Bismillaah
Membaca novel Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata, membuat kita termotivasi sekaligus terhibur. Tidak hanya terhibur oleh dialog maupun tingkah laku para tokohnya yang lucu, tapi juga terhibur karena di bumi Indonesia yang kita cintai ini, masih ada generasi muda yang begitu cerdas dan bersemangat. Pantang menyerah kepada kemiskinan dan keterbatasan.
Membaca halaman demi halaman buku ini, terbayang di pelupuk mata, indahnya Pulau Belitung, sekaligus kerasnya kehidupan yang dilalui oleh anak-anak dan juga sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai buruh PN Timah. Di sisi lain, para staf PN Timah dan keluarganya hidup bergelimang harta dan kemewahan. Sungguh sebuah pemandangan yang memilukan. Namun keterbatasan dan kemiskinan tidak menghalangi semangat belajar kesepuluh anak-anak Laskar Pelangi. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif, dan bisa mengharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang miskin.
Cerita yang dikisahkan dalam buku ini begitu terperinci dan teliti. Namun saat kita menonton filmnya, kita akan sedikit kecewa dengan adegan yang seperti terputus, tidak saling berkaitan.
Misalnya pada adegan saat Flo hilang di hutan. Di dalam novelnya, diceritakan bagaimana perjalanan dan perjuangan masyarakat beserta anggota Laskar Pelangi dalam upaya mereka untuk menemukan anak perempuan yang tomboi itu. Pencarian itu memakan waktu berhari-hari, sehingga mereka hampir menyerah, seandainya tidak ada rasa belas kasihan dalam dada mereka.
Sedangkan dalam versi layar lebarnya, adegan pencarian itu hanya divisualisasikan dengan aksi orang-orang yang berusaha mencari dalam kegelapan dengan hanya ditemani oleh cahaya obor dan suara mereka yang meneriakkan nama Flo. Setelah itu adegan langsung berganti suasana siang, saat seorang pegawai ayah Flo mendatangi dan meminta Pak Harfan dan Bu Mus untuk menerima Flo sebagai murid mereka. Pak Harfan adalah kepala sekolah Muhammadiyah, tempat anak-anak Laskar Pelangi menimba ilmu. Sedangkan Bu Mus adalah guru favorit mereka.
Meski tidak sedetil apa yang diceritakan di dalam novel, film Laskar Pelangi, tak dapat dipungkiri, adalah salah satu film yang bagus untuk ditonton. Tidak hanya oleh anak-anak, tapi juga untuk orang tua. Permainan akting para tokohnya terkesan lugas dan alami, tidak dibuat-buat. Sebut saja Bu Mus. Bu guru muda nan cantik ini begitu luwes dalam gerak juga ucapannya. Tak heran bila Cut Mini yang memerankannya kebanjiran penghargaan sebagai pemeran utama terpuji/terbaik pada Festival Film Bandung 2009 dan Indonesian Movie Awards 2009. Begitu pula film Laskar Pelangi itu sendiri. Selain mendapat penghargaan di dalam negeri, ia juga meraih penghargaan di luar negeri pada International Festival of Films for Children and Young Adults di Hamedan, Iran.
Penghargaan-penghargaan itu tidak akan diperoleh tanpa kerja keras sutradara dan seluruh kru-nya. Namun, di balik itu semua, ada sang penulis, Andrea Hirata, yang telah begitu apik menuangkan idenya dalam rangkaian kata-kata yang penuh makna. Membuat kita tersadar, bahwa segala keterbatasan dan juga kemiskinan yang menyelimuti kehidupan seseorang, ternyata tidak selalu menjadi penghalang bagi kesuksesannya. Semua kembali kepada bagaimana kita memandangnya dan menyikapinya. Kalau kita melihatnya sebagai musibah, kegagalan yang akan kita rasakan. Namun bila kita menganggapnya sebagai tantangan, kesuksesan telah menanti di depan mata.
Semoga kisah Laskar Pelangi ini bisa memotivasi generasi muda Indonesia agar tidak mudah menyerah dan menyalahkan keadaan. Dan semoga pula bisa memberikan kesadaran baru pada pihak-pihak yang berwenang, agar lebih memerhatikan kondisi anak bangsa yang hidup dalam keterbatasan. Mereka pun berhak menghirup wanginya pendidikan dan kesejahteraan, seperti yang telah dinikmati oleh segelintir penduduk negeri ini. Bukan kemewahan yang mereka impikan. Sedikit kesempatan pun, sudah sangat mereka syukuri.
#TugasRCO3
#Tugas2Level3
#OneDayOnePost