Bismillah
Membaca cerita fiksi itu memang mengasyikkan. Alur ceritanya bikin penasaran sehingga enggan untuk berhenti membaca. Rasanya ingin segera tuntas dan tahu ending-nya. Makanya saya suka langsung baca bagian akhir, biar nggak penasaran. Tapi, jadi nggak seru.
Biasanya kalau membaca novel yang seru, seperti novelnya Tere Liye, sehari dua hari juga selesai baca. Namun tidak untuk novel yang satu ini. Meskipun sudah ngebut bacanya, tetap saja butuh beberapa hari untuk finish. Karena jumlah halamannya juga luar biasa, 600 halaman lebih! Ditambah lagi, saya bacanya di ipusnas, berupa e-book. Gitu deh, banyak gangguannya.
Novel ini bercerita tentang masa penjajahan Belanda pada tahun 1920-an. Masa perjuangan menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dengan suku bangsa dan bahasa yang beragam.
Adalah Tan Sun Nio, gadis Tionghoa yang sangat cantik dan cerdas, namun juga licik. Dia gagal bertunangan dengan kekasihnya, karena di malam yang direncanakan sebagai malam lamaran itu, kekasihnya tidak datang. Tanpa kabar. Hal itu membuat Tan Sun Nio bersumpah untuk menjadikan dirinya budak untuk kakaknya yang tinggal di Ende, Flores. Dan tidak akan menikah kecuali dengan orang yang lebih baik daripada kekasihnya itu. Lalu, pergilah ia ke Ende untuk melaksanakan sumpahnya.
Ternyata, saat itu juga, seorang anak raja Surakarta, Rangga Puruhita, juga sedang dalam perjalanan ke Ende. Tetapi dia tidak sedang bertamasya ataupun melakukan perjalanan bisnis. Dia sedang mendapatkan hukuman dari pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia. Dia diasingkan dan dibuang ke Ende.
Dua anak manusia itupun akhirnya bertemu dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Meskipun Rangga sudah beristri, tetapi hatinya sulit berpaling dari pesona Tan Sun Nio. Hingga dia dengan senang hati mendatangi rumah gadis itu, menghadiri undangannya. Dan, nyaris saja dia terperosok dalam jebakan gadis tersebut. Untung saja, tentara KNIL, Herman Zondag, yang selalu mengawasinya, datang pada saat yang tepat. Selamatlah ia dari bahaya sang gadis.
Selain masalah cinta anak manusia, novel ini juga bercerita tentang perjuangan anak bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ada Maria, seorang guru yang juga jatuh cinta kepada Rangga. Padahal dia sudah dijodohkan dengan pemuda satu suku yang juga masih kerabatnya, yaitu Mari Nusa. Mari Nusa merupakan salah seorang pemimpin yang bercita-cita untuk memerdekakan Ende dari Belanda dan mendirikan negara Flores Raya.
Perjuangan itu melibatkan beberapa tokoh yang ternyata tidak semuanya setuju dengan rencana Flores Raya. Sebagian mereka lebih memilih untuk memperjuangkan Indonesia Raya, bersama para pejuang dari pulau-pulau lain.
Perbedaan pendapat ini berujung pada pembunuhan. Termasuk Rangga yang juga menjadi salah satu targetnya. Berkali-kali, Rangga berada di ujung tanduk kematian. Namun, berkali-kali juga, ia masih bisa bernapas, meskipun tubuhnya babak belur.
Sedangkan Tan Sun Nio pun juga mengalami konflik dengan anak buah dan rekanan bisnisnya. Ia pun berniat untuk melarikan diri, dan pulang ke kota asalnya, Solo, berkumpul dengan orang tuanya.
Dari awal, novel ini sudah sangat menarik sehingga saya enggan untuk berhenti. Padahal, saat pertama kali membaca judulnya, saya sempat suudzon, "Ah, novel sejarah ini mah. Pasti bikin kening berkerut." Memang sih, bikin kening berkerut. Tetapi, bukan karena pusing memahami tiap paragrafnya, melainkan penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
MasyaaAllah, salut banget buat Mba Afifah Afra, penulis novel ini. Pasti riset yang dilakukan sangat berat. Saya juga salut kepada semua penulis fiksi. Mereka hebat, bisa merangkai kata berdasarkan imajinasi. Sesuatu yang sangat sulit untuk saya lakukan.
No comments:
Post a Comment