Bismillah
Lagi-lagi, saya harus kecewa saat membaca novel setebal 600 halaman lebih ini. Bagaimana tidak kecewa, saat saya sedang merasa "seru" dan deg-degan, eh, tiba-tiba selesai. Selesai begitu saja. Ending-nya itu tidak happy, sad juga tidak. Menggantung. Kesel nggak sih? Tapi, itu kan, hak penulis ya. Sebagai pembaca sih, kita hanya bisa menikmati.
Novel perdana Benny Arnas ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang perempuan teh bernama asli Ratna. Setelah diserahkan oleh ibu kandungnya kepada Cece Po, majikannya, ia dipanggil Embun. Karena Ratna merupakan nama ibu kandung Cece Po, seorang Tionghoa yang memiliki lapak batik di pasar Jatinegara.
Cece Po menganggap Embun seperti anaknya sendiri, karena dia pun tidak memiliki anak. Suaminya pun telah meninggal. Jadilah ia sebatang kara, sama seperti Embun. Ayah ibunya tak tahu ada di mana.
Sebelum ikut Cece Po, Ratna atau Embun tinggal bersama ayah ibunya di sebuah kontrakan sempit di daerah Semper Timur. Ayahnya seorang tukang ojek yang suka mabuk dan berjudi. Ibunya hanya seorang penjual gorengan, yang penghasilannya pun tak seberapa. Dibantu Embun yang bekerja sebagai pengemas teh. Kehidupan mereka benar-benar memprihatinkan. Lebih sengsara lagi karena kebiasaan buruk ayahnya yang tidak hanya menghabiskan uang namun juga sering menyakiti ibunya.
Hingga suatu peristiwa yang menyakitkan terjadi, dan memaksa sang ibu untuk menitipkan Embun kepada seorang majikan. Bukan menitipkan sebenarnya, tetapi memaksa Embun untuk bekerja karena dia sudah lulus SD. Sejak itulah Embun tak pernah bertemu lagi dengan orang tuanya.
Bersama Cece Po, Embun semakin giat membaca segala sesuatu tentang teh karena suami Cece Po juga penggemar teh dan memiliki banyak buku tentang seluk-beluk teh. Jadilah Embun seorang ahli teh, tidak hanya secara teoritis, tetapi juga dalam meracik dan menyajikan minuman teh.
Selain ahli teh, Embun adalah seorang gadis pramuniaga yang sangat disayangi oleh Cece Po. Dia ramah dan sopan saat melayani pembeli. Juga kepada sesama pramuniaga dan pemilik lapak lainnya. Ditambah lagi penampilannya yang cantik namun sederhana.
Kesederhanaannya inilah yang mengundang kekaguman sekaligus mempesona seorang fotografer bernama Brins, seorang indo. Mereka pun menikah dan hidup bahagia. Namun, menginjak tahun kedua, terjadilah tragedi itu. Peristiwa yang membuat Embun ingin menyendiri dari Brins.
Bagian pelarian Embun inilah yang paling menegangkan. Kita yang membaca pun dibuat penasaran. Kalau saya sampai sedikit mengabaikan anak-anak, saking serunya dan penasaran dengan ending-nya. Tapi ya, itu. Di saat kita masih tegang, masih deg-degan, masih menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya, eh ... tetiba langsung tamat. Kesel sih. Tapi, itulah hebatnya penulis. Pembaca dipersilakan melanjutkan sendiri ceritanya sesuai keinginan masing-masing.
Ya sudah. Saya berkhayal saja, Embun dan Brins punya anak, dan mereka hidup bahagia selamanya. Kayak di dongeng-dongeng ðŸ¤
No comments:
Post a Comment