Bismillaah
"Ibu!!!"
teriakku sekuat tenaga melihat lelaki itu menahan tangan dan langkahku. Air
mata sudah jebol dari pertahanannya. Sakit hati dan lelah fisik membuatku
histeris. Ibu dan Bapak setengah berlari menuju kamarku dan membuka pintu. Pertanyaan Ibu
mengalir dengan
suara bergetar menahan tangis. Menandakan kecemasan hatinya.
Melihat ada peluang untuk
segera angkat kaki dari hadapan lelaki itu, secepat kilat kulangkahkan
kaki menuju motor dan memacunya. Menjauh darinya. Tak kuhiraukan pertanyaan dan tatapan
mata
Ibu dan Bapak.
Pikiranku hanya satu: segera lepas dari lelaki itu.
Sepanjang jalan, pikiranku tak karuan.
Memoriku berputar mengulang peristiwa dua bulan lalu, saat ia mengungkapkan hasratnya untuk
menjadikanku sebagai isterinya. Wajahnya yang polos seperti kain putih tak
bernoda, membuatku berpikir untuk mempertimbangkan permintaannya. Walau
sebenarnya, bukan dia tipe lelaki idamanku, karena dia perokok. Namun, janjinya
untuk berhenti merokok bila sudah sah menjadi suamiku, menggoyahkan prinsip
yang selama ini kupegang.
Kucoba mencari
jawaban pasti dengan shalat istikhoroh. Entah ini jawaban Allah atau bukan,
ternyata dia datang ke rumah dengan keluarganya untuk meminangku. Karena Ibu dan Bapak sudah
setuju, dan hasil istikhoroh-ku pun tidak bisa tertangkap jelas, akhirnya
kuterima juga lamarannya. Pernikahan pun terlaksana sebulan setelahnya.
Kini, sebulan sudah
pernikahan kami. Tapi belum ada tanda-tanda bahwa rokok akan ditinggalkannya.
Sebagai isteri, kucoba bicara baik-baik, setelah melayaninya dengan baik pula.
Masih kuingat jelas percakapan kami seminggu yang lalu saat kuingatkan
dia dengan janjinya yang akan berhenti merokok kalau sudah menikahiku.
"Aku pusing kalau
nggak merokok, nggak bisa fokus bekerja. Kamu tahu, itu," jawabnya saat
itu sambil merebahkan tubuh dan memejamkan matanya. Tidur. Tak berselang lama, suara
dengkurnya mulai terdengar. Huh! Dasar tukang tidur! Isteri bicara baik-baik,
malah ditinggal tidur.
Baru sebulan
usia pernikahan kami. Bagi orang lain, sekaranglah saat-saat manis pengantin baru. Tapi aku? Hanya seminggu
kurasakan rasa manisnya. Sekarang hatiku malah resah dan gelisah. Bagaimana
tidak gelisah,
punya suami cuek begitu? Setiap diajak bicara serius, responnya dingin, sedingin es
batu. Sedangkan
bila bersama teman-temannya, ceria dan aktif berbicara. Beda banget saat
ngobrol dengan aku, isterinya. Tetapi, itu tak begitu kurisaukan. Yang membuatku
kesal dan semakin resah dengan hubungan pernikahan ini, saat kubaca chatting-nya dengan seorang perempuan.
Begitu ringannya ia menyapa dengan kata-kata ‘sayang’ dan ‘cinta’.
“Biasalah, sama
temen. Namanya juga anak muda,” begitu jawabnya waktu aku mempertanyakan hal
itu. “Itu, kan, bahasa gaul. Nggak usah heran,” lagi-lagi, enteng sekali jawabannya. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. Inikah
suamiku?
Bisa-bisanya dia
memanggil perempuan itu dengan sapaan mesra, sedangkan dengan isterinya?
Jangankan berkata ‘sayang’, ‘cinta’, ngobrol
saja ogah-ogahan. Dia lebih tertarik chatting
dengan teman-temannya daripada menanggapi isterinya. Jangankan isterinya,
panggilan azan saja tidak ia hiraukan. Dia lebih mementingkan chatting dengan
komunitasnya, daripada salat berjamaah masjid yang hanya berjarak beberapa
meter saja dari rumah. Nasihatku tak digubrisnya. Membuatku semakin kesal.
Bahkan saat kuingatkan kewajibannya sebagai suami yang harus membimbing dan
mendidik isterinya, dia malah melengos, pergi entah ke mana. Dan matanya tak
lepas dari layar ponselnya. Astaghfirullah. Mengapa tak ada sedikit pun perhatiannya?
Salahkah aku bila menginginkan bimbingannya dalam mengarungi bahtera hidup ini?
Sesak dada ini
seperti dihimpit batu kali yang sangat besar. Pening kepalaku memikirkan sikap
suami yang semakin hari semakin menyebalkan. Rasanya muak melihat wajahnya.
Akhirnya
kuputuskan untuk tidak pulang ke rumah hari ini untuk regulasi diri. Aku
menginap di rumah teman. Perlu mengabari suami? Tak perlu. Dia juga tidak akan
mencariku. Hanya bapak-ibu yang perlu tahu aku ada di mana. Pasti mereka akan
sangat mengkhawatirkanku bila aku tidak pulang tanpa kabar.
***
Kupandangi dua garis merah itu dengan perasaan tak menentu. Apa artinya
ini? Aku hamil? Seharusnya aku bahagia. Ya, di saat orang lain sulit memperoleh
keturunan hingga berpuluh tahun usia pernikahan mereka, alhamdulillah aku
langsung hamil di bulan kedua pernikahan kami. Tapi, bagaimana aku bisa bahagia
dengan sikap suami yang seperti itu? Sejak aku kabur beberapa hari yang lalu,
sikapnya hanya berubah sebentar. Setelah itu, kembali seperti sediakala.
Tak terasa, air mata menetes di pipi. Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku
belum siap menjadi ibu. Aku belum ingin mempunyai anak. Aku belum yakin dengan
pernikahan ini, apakah akan berlanjut atau ....
“Kenapa Dik, kok menangis?” tanya Mas Wisnu yang baru keluar dari kamar
mandi. “Apa ini?” tanyanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu melihat test pack di tanganku. “Hah??? Kamu
hamil, Dik?” serunya sambil merengkuh bahuku ke dalam pelukannya.
“Alhamdulillaah, terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Dik. Jangan menangis,”
ujarnya sambil menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Mulutku
masih kelu. Otakku serasa beku; tak bisa berpikir. Kenyataan ini benar-benar
membuat pikiran dan perasaanku tak menentu.
“Jangan bersedih, Dik. Aku berjanji akan berhenti merokok. Aku berjanji
akan meninggalkan teman-teman yang tak baik,” ujarnya penuh keyakinan, seperti
dulu waktu memintaku untuk menjadi isterinya. Aku tak mau tertipu lagi.
“Bagaimana aku bisa percaya dengan janjimu? Dulu kamu berjanji akan
berhenti merokok kalau kita menikah. Buktinya?” ucapku sambil berlinang air
mata.
“Betul, Dik. Kali ini aku benar-benar berhenti, demi anak kita. Lihat!”
serunya sambil meremukkan batang-batang rokok yang tersisa di atas meja. “Dan,
lihat ini! Akan kusingkirkan segala komunitas yang menurutmu tidak bermutu
itu,” serunya lagi sambil mengambil SIM
card dari hp-nya. Dipatahkannya kartu itu, lalu ia campakkan ke dalam
keranjang sampah. Senasib dengan remukan rokok tadi. Aku menatapnya tak
percaya.
“Percayalah, Dik. Aku sangat mencintaimu. Aku juga sangat bahagia karena
kita akan segera memiliki keturunan. Aku akan berubah. Aku akan menjadi kepala
keluarga yang baik. Tentu saja dengan bantuanmu, Dik. Bagaimana, Dik? Please ...,” rayunya berusaha
meruntuhkan keraguan yang sempat menguasaiku.
Kupandangi wajah
lelaki yang akan menjadi ayah anakku itu dengan ragu. Haruskah aku
memercayainya?
***
*Dimuat di Majalah Hadila bulan Oktober 2019