkin karena diulang-ulang. Masalah kecil kalau dilakukan terus-menerus, jadi masalah besar, Mba," suamiku mencoba untuk husnudzon.
"Tapi emang dia itu selalu pilih kasih. Kalau angkatan lain yang berbuat salah, konsekuensinya tak seberat angkatanku. Dan dia itu baper. Kalau marah, mainnya sumpah-sumpah gitu. Masak ustadzah kayak, gitu?"
Itulah sekelumit pembicaraan kami di pesantren. Selalu ada saja keluh-kesah yang keluar dari putri kami itu. Suatu saat dia mengeluhkan teman-temannya yang suka mem-bully-nya. Di waktu yang lain dia curhat tentang guru-gurunya yang terlalu pintar, sehingga saat menjelaskan materi pelajaran terlalu cepat, alhasil jadi susah difahami. Sekarang dia meradang dengan salah seorang ustadzah pengasuhnya. Duuh ... anakku ... anakku... Kapan keluh-kesahmu berakhir?
Dulu, sebelum putriku masuk pesantren, ada seorang teman yang bertanya. Bukan bertanya, tapi berargumentasi tepatnya. Katanya, orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren itu enak, tak ada pekerjaan, karena semua sudah di-handle oleh ustadz dan ustadzahnya. Orang tua seperti itu tidak ada beban dan tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Betulkah demikian? Ternyata pendapat itu tidak benar, menurutku.
Kalau menurut pendapat teman tadi, orang tua tahu beres. Begitu keluar dari pesantren, anak sudah 'jadi', sholeh, berbakti kepada orang tua, dan sederet prestasi lainnya. Dan, orang tua? Tak perlu mendidik dan mengajari apa pun. Uenak tenan, kalau seperti itu, ya. Ternyata itu hanya isapan jempol. Yang kami rasakan, meskipun anak di pesantren, kami tak lepas kontrol begitu saja. Minimal, doa harus selalu dipintakan kepada Sang Khalik, agar buah hati kami bisa beribadah dan belajar dengan baik. Bisa menghafal Al Quran dengan lancar. Selain doa, ikhtiar juga harus selalu dilakukan. Bila orang tua di rumah malas-malasan dalam beribadah, anak yang di pesantren pun akan demikian. Bila orang tua di rumah malas menghafal Al Quran, yang di pesantren pun kena imbasnya pula.
Itulah yang kami rasakan. Jadi, kalau anak sudah di-pesantrenkan, orang tua tidak cukup hanya ongkang-ongkang saja. Selain bekerja mengumpulkan biaya pesantren, juga harus berdoa dan rajin beribadah, supaya radiasinya sampai kepada sang anak. Apalagi pesantren bukan surga yang bebas dari gangguan setan. Di sana juga banyak godaan dan gangguan yang bisa membuyarkan konsentrasi dan tujuan awal tinggal di pesantren. Masalah selalu datang silih berganti. Tinggal kita sebagai orang tua, bagaimana caranya memotivasi buah hati agar tetap istiqomah. Bukan pekerjaan mudah.
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Tuesday, March 1, 2016

Soal, Soal, dan Soal

Semester dua ini benar-benar melelahkan. Bagaimana tidak? Kegiatan kesiswaan dan kurikulum seperti atlet lomba lari. Saling berkejaran, seolah tak mau dikalahkan, apalagi ditinggalkan. Dari Arabic and English Contest, study tour, try out setiap bulan, dan yang sudah ada di depan mata, UAS khusus kelas 6. Sebagai guru yang baik, tentunya harus aktif dalam semua kegiatan tersebut. Tak hanya lelah jasmani, tapi juga pikiran. Meski demikian, alhamdulillah selalu berusaha enjoy sajalah. Sudah risiko orang bekerja, to? Kalau gak mau capai ya, di rumah saja.
Baru selesai membuat soal try out dan mau mengoreksi hasilnya, eee...harus buat soal UAS. Tapi, tak apa, jalani saja. Nanti juga kelar. Buktinya, hari ini soal yang sudah melewati pos pengeditan itu bisa segera di-print. Kubawalah laptop ke kantor. Bahagia rasanya membayangkan tugas membuat soal sebentar lagi tuntas.
Ternyata tak semudah dalam bayangan. Baru ngeprint satu lembar, e... printernya mogok. Capai kali, ya. Pindah deh, ke kantor sebelah. Olala ... benar-benar tak seindah anganku. Printer yang satu ini belum berkenalan dengan laptopku. Berarti harus di- install dulu dong? Oh no... Mana Pak Taufik, sang ahli IT sedang sakit, lagi. Bagaimana, ini?
"Pakai flashdisk saja, Bu", saran Bu Wulan yang juga sudah selesai
ngeprint.
" Saya nggak bawa, Bu", jawabku memelas plus pasang muka sedih, berharap ada yang mau mengasihani. (Cengeng banget, ya!)
"Ini, pakai flashdisk saya saja."
Tawaran yang kunanti datang!
"Iya, Bu. Jazakillah Bu...," sambutku dengan penuh rasa syukur.
Setelah file kupindah ke flashdisk, aku langsung ngeprint menggunakan komputer yang ada di kantor. Laptopku nganggur, deh.
"Aduh, kopi siapa, sih ini? Hampir saja tumpah. Bisa berabe kalau sampai kena kertas soal saya," kata Bu Wulan setengah teriak.
"Paling punya Pak Joko, Bu. Cuma dia, kan, yang suka kopi tubruk begitu," sahutku sambil tetap memandangi monitor komputer dan printer. Takut ada yang salah.
"Kenapa, sih, dia itu seenaknya saja meletakkan gelas kopi di sini. Di meja ini kan, banyak barang elektronik. Kalau ketumpahan bisa rusak semua," gerutu Bu Wulan yang kelihatan masih kesal. Sepertinya dia benar-benar kaget dan takut kertas soalnya kotor. Harus ngeprint lagi, capai, kan?
"Lupa, mungkin, Bu. Beliau kan, sibuk," ujarku berusaha menenangkannya.
"Sibuk apaan? Yang ada mah, sok sibuk. Emangnya dia presiden? Sibuk? Kalau presiden tuh, baru sibuk. Sampai katanya cuma bisa tidur 3 jam dalam sehari," bantah Bu Wulan.
"Masa, sih, Bu, cuma tiga jam? Presiden mana, itu?"
"Mantan presiden Indonesia, Bu. Ah sudahlah jadi ke mana-mana, nih. Sudah selesai ngeprint nya, Bu? Saya mau buru-buru pulang, nih."
"Oh, sudah bu. Ini flashdisk-nya. Jazakillah khairan katsira, Bu Wulan cantik."
"Wa iyyaki, Bu Tika imut."
Alhamdulillah, tuntas sudah tugas minggu ini. Tinggal menyerahkan ke Pak Joko, selesai deh. Oya, Pak Joko itu wakasek kurikulum di sekolahku. Orangnya sibuk, benar-benar sibuk. Bukan sok sibuk seperti pendapat Bu Wulan tadi. Di sekolah, selain sibuk mengatur dan menjaga keberlangsungan proses KBM, beliau juga sibuk merawat kebun sekolah. Di rumah, selain sibuk berkebun juga, beliau juga sibuk beternak burung. Berbagai jenis burung ada di rumahnya. Ada burung dara, burung kenari, burung beo, burung jalak, dan lain-lain. Karena bukan penikmat burung, jadi aku tak hafal semua nama burung. Karena kecapaian mengurusi hobinya itu, beliau suka mengantuk di sekolah. Makanya beliau suka minum kopi dan meletakkan kopi di mana-mana. Di kantor admin, kantor guru, kantor kepsek, di perpustakaan, dan ... di kebun! Ck ... ck ... ck
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari