Monday, February 29, 2016

Ta'aruf



Bismillaah
Sebagai kewajiban anggota yang dapat arisan ODOP, kali ini saya mau memperkenalkan diri supaya teman-teman ada sedikit gambaran dan bayangan karena ada pepatah yang mengatakan, tak kenal maka ta'aruf.
Saya diberi nama Nindyah Widyastuti, lahir di sebuah desa di Kabupaten Klaten. Sebuah desa yang sangat nyaman bagi saya. Udaranya sejuk, airnya bening dan segar, bebas polusi, bila musim kemarau tak kekeringan, dan bila musim hujan tak kebanjiran. Benar-benar surga dunia saya. Tapi sayang, sejak lulus MI, saya harus meninggalkan desa itu dan pindah ke kota kabupaten, tempat saya menimba ilmu di MTs dan SMA.
Ibu sudah meninggal saat saya kelas 3 SD, disusul ayah saat kelas 6 SD. Oleh karena itulah saya ikut paklik di Kota Klaten, dan tinggal di sana selama belajar di MTs dan SMA.
Saya mulai menulis di buku diary sejak kelas 6. Mungkin ini sebagai pelampiasan saya karena tak ada tempat curhat. Jadilah curhat melalui buku. Kebiasaan itu berlanjut sampai mau menikah. Setelah menikah, kebiasaan itu mulai terlupakan karena kesibukan rumah tangga. (Sebenarnya sok sibuk saja, sih, dan malas)
Selain menulis curhat dalam bentuk narasi, saya juga suka membuat puisi. Ada satu buku berisi puisi, itu yang sempat saya kumpulkan. Yang lain? Tercecer entah kemana. Dan, hobi mencipta puisi ini pernah berbuah manis. Puisi saya mendapat juara ke-3 dalam lomba puisi sesekolah waktu SMA.
Masa SMA benar-benar masa yang penuh aktivitas dan prestasi bagi saya. Ketika itu kelompok KIR SMA kami keluar sebagai juara 1 tingkat kabupaten, dan alhamdulillah, saya ikut berpartisipasi di dalamnya. Saat SMA pula saya bisa berkarya dan mendapat kesempatan untuk mempublikasikannya di beberapa majalah pelajar di Klaten. Beberapa kali mendapat kesempatan ikut berbagai jenis lomba, akhirnya bisa menyumbang prestasi menjadi pelajar teladan kedua tingkat kabupaten. Lagi-lagi mentok hanya sampai kabupaten. Tak apa, alhamdulillah mendapat banyak pengalaman dan teman. Prestasi ini tentu saja berkat izin Allah dan bimbingan para guru yang juga menjadi orang tua saya. Jazakumullah khairan katsira bapak/ibu guru semua yang tak kenal lelah dalam membimbing saya. (Jadi terharu ingat mereka, yang sebagian sudah almarhum)
Lulus SMA, saya merantau ke ibu kota, ikut saudara saya yang lain, bude. (Beginilah nasib anak yatim piatu. Selalu mengharap belas kasih orang-orang terdekat dan tercinta.)
Setelah kuliah, aktivitas menulis hanya sebatas di atas buku diary. Tak pernah terpikir untuk mengirimkannya ke media massa.
Tapi ketika mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris, New Concept, saya diamanahi oleh Pak Arsadi Latief (sang owner) untuk membuat buku pegangan siswa. Dalam pembuatan buku ini, saya bekerja dalam tim. Alhamdulillah saya sempat merasakan nikmatnya membuat buku dengan menerima royalti setiap catur wulan.
Sekarang, setelah hampir 13 tahun vakum tidak  menulis, akhirnya dapat kesempatan untuk mengisi mading sekolah. Agak sulit saat memulai dan sering tak punya ide pada awalnya. Alhamdulillah pada awal 2016, Allah mempertemukan saya dengan gerakan One Day One Post yang diprakarsai oleh Bang Syaiha. Jadilah sekarang saya harus menulis setiap hari, dan sekarang harus menulis tentang diri sendiri. Seumur-umur, baru kali ini bercerita tentang perjalanan hidup kepada khalayak ramai. Dulu sih, pernah, waktu ta'aruf. Tapi kan, untuk kalangan intern ya.
Itulah sekelumit tentang saya, semoga ada manfaatnya. (Ngarep.com)
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

Friday, February 26, 2016

Tazkiyatun Nafs | Cerminan Diri



بسمالله الرحمان الرحيم
Dalam buku Tazkiyatun Nafs, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa perilaku orang atau masyarakat di sekitar  adalah cermin diri kita. Ini selaras dengan sabda Rasulullah tercinta, "Seorang mukmin adalah cermin bagi sesamanya. Bila melihat suatu aib pada saudaranya, maka ia memperbaikinya." (HR. Bukhari)
Sering kita merasa kesal dengan suatu perbuatan orang lain, bahkan mencemoohnya dengan kata-kata pedas yang tak pantas diucapkan oleh seorang mukmin. Menurut kita, orang itu naif dan jahil sekali, hingga melakukan sesuatu yang menyebalkan dalam pandangan subjektif kita. Sadarkah kita, bisa jadi, kita pun pernah atau sedang melakukan hal yang sama tanpa disadari?
Pepatah mengatakan, semut di seberang lautan kelihatan jelas, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat. Ajaib, bukan? Kesalahan sepele yang dilakukan orang lain, di mata kita nampak sebagai dosa besar. Tetapi kesalahan diri yang sebesar gajah, bahkan mungkin lebih besar lagi, tak kelihatan setitik pun. Itulah kita, manusia yang dikarunia Allah, akal yang sempurna.
Astaghfirullah...
Sudah saatnya kita muhasabah, introspeksi diri, menghitung-hitung kesalahan diri, menghisab diri sebelum dihisab, seperti kata Umar bin Khattab. Berapa banyak amal baik yang telah kita tunaikan, berapa banyak amal buruk yang sudah menghitamkan hati kita? Beruntunglah mereka yang selalu sibuk dengan kekurangan diri namun terus berpacu memperbaikinya. Merugilah mereka yang terlena dengan kelebihan dan kebaikan diri namun selalu mengungkit-ungkit dan menyebarluaskan kekurangan dan aib saudaranya.
Rasulullah sudah sangat jelas dalam memberikan tuntunan. Bila kita melihat aib saudara kita, itulah cerminan diri kita. Sangat mungkin, kita pun seperti itu. Solusinya? Kembali ke pesan Rasul yang mulia, bila melihat aib saudaramu, perbaikilah. Tegurlah, nasihatilah, jangan malah dibicarakan di belakang punggungngnya. Itu sama saja dengan ghibah. Menegur pun ada aturannya, tidak boleh di depan khalayak ramai, kalau bisa bicara empat mata. (Ini bukan acara tv, lho ya)
Tulisan ini sebagai teguran untuk diri pribadi yang masih belum bisa mengendalikan lidah, supaya bisa lebih sering muhasabah dan men-sholihkan diri. Kumohon bimbingan-Mu ya Robbi.
#One Day One Post
#Februari Membara
#20th Day

Selalu ODOP


Bisa bergabung di One Day One Post alias  ODOP,  adalah "sesuatu" bagi saya. Berawal dari gabung dengan KBM (Komunitas Bisa Menulis), saya membaca post Bang Syaiha tentang tantangan ODOP. Tanpa pikir panjang, saya langsung save no. Wa Bang Syaiha. Ternyata tak semudah dalam bayangan. WA Bang Syaiha tak muncul-muncul. Setelah beberapa hari, baru muncul. Begitu mau daftar, yaaah ... format registrasinya lupa. Cari-cari di fb,  tak ketemu juga. Akhirnya langsung bertanya saja dengan sang komandan, Bang Syaiha. Begitu buka WA, ternyata saya sudah dimasukkan ke grup ODOP dan... masyaallah, banyak sekali yang menyambut saya. Jadi ge-er.
Ya ... kesan pertama gabung ODOP sangat menyenangkan. Para anggotanya sangat ramah dan kekeluargaannya juga sangat terasa. Setiap anggota baru yang datang selalu disambut dengan 'petasan' chat yang gegap gempita. Dan suara notifikasi grup ini tak ada matinya, berdering-dering terus. Dari semua grup yang saya ikuti, ODOP-lah yang paling 'berisik', sampai hp saya buat silent. Meskipun demikian, baca chat di group ini selalu menjadi aktivitas yang asyik. Kadang senyum-senyum sendiri baca obrolan yang lucu, diselingi berantem yang bersahabat. (Berantem kok bersahabat, piye to?)
Apa sih untungnya gabung ODOP?
Banyak sekali! Yang pertama tentunya, kita belajar menulis. Ini sangat penting bagi saya yang masih bau kencur dalam hal tulis-menulis. Selain itu, belajar juga tentang blog. Sesuatu yang sangat baru bagi saya. Terus-terang saja, saya kenal blog ketika gabung ODOP. Karena salah satu syaratnya harus memiliki blog, maka saya beranikan diri untik membuatnya.
ODOP adalah 'sesuatu'. Keharusan untuk menulis setiap hari, membuat saya selalu berpikir, apa yang akan ditulis hari ini. Ke mana pun dan di mana pun, serta kapan pun, selalu ingat ODOP. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Mau makan, ingat ODOP. Mau ngajar, ingat ODOP. Mau masak, ingat ODOP. Mau nyuci, ingat ODOP. Seperti lagu zaman dulu itu. Lagu Dina Mariana, kalau tidak salah. ODOP sudah membuat saya sibuk. Sibuk baca chat, sibuk cari inspirasi, sibuk blog walking. Kesibukan yang terakhir ini telah mencuri fokus saya dari pekerjaan yang lain. Ketika teman-teman sedang terlibat obrolan seru, saya malah asyik baca tulisan teman-teman. Sampai ada yang menegur, "Serius banget, sih, Bu?" Hehe...sedang menikmati tulisan teman-teman yang keren-keren, nih. Jawab saya dalam hati.
Bagi saya ODOP sangat berarti. Sejak gabung di ODOP, saya harus bisa membagi waktu biar bisa menulis. Dan, biasanya saya baru bisa menulis setelah anak-anak tidur. Alhasil, jam tidur saya jadi berubah. Kalau tadinya pukul sembilan bisa menjemput mimpi, sekarang malah masih mencari ide. Sehingga pukul sebelas lebih baru bisa ke pulau kapuk. Apalagi kalau tergoda ingin blog walking, pukul duabelas baru menutup mata.
Tapi saya sedih, karena program ODOP cuma 4 bulan. Setelah itu akan ada penyaringan anggota. Bagaimana kalau saya ter-eliminasi? Haruskah saya berkemas dan pergi dari dunia ODOP?
Kita tunggu saja tanggal mainnya. Pasti Allah sudah punya rencana. Saya bisa ada di sini atas izin Allah, dan kalau pun saya harus ter-eliminasi, itu pun atas kehendak Allah. Tawakal 'alallah saja. Sekian. Semoga bisa menjawab tantangan minggu keempat Februari.
#One Day One Post
#Februari Membara
#19th Day

Wednesday, February 24, 2016

Bedah Kisi-kisi US/M 2016

Alhamdulillah, hari ini Allah memberi saya kesempatan untuk belajar lagi. Beginilah enaknya menjadi guru. Selain bisa berbagi ilmu, bisa menimba ilmu juga. Dan, menimba ilmu itu tidak melulu di dalam kelas. Bisa di lapangan upacara, di tempat parkir, di jalan raya, di warung, dan lain-lain.
Kali ini saya menimba ilmu di salah satu kantor cabang penerbit buku yang lumayan terkenal dan besar. (Perlu disebutkan, tidak, ya? Tidak usahlah, nanti dikira promosi). Agenda yang tercantum dalam undangan adalah Bedah Kisi-kisi US/M 2016. Wah, sungguh suatu keberuntungan! Maklum, dengan kisi-kisi yang paling anyar ini, saya merasa agak sulit dalam membuat soal-soal. Mungkin karena belum terbiasa. Selain itu karena ada beberapa materi baru, seperti jenis-jenis paragraf dan iklan.
Pembicara hari ini adalah Ibu Dra. Dwi Tyas Utami, M.Pd. Beliau termasuk dalam tim pembuat US/M tingkat nasional. Orangnya cantik dan terlihat awet muda meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Cara menyampaikan materinya juga enak, mudah dipahami. Materi yang bagi saya cukup sulit, setelah dijelaskan oleh beliau, jadi terasa mudah.
Materi yang masih terus terngiang dalam pikiran saya (saya sempat bingung bagaimana menjelaskan materi ini kepada siswa) adalah tentang jenis-jenis paragraf. Secara umum, jenis-jenis paragraf ada lima. Yaitu, paragraf argumentasi, deskripsi, narasi, persuasif, dan eksposisi. Ciri paragraf argumentasi adalah berisi tentang pendapat dan saran penulis, menurut beliau. Tetapi saya pernah baca juga, selain ciri-ciri tersebut, ciri-ciri paragraf argumentasi yang lain adalah berisi kesimpulan dari paparan yang sudah dijelaskan oleh penulisnya.
Paragraf deskripsi memiliki ciri khas yaitu menggambarkan sesuatu sehingga sang pembaca merasa seolah-olah melihat dan merasakan langsung apa yang ditulis oleh penulis. Sedangkan paragraf narasi selalu memuat kronologis atau urutan waktu. Tambahan dari literatur yang pernah saya baca, dalam paragraf narasi juga terdapat tokoh dan latar layaknya sebuah cerita.
Paragraf berikutnya adalah persuasif, yang berisi ajakan. Jenis paragraf ini sering digunakan dalam propaganda atau kampanye. Kata-kata yang sering digunakan adalah mari, ayo, dan kata kerja yang berakhiran -lah, seperti bangunlah, berjuanglah, bacalah, dan lain-lain.
Yang terakhir adalah paragraf eksposisi. Paragraf ini berisi tentang teori-teori atau cara-cara melakukan sesuatu. Contoh paragraf ini ialah cara beternak lele, cara menanam tomat, dan yang sejenisnya.
Masih banyak materi yang saya dapat hari ini, tapi yang benar-benar melekat hanya itu. Selebihnya masih melekat di buku catatan, siap untuk dieksekusi di kelas.
Setelah acara tadi, kembali saya merasa tidak bisa apa-apa. Semakin banyak belajar, semakin terasa sedikit ilmu yang baru saya miliki. Semakin sadar, betapa bodohnya diri ini. Dengan kesadaran ini, semoga mencambuk saya untuk semakin sering belajar, belajar, dan belajar. Karena belajar adalah kewajiban seumur hidup. Seperti sabda Baginda Rasul
اطلب العلم من المهد الى اللهد
(Semoga betul tulisannya)
Artinya: Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.
So, mari kita berlomba-lomba untuk terus dan terus belajar. Long life education.
#One Day One Post
#Februari Membara
#18th Day

Tuesday, February 23, 2016

Alifatul Azmi

Hari ini genap sudah usiamu
Dua belas tahun tak terasa
Tlah kaulalui
Dalam santun budimu
Membahagiakan abi dan umi
Membanggakan kakak dan adikmu
Memilikimu adalah anugrah terindah
Karunia terbaik yang kurasa
Nikmat sempurna tak tertandingi
Dari Yang Maha Sempurna mencipta
Merasai hadirmu adalah saat yang ngangeni
Masa yang selalu kunanti
Karna tanpamu
Payah terasa hari-hari
Letih menggayut sendi-sendi
Sepi memeluk malam lebih panjang
Kau adalah bintang kehidupanku
Meski kecil parasmu namun besar peranmu
Kau mentari rumah kita
Mencerahkan dan menggelorakan
Kau sederhana dalam tulus baktimu
Kau istimewa karena halus budimu
Barakallahu fiik ...
Alifatul Azmi
Semoga berkah dan rahmat Allah selalu membersamaimu
Semoga budimu seindah namamu
Semoga  tercapai asamu, asaku
Sholihah ... Hafidzah ...
Bahagia fiddunya wal akhiroh
Aamiin ya robbal'alamiin
#One Day One Post
#Februari Membara
#17th Day

Monday, February 22, 2016

Rindu Membiru

Tangismu menderu dalam deras hujan
Mengiris pilu menguak angan
Memelukmu dalam hangat dekapan
Sangat kuinginkan
Sabarlah sayangku
Sakitmu tanda Allah mencintaimu
Meluruh dosa-dosa dalam ikhlasmu
Menuju maghfirah dan ridho Rabbmu
Berjuanglah malaikat kecilku
Mengumpul ayat demi ayat dalam benakmu
Menderas lembar demi lembar firman Sang Khalik dalam sendumu
Mengharap rahman dan rahim-Nya adalah citamu
Menghiaskan mahkota tuk
Umi dan abi bukti kasihmu
Teguhkanlah permata hati
Penyejuk mata dan sanubari
Penerus dakwah para nabi
Pembela kalimat Illahi Robbi
Doaku selalu menyertai
Yakinlah
Allah kan tuntaskan rindu ini
Esok ku kan datang
Memelukmu seperti asamu
Yang kau titip pada angin malam
Yang kau bisikkan pada gerimis
Allah izinkanlah ...
#One Day One Post
#Februari Membara
#16th Day

Friday, February 19, 2016

Menjaga Firman-Nya

Saat ini sudah banyak penghafal Al Quran bertebaran di muka bumi. Masjid-masjid dihiasi suara merdu para imam yang hafidz Al Quran. Lantunan ayat-ayat suci mendatangkan kesejukan dan keharuan. Tak terasa air mata mengaliri pipi meski tak paham maknanya. Masyaallah.
Lebih syahdu lagi bila menyimak ayat-ayat itu keluar dari mulut-mulut mungil nan suci. Meski balita, mereka begitu memukau hafalan Qurannya. Lengkap dengan langgam yang mendayu dan tajwid yang nyaris sempurna. Sulit untuk percaya bila tak menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Diri selalu tak bisa menyembunyikan rasa takjub saat melihat mereka. Dalam usia yang masih sangat muda, mereka sudah hafidz 30 juz Al Quran. Prestasi yang sangat luar biasa. Bagaimana mereka bisa mencapai itu semua? Pastilah orang tua mereka adalah manusia-manusia pilihan yang tak kalah hebat dengan anak-anaknya.
Ingin sekali diri ini bisa seperti mereka; hafidz Quran. Mungkinkah? Sedangkan usia tak lagi muda. Urusan selalu datang menyapa, membuat azam kembali melemah. Pikiran tak sejernih dan secerdas anak-anak muda yang energik. Waktu pun tak selapang di kala muda. Banyak sekali rintangannya. Tapi, itu hanyalah alasan yang dibuat-buat dan direka-reka. No excuse! Di mana ada keinginan, di sana ada jalan. If there's a will, there's a way.
Menghafal Quran memang bukan pekerjaan mudah, tapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Ibarat mencuci baju, wejangan seorang ustadz yang hafidz. Cucian baju yang menumpuk setinggi Gunung Galunggung, kalau hanya dipandang, tak akan pernah menyusut apalagi selesai. Tetapi kalau dikerjakan, dicuci satu demi satu, sebanyak apa pun akan kelar dan bersih.
Begitu pula dengan menghafal Quran. Quran yang terdiri dari 30 juz itu, kalau hanya dilihat dan ditimang-timang, tentu tak akan pernah bisa direkam otak. Apalagi kalau sudah ada mind set "Wuih, banyak sekali ayatnya. Mustahil bisa menghafalnya!" Nah, tambah sulit saja melakukannya. Tapi kalau kita hafal satu demi satu ayat, lama-lama akan terekam juga dalam memori. Seperti tumpukan pakaian kotor yang mulai bersih satu demi satu, dan akhirnya bersih semua. Begitu pula dalam menghafal firman Allah ini. Ditambah lagi garansi dari Allah bahwa Dialah yang mengajarkan  Al Quran seperti dalam ayat berikut ini
اَلرَّحْمٰنُ ۙ
(Allah) Yang Maha Pengasih,
[QS. Ar-Rahman: Ayat 1]
. عَلَّمَ الْقُرْاٰنَ  ؕ
Yang telah mengajarkan Al-Qur'an.
[QS. Ar-Rahman: Ayat 2]
Oleh karena itulah Al Quran yang sebanyak itu, banyak pula penghafalnya. Hanya kitab suci Al Quran yang bisa dihafalkan. Sedangkan kitab suci yang lain, tak ada satu pun dari umatnya yang bisa menghafal satu kitab penuh.
Jadi, meskipun dengan tertatih, akan kujalani proses menghafal ini. Ku kan berjuang sampai titik darah penghabisan (seperti pahlawan saja). Dan Allah sangat menghargai proses ikhtiar kita dalam meraih kebaikan dan ridho-Nya. Jauhkan kata menyerah, hapus kata putus asa dalam kamus kehidupan. Lihatlah Umar bin Khottob! Menjelang wafatnya, beliau baru menyelesaikan hafalannya. Yang penting proses, bukan hasil. Let's do it!
#One Day One Post
#Februari Membara
#15th Day

Thursday, February 18, 2016

Jimat

Kemarin saat pembahasan soal try out bahasa Indonesia, Dila merasa excited karena sebagian besar jawabannya betul. Khansa pun berkomentar, "Jawaban Dila betul karena dia pegang jimat, Bu".
" Iya, Bu. Ini jimat saya", sahut Dila sambil menunjukkan sepasang kaos kaki hitam putih.
"Ih, Dila jorok", teriak beberapa teman yang lain sambil memperlihatkan ekspresi jijik di muka mereka, tapi bukan dengan emoticon.
" Memang, jimat itu apa, Dil?" tanyaku.
"Nggak tahu, Bu", jawabnya polos dengan mimik muka yang menggemaskan.
Lalu, mengalirlah untaian ceramah hari ini. Seolah-olah aku ini seorang ustadzah yang sering berdakwah di layar kaca.
" Jimat itu kan, syirik ya, Bu?" tanya Syahla yang kelihatan lebih dewasa dibandingkan teman-temannya.
"Betul. Dan, teman-teman sudah tahu kan, syirik itu termasuk ...."
"Dosa besar!" jawab teman-teman sekelas dengan serempak, tak terkecuali Dila. Ya, mereka memang sudah hafal hadits tentang tiga dosa besar,  syirik salah satunya.
"Dan, syirik adalah dosa yang tak kan diampuni Allah, kecuali pelakunya bertaubat. Tetapi kalau taubatnya menjelang sakaratulmaut, tidak akan diterima oleh Allah".
" Berarti masuk neraka, Bu?"
"Iya, betul".
" Hii....syereeem," kata Dila masih dengan mimik wajah yang lucu.
"Bu, memang jimat itu seperti apa, sih?" tanya Dila lagi yang belum terpuaskan juga rasa penasarannya.
"Lha, kamu bisa menyebut kaos kakimu itu jimat, tapi tidak tahu. Bagaimana, kamu ini?"
"Hehe...saya kan, cuma denger-denger saja, Bu, tapi belum pernah lihat."
"Jimat bisa berupa cincin atau berupa sesuatu yang dibungkus kain hitam, biasanya. Bisa berupa kalung atau gelang. Macam-macam. Yang jelas, orang yang memakai jimat merasa lebih pede dan punya kekuatan. Dan, kalau mereka tidak membawa jimatnya itu, mereka akan merasa was-was dan tidak aman. Jadi, menurut mereka, jimat itulah yang menjaga dan melindungi mereka."
"Kok gitu, sih. Bukankah yang melindungi kita itu Allah, ya Bu?" tanya Khansa.
"Betul sekali, Khansa. Dan kita memang hanya boleh meminta perlindungan kepada Allah, bukan kepada jimat atau yang sejenisnya. Dalam Surat Al Ikhlas disebutkan
اَللّٰهُ الصَّمَدُ  ۚ
Allah tempat meminta segala sesuatu.
[QS. Al-Ikhlas: Ayat 2]
Jadi, kalau kita mau aman, ya minta kepada Allah. Kalau kita ingin terlindungi dari kejahatan, minta kepada Allah. Hanya kepada Allah-lah kita memohon, kita bergantung, dan kita minta perlindungan."
"Maksud sejenisnya itu apa, Bu?" kali ini Laras yang bertanya. Sempat kaget juga aku mendengar pertanyaan gadis pendiam itu. Ternyata masalah jimat ini telah menarik perhatiannya.
"Maksud sejenisnya adalah seperti jin yang dijadikan teman bagi sebagian orang. Mereka percaya bahwa jin yang menjadi teman mereka itu bisa menolong dan melindungi dari kejahatan orang lain. Sudah, ya. Kita kan, sedang membahas soal Bahasa Indonesia, mengapa berubah haluan jadi jimat, ya. Kalau kalian masih penasaran, nanti tanya kepada Ustadz Sholeh saat pelajaran PAI saja, ya!"
"Ya, Bu. Nggak pa-pa Bu, seru!" protes Dila tetap dengan aksen lucunya.
Ah, anak-anak. Banyak sekali kata-kata yang kalian ucapkan tanpa tahu maksud dan tujuannya. Itu karena kalian lebih sering melihat dan mendengar, tapi hampir tidak pernah membaca. Seandainya kalian rajin membaca, tentu banyak perbendaharaan kata yang akan kalian miliki. Tapi tak apalah untuk kasus yang satu ini. Kalian tidak paham, tapi mau bertanya. Akan lebih menyedihkan lagi bila kalian malas bertanya, tapi merasa sok tahu. Berbahaya itu. Kalian bisa tersesat di kelas, eh, di jalan. Malu bertanya sesat di jalan.
#One Day One Post
#Februari Membara
#14th Day

Wednesday, February 17, 2016

Tragedi

Ketika menulis ini, perasaan saya campur aduk. Sedih, geram, takut, tak berdaya, berkumpul jadi satu. Ingin rasanya menangis dan teriak sekeras-kerasnya agar sesak dada ini berkurang. Tapi malu, rasanya. Akhirnya saya tuangkan saja dalam tulisan ini. Mudah-mudahan hati saya menjadi lega dan mendapat pencerahan.
Beberapa menit yang lalu, saya mendapat pesan dari rekan guru. Setelah membaca pesan itu, dada ini serasa gemuruh lava yang ingin keluar dari perut bumi. Pesan itu berkisah tentang malangnya nasib seorang gadis balita yang, maaf, diperkosa oleh papanya sendiri di rumah eyangnya. Astaghfirullah, ayah macam apa itu!!! Sudah sebegitu bobroknyakah moral bangsa ini? Belum kering tinta media massa dan media sosial ramai memberitakan LGBT. Sekarang ada lagi yang lebih mengerikan. Dan, setahu saya memang ini bukan berita baru. Sebelumnya juga sudah ada kasus-kasus serupa itu. Tapi yang membuat merinding dan bergidik, korbannya itu anak TK yang masih sangat lugu dan lucu. Dan, pelakunya, bapaknya sendiri!!! Seorang yang menyandang gelar S3! Ternyata tingginya pendidikan tidak berbanding lurus dengan tingginya akhlak. Kalau pun tidak bisa berakhlak yang baik, minimal dia seharusnya mempunyai naluri seorang ayah yang ingin selalu mengayomi dan melindungi buah hatinya. Lha ini? Malah menghancurkan dan meluluh-lantakkan kehidupan putrinya.
Ya Allah, hanya kepada-Mu kami berlindung dari kejahatan makhluk-Mu.
Sampai detik ini, saya tak habis pikir dengan peristiwa itu. Tega-teganya dia berbuat begitu kepada darah dagingnya sendiri. Iblis macam apa yang sudah mengendalikan nafsunya itu? Astaghfirullah.
Jujur, sebagai seorang ibu, saya merasa takut. Apalagi anak saya juga perempuan dan ada yang masih balita. Sepertinya dunia ini sudah tidak aman lagi. Terus, kita mau tinggal di mana?
لاحول ولاقوت الابالله العلي العظيم
Hanya kepada Allah-lah kita berserah diri. Tanpa lindungan dan rahmat-Nya, mustahil kita bisa selamat dari aneka macam marabahaya dunia modern saat ini.
Selain bertawakal kepada Allah, tentunya kita pun harus berikhtiar dan berdoa.
Ikhtiar dimulai saat kita memilih pasangan hidup. Rasulullah saw telah memberikan petunjuk agar kita memilih calon suami/ isteri yang baik agamanya. Bukan cantik atau tampannya, bukan kekayaannya, bukan darah birunya, bukan kepintarannya pula. Karena semua itu tidak menjamin kebahagiaan kita.
Setelah menikah, kita hiasi rumah dengan syariat Islam dan selalu menambah ilmu keislaman serta mengamalkannya. Karena ajaran Islam bukan agama teoritis, tetapi aplikatif. Apa yang sudah kita pahami, kita laksanakan. Bersama pasangan hidup kita, tentunya. Agar tercipta keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Agar terwujudlah baiti jannati.
Setelah ikhtiar tersempurnakan, selalu basahi lisan dengan untaian doa, memohon belas kasih Illahi Robbi agar hidup ini selamat dunia-akhirat, jauh dari marabahaya. Bila semua telah kita lakukan, hanya tawakal 'alallah jalan terakhir. Bila ujian dan cobaan tetap menghampiri, itu tanda sayang-Nya kepada hamba terkasih.
لايكلف الله نفساالاوسعها
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah: 286)
Ya Allah, mohon turunkan rahmat-Mu kepada kami.
Ya Allah, kasihilah gadis kecil yang malang itu. Limpahilah ia dengan rahmat-Mu. Aamiin ya robbal'alamiin.
#One day one post
#Februari Membara
#13th day

Tuesday, February 16, 2016

Cakra Manggiling



Dalam bahasa Indonesia, cakra manggiling artinya roda berputar. Hidup kita ini seperti roda berputar, kadang di atas, kadang di tengah, dan kadang di bawah. Sangat dinamis. Bagi kita, itu sudah sunnatullah. Sesuatu yang pasti terjadi. Bahasa kerennya, mungkin, hukum alam.
Tidak ada orang yang miskin atau menderita terus-menerus sepanjang hidupnya. Pasti ada saatnya dia merasa di atas; bahagia. Dan, bahagia tidak melulu dihargai dengan materi. Karena, bahagia tempatnya di dalam hati. Ada orang yang kaya raya, tapi hatinya hampa. Sebaliknya, ada orang yang serba kekurangan secara materi, tapi dia selalu bahagia.
Begitu pun sebaliknya, tidak ada orang yang berada di tengah atau di atas terus-menerus. Suatu saat dia pasti merasakan bagaimana nikmatnya berada di bawah. Di mana pun posisi kita, sebagai orang yang beriman, kita harus selalu siap menghadapi dan menjalaninya. Seperti yang sudah diwasiatkan oleh Rasulullah saw bahwa betapa indah urusan seorang mukmin. Ketika mendapatkan nikmat kesenangan, dia bersyukur. Dan saat memperoleh musibah atau nikmat kesedihan, dia bersabar. Dengan begitu kita tidak akan merasa stress.
Itulah yang selalu ingin kuterapkan dalam hidup yang cuma sekejap ini. Ketika aku merasa lelah dengan tingkah laku anak-anak yang sering mengesalkan dan memancing emosi, aku teringat dengan putra saudaraku yang kurang beruntung. Sejak usia 8 bulan, putra saudaraku itu lumpuh, tak bisa bicara, dan perkembangan tubuhnya terhambat. Di usianya kini yang sudah melewati 10 tahun, di saat anak-anak lain menikmati indahnya sekolah, dia hanya bisa berguling-guling di lantai dengan kedua kakinya yang kecil. Di saat anak-anak lain asyik menghafal Al Qur’an, mengucapkan kata “mama” saja dia tak mampu. Kehadirannya menjadi ibroh luar biasa bagiku. Membuatku harus bersyukur dengan anugerah Allah yang luar biasa; anak-anakku yang tumbuh sehat dan cerdas. Meskipun kadang-kadang aku harus marah, tapi tak membuatku membenci mereka. Mereka adalah amanah yang telah diberikan Allah kepadaku dan suami. Harus disyukuri dan jangan disia-siakan.
Di waktu lain aku merasa begitu sesak menjalani hidup ini ketika kebutuhan hidup melonjak tinggi, sedangkan pemasukan tidak bertambah. Pusing memikirkan biaya sekolah yang semakin hari semakin melangit. Di saat itulah Allah mengirimkan hamba-Nya yang lebih menderita dan lebih sengsara dibandingkan keluargaku. Seperti sore itu. Ketika kami sedang bingung dengan uang pendaftaran dua putriku yang mau masuk SMP dan SMA, teman suamiku datang mengadu. Sudah beberapa minggu ini suaminya pergi tak tahu kemana. Suaminya merasa takut karena setiap hari didatangi debt collector. Ternyata suaminya punya utang 800 juta ke bank dan beberapa rekan bisnis. Karena tidak tahu mau bayar dengan apa, maka sang suami kabur meninggalkan rumah. Tinggal isterinya yang selalu diteror orang-orang yang tak dikenal. Maasyaallah ... begitu indah teguran-Mu ya Allah. Terimakasih ya Allah, meskipun kami sering kekurangan, Alhamdulillaah kami tidak punya utang sebesar itu.
Satu lagi yang selalu membuatku mensyukuri hidup ini; suamiku. Meski dia bukan laki-laki yang sempurna, tapi dia sudah berusaha selalu membahagiakanku dan anak-anakku. Ketika konflik terjadi antara kami berdua, yang menyebabkanku berurai air mata, di saat itulah aku berusaha menghibur diri. Teringat saudaraku yang lain, yang suaminya telah selingkuh berkali-kali, tapi tak ingin menceraikan isterinya. Nafkah lahir pun selalu tak  cukup untuk kehidupan mereka berempat. Bila ingat itu, sepedih  apa pun hatiku, tak kan sebanding dengan rasa syukurku karena telah mempunyai suami sebaik dan sesholeh dia. Alhamdulillaah.
Kalau kita selalu mensyukuri apa yang ada pada diri kita, dan tidak selalu melihat ‘ke atas’, maka hidup ini selalu indah nampak di mata. Meskipun kita sedang berada di bagian bawah roda, kita tidak akan mengeluh, apalagi sampai menyalahkan Allah. Karena di luar sana, masih lebih banyak saudara kita yang lebih sengsara dibandingkan kita.

#One Day One Post
#Februari Membara
#12th Day

Monday, February 15, 2016

Dilema Seorang Santi 2

"Aku mau pisah aja, Mir. Gak kuat rasanya kalau begini terus. Gak cuma badanku yang habis, uang pun habis gara-gara dia", keluh Santi kepada Mirna, sahabatnya.
" Cerai memang diperbolehkan San, tapi itu perbuatan yang sangat dibenci Allah ", jawab Mirna.
" Kamu nggak ngrasain, sih! Coba kalau kamu jadi aku."
"Masih bisa dibicarakan, San. Coba kamu minta nasihat ustadz, siapa tahu ada jalan keluar yang lebih baik."
"Percuma, Mir. Bang Dul itu orangnya keras kepala! Egois! Harusnya dia tu sadar, selama ini kan, aku yang ngasih makan dia. Kenapa dia tega berbuat seperti itu? Dan, kamu tahu, kan? Ini bukan yang pertama kali."
"Iya, aku tahu. Mungkin di sinilah ujian yang diberilan Allah kepadamu, supaya kamu semakin dekat dengan-Nya."
"Tapi ini berat banget, Mir."
"Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuanya, San. Kamu hafal kan, ayatnya?"
"Ngomong sih, gampang. Coba kalau kamu yang ngrasain. Pokoknya aku pisah sama Bang Dul. Orang tuaku sudah setuju."
Ya, kekerasan yang dialami Santi memang sudah sering terjadi. Tetapi mereka akan kembali akur setelah beberapa hari. Dan, kata-kata 'pisah' selalu Santi ucapkan ketika dia merasa frustasi dengan perilaku suaminya. Kejadian yang terakhir adalah yang paling parah. Tidak hanya luka fisik, tapi juga batin dan kerugian harta. Tak heran kalau orang tuanya pun sampai turun tangan dan membujuknya untuk segera meninggalkan suami yang tak tahu diuntung itu.
Berhari-hari setelah percakapan itu, Santi sempat menghilang dari kantornya. Mirna pun tak tahu kemana dan ada apa dengan sahabatnya itu. Menurut dugaannya, Santi sedang menjalani proses pengadilan.  Santi hanya bisa berdoa agar Allah memberikan jalan keluar yang terbaik untuk sahabatnya itu.
"Assalamu'alaikum, Mir?" sapa Santi yang datang dengan suaminya ke acara  family gathering kantor mereka. Mirna yang sedang memilih tempat duduk di bus yang akan membawa mereka ke Garut itu, kaget melihat mereka berdua.
"Wa'alaikumussalam...Santi?"
Dilihatnya mata bulat Santi yang lebih bercahaya dan wajah yang telah segar kembali. Mendung itu sudah pergi sepertinya. Kepalanya dipenuhi dengan tanda tanya. Memorinya berputar itu mencari keyakinan tentang percakapan mereka berdua waktu itu.
"Katanya mau pisah, tapi .... Tidak salahkah aku? Santi kelihatan biasa saja, seperti tragedi itu tak pernah terjadi. Ada apa ini? Apa yang membuat Santi kembali lagi ke suaminya?"
Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Mirna, menuntut jawaban.
"Aku harus bicara dengan Santi", bisik Mirna kepada dirinya sendiri.
Dua hari setelah pulang dari Garut, mereka kembali bekerja seperti biasa. Dan, seperti yang sudah-sudah, Santi selalu diantar jemput oleh suaminya. Seperti pengantin baru yang sedang berbulan madu. Tak ada tanda-tanda luka. Mungkin sudah mengering dan tak berbekas.
Akhirnya Santi kembali menjalani hari-harinya seperti dulu, dan berharap bisa menjadi pasangan yang bahagia. Meski di dalam hati kecilnya, ingin sekali bisa bebas dari pengaruh lelaki itu. Tapi, akal sehatnya mengalahkan segala perih dan luka yang pernah diderita. Dia pun tak tahu akankah bahagia kan menghampirinya. Sedang, suami yang hidup bersamanya begitu sulit untuk menjadi lebih baik.
#One Day One Post
#Fabruari Membara
#11th day

Friday, February 12, 2016

Dilema Seorang Santi






“Kemana aja, sih, kamu? Lama banget! Aku dah kepanasan, tahu! Nyusahin suami aja, kamu itu!” kata lelaki itu sambil melempar helm dan tas istrinya. Beberapa pasang mata melihat adegan itu dengan pandangan heran dan terkejut, juga kasihan kepada sang istri. Sang istri, dengan berurai air mata, memunguti barang-barangnya yang berhamburan di tanah. Tak mampu berkata-kata. Terlihat handphone yang pecah layarnya, uang yang kotor dan basah karena terjatuh ke dalam selokan, dan pernak-pernik yang berantakan dan sebagian rusak. Orang-orang yang ada di tempat kejadian itu tergerak ingin membantu, tapi takut kepada sang suami. Khawatir dia akan semakin marah.

“Cepetan! Lelet banget sih, Santi!” bentak lelaki itu lagi, tak peduli dengan pandangan berpasang-pasang mata yang menyaksikan kejadian itu. Benar-benar tak tahu malu.

Santi, sang istri terus menunduk sambil memunguti barang-barangnya dengan tergesa. Setelah itu dia pun membonceng suaminya. Pulang. Sampai di rumah, ternyata emosi lelaki tadi masih meluap dan siap dimuntahkan saat itu juga. Begitu masuk rumah, pukulan tangannya yang besar mendarat di kepala, muka, dan badan sang istri yang bertubuh kecil itu. Santi jatuh ke lantai, dan matanya pun memar. Beberapa menit kemudian mulai membengkak dan mengaburkan pandangannya.

“Bang, sabar, Bang. Dengar dulu penjelasanku,” kata Santi melihat emosi suaminya yang masih tinggi.

“Aku nggak mau dengar apa pun alasanmu. Sebagai istri harusnya kamu tahu, hanya taat pada suami, bukan pada atasanmu! Bukan pada kerjaanmu!” jawab lelaki itu yang malah semakin marah.
“Tadi pagi kan, aku sudah minta izin untuk masuk kerja hari ini. Dan kamu mengizinkan. Kalau aku masih menyelesaikan tugasku, sampai membuatmu menunggu agak lama, bukan maksudku untuk tidak taat. Lagi pula, kita makan dari hasil pekerjaanku, kan?”
“Terserah!” kata lelaki itu sambil masuk kamar.
“Ooo ... jadi begitu? Baik. Sekarang, ambil semua barang kamu, dan keluar dari rumahku!” jawab Santi tak kalah sengit.
Tak menunggu lama, lelaki itu langsung mengemasi barang-barang yang bisa ia bawa, memasukkannya ke dalam mobil, dan pergi.
Bersambung ...

#One Day One Post
#Februari Membara
#10th Day