Saturday, May 27, 2017
A Writer To-be
Saturday, May 20, 2017
Pendidikan Adalah Hak Anak
Bismillaah
Anak adalah amanah Allah yang harus kita jaga dan rawat sesuai dengan aturan-Nya. Tidak boleh menyimpang apalagi menjauh. Agar amanah itu menjadi ladang pahala bagi kita. Bukan untuk dijadikan sandaran saat hari tua, bukan pula untuk dijadikan sumber penghidupan. Hanya sebagai tempat menanam, untuk dipanen nanti di akhirat. In sya Allah.
Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa urusan menjaga dan merawat ini tidak bisa dijalankan sendiri oleh orang tua sebagai pengemban amanah. Ia pun memerlukan bantuan dan dukungan dari pihak lain, di luar keluarga. Bisa sekolah, bisa lingkungan masyarakat. Melalui pendidikan formal, informal, maupun non formal. Semuanya saling bersinergi untuk terbentuknya generasi yang mengikuti aturan Allah. Generasi Rabbani.
Ada 3 unsur penting yang harus diperhatikan dalam mendidik buah hati, agar tujuannya tercapai dan berhasil. Yang pertama adalah, bahwa mendidik adalah salah satu perintah dalam agama Islam.
Seperti tertuang dalam hadits berikut ini:
Seorang datang kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam dan bertanya, "Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?"
Nabi shalallahu alaihi wasallam menjawab, "Memberinya nama yang baik, mendidiknya adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu)." (HR. Attusi)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada pemberian ibu-bapak yang paling berharga bagi anaknya daripada pendidikan akhlak mulia." (HR. Al Bukhari)
Karena pendidikan adalah hak anak, maka kewajiban orang tua lah untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dengan pendidikan akhlak mulia. Jelaslah sudah, bahwa tujuan pendidikan menurut Islam, adalah terbentuknya akhlak mulia, bukan kemampuan intelektual. Tapi, bukan berarti kemampuan intelektual menjadi tidak penting. Orang yang berakhlak mulia, pasti ingin hidupnya berguna, ibadahnya diterima Allah. Untuk mewujudkan itu, seseorang harus memiliki ilmunya. Orang yang berakhlak mulia sangat paham dan yakin akan pentingnya menuntut ilmu sebagai bekal untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain.
Sedangkan orang yang tidak memiliki akhlak, sepandai apa pun, tentu akan kurang disukai oleh masyarakat. Bahkan, dengan keburukan akhlaknya itu, ia bisa menyalahgunakan kepandaiannya untuk mengelabui atau menghancurkan orang lain.
Unsur kedua yang tak kalah penting adalah, dalam mendidik, ada 3 aspek yang saling berkaitan dan harus bersinergi. Ketiga aspek itu adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan yang ditanamkan pada ketiga aspek itu harus seiring sejalan, tidak boleh berseberangan. Kalau di keluarga anak sudah ditanamkan nilai-nilai aqidah sejak dini, di sekolah pun harus begitu. Juga di masyarakat, tempat anak-anak bersosialisasi. Begitu pentingnya aspek masyarakat ini, sampai-sampai ada anekdot "untuk mendidik satu anak, diperlukan orang sekampung".
Unsur ketiga dalam pendidikan adalah ruhul ustadz. Sehebat apa pun kurikulum, sarana dan prasarana yang dimiliki sebuah sekolah, sebagai mitra orang tua dalam mendidik anaknya, tidak akan berhasil tanpa ketulusan dan keikhlasan seorang guru. Guru yang mengajar sekadar untuk mentransfer ilmu, hanya akan melahirkan anak-anak yang hapal materi pelajaran tapi kosong dari tujuan mulia. Belajar hanya untuk ujian guna memperoleh nilai bagus.
Sedangkan guru yang tulus dan ikhlas, tidak hanya ilmu yang tersampaikan dengan baik, tetapi ia juga sudah menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mulia. Yang menginspirasi anak didiknya. Sehingga apa yang dipelajari adalah sesuatu yang bermanfaat tidak hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa yang akan datang.
Wallahu a'lam bishowab
Wednesday, May 17, 2017
Dua Puluh Tujuh
Bismillaah
Angka 27 sudah akrab dengan saya sejak SMA. Mengapa? Karena nomor absen saya selalu di angka tersebut. Dan saya suka dengan nomor itu. Salah satu berkah yang saya dapatkan akibat memiliki nomor absen 27, saya pernah mendapat door prize! Waah, senang sekali, kan?
Setelah berkeluarga, ternyata angka 27 tak lepas dari hidup saya. Anak pertama saya lahir pada tanggal 27. Tanggal itu bertepatan dengan adanya suatu huru-hara yang menimpa sebuah partai politik di Jakarta. Tidak perlu disebutkan-lah, namanya. Lagi-lagi, 27 membuat saya terkesan. Masyaallah.
Berbicara mengenai angka 27, di dalam Islam pun, ia merupakan angka istimewa. Terbukti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
Jadi, kalau ditanya tentang 27 keinginan atau mimpi atau cita-cita yang ingin saya wujudkan, salah satunya ya ingin selalu mendapatkan 27 derajat seperti yang tertera pada hadits tersebut. Di samping, tentu saja, bisa mendirikan salat di awal waktu. Mengapa? Karena sebagai manusia yang pandai berkilah dan bersilat lidah, saya sering terlambat salat di awal waktu. Ya, alasannya ya, biasalah, ibu-ibu. Sedang tanggung masaknya, setrika baju lah, nyuapin anak lah, dan segudang alasan lainnya. Sehingga salat di awal waktu dan dikerjakan secara berjamaah agar mendapatkan 27 derajat, merupakan jihad yang lumayan berat. Terutama buat saya.
Selain itu, bisa melaksanakan ibadah haji adalah impian besar yang sudah tertunda labih dari 8 tahun. Mimpi menjadi tamu Allah, ziarah ke makam Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tercinta, membuat kerinduan semakin menggunung. Minum air zam-zam dari sumbernya melalui kran-kran langsung, bukan dari botol, adalah hasrat yang terpendam. Rindu untuk diwujudkan segera.
Ah! Dua puluh tujuh asa terasa sangat banyak. Malu rasanya meminta kepada Allah sebanyak bilangan itu. Pantaskah diri? Tidak, rasanya. Namun Allah Mahakaya dan Maha Mengabulkan doa. Tak kan berkurang kekayaan-Nya, meski ribuan doa yang dipinta. Bahkan serakah dalam berdoa adalah sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan serakah harta itu terlarang.
Jadi
Kan kurangkai 27 mimpi
Dalam munajat sunyi
Di tengah dingin malam ini
Mengharap ridho ilahi
Berteman desir angin pohon bambu
Bersama rindu yang mendayu
Diiringi derik jangkrik nan pilu
Menyambut wujudnya asaku
Sunday, May 14, 2017
Daun Kesayangan
Bismillaah
"Waah, cantik sekali!" seru Devi saat berpapasan denganku di tangga kampus.
"Terima kasih", jawabku dengan hati berbunga-bunga. Siapa, sih, yang nggak ge-er, bila dipuji seperti itu?
"Eh, maksudku, brosmu itu, lho. Cantik dan imut. Beli di mana? Harganya berapa?" celotehnya membuatku mengkerut seperti pohon putri malu yang tersentuh. Diriku yang tadi sempat melayang, tiba-tiba jatuh dan terhempas. Sakit!
"Oh, ini?" dengan susah-payah, kucoba menjawab pertanyaannya sedatar mungkin. Padahal di dalam hati, perasaanku sudah tidak karuan. Antara malu dan salah tingkah. Bagaimana tidak? Devi terkenal sebagai mahasiswi yang cantik, pintar, modis, tapi pendiam. Dia hanya berbicara seperlunya saja. Jadi, kalau aku sampai ge-er saat mendengar pujiannya, wajar, kan?
"Iya, bros itu beli di mana?" tanyanya lagi, tak sabar ingin segera mendapat jawabanku.
"Ini hadiah dari Om-ku yang baru pulang dari Australia. Aku tidak tahu, beliau di mana dan harganya berapa," ujarku berusaha menjawab rasa ingin tahunya.
***
Sejak percakapan dengan Devi itu, aku semakin sayang pada bros baruku itu. Bros berbentuk selembar daun kecil dengan bahan dasar perak itu tak pernah lepas menghiasi kerudungku. Membuat kepercayaan diriku semakin meningkat.
Namun, kebersamaanku dengan bros daun perak itu tak berumur lama. Tiba-tiba saja, bros itu hilang dan pergi entah kemana. Sedih rasanya. Hingga sejak itu, aku tak mau memakai bros lagi. Kerudungku polos. Hanya peniti yang tersemat di sana. Tak ada lagi bros yang selama ini sudah membuatku lebih percaya diri. Kini tinggal kenangan.
Sejak hilangnya si daun perak kesayangan itu, aku jadi lebih berhati-hati dalam menyukai suatu benda. Tak kan lagi berlebihan dalam mencintai sesuatu. Sekadarnya saja. Sedang-sedang saja. Juga tak lagi terlalu bergantung pada suatu benda. Karena hanya Allah-lah, tempat bergantung. Sebaik-baik tempat bergantung. Jangan sampai aku bergantung kepada makhluk ciptaan Allah, apalagi kepada benda mati. Na'udzubillahi min dzalik!
Thursday, May 4, 2017
Selamat Jalan
Tetes air satu demi satu turun
Menyambut datangmu
Di taman makam ini
Tempat terakhir kami melepasmu
Tetes air yang menjadi guyuran deras
Mengiringi upacara pemakaman
Seakan mewakili tetes air mata kami
Yang juga semakin deras mengalir
Melihatmu diturunkan ke liang lahat
Ditimbun tanah merah nan keras
Sendiri ...
Selamat jalan Pamanda ...
Om Muchtar bin Mufti Jaelani
Hanya doa yang bisa kurangkai
Semoga Allah ampuni segala
Dosa dan kekhilafan
Semoga Allah ganjarkan padamu
Pahala yang tiada terkira
Atas amal ibadahmu
Atas jerih payah dan sumbangsihmu
Mengurusi kami
Hingga kaulupakan
Hak raga dan jiwamu
Kini,
Hanya doa dan doa
Kucoba lantunkan berusaha
Menembus langit
Memohon kepada Sang Pemilik Hidup
Agar Ia memberikan balasan
Yang jauuuuh lebih banyak
Dan lebih baik
Kepadamu
Selamat jalan Pamanda
Maafkan diri yang
Tak bisa membalas sedikit pun
Semua budi baikmu
Maafkan diri yang
Hanya bisa berdoa
Allahummaghfirlahu
warhamhu
wa'afihi, wa'fu'anhu
Jazakallahu khairan katsira
Jakarta, 2 Mei 2017
Monday, May 1, 2017
Kesebelasan GenHalilintar - My Family My Team
Bismillaah
Buku setebal kurang lebih 350 halaman ini ditulis oleh Lenggogeni Faruk, sang ibu dari sebelas putra-putri Halilintar. Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi sang penulis dalam membesarkan kesebelas anak hanya berdua dengan sang suami, buku ini benar-benar bisa menjadi salah satu sumber inspirasi bagi para orang tua.
GenHalilintar adalah perpaduan nama ayah-ibu, Gen dari nama Lenggogeni dan Halilintar nama asli sang ayah. Kesebelasan adalah julukan bagi sebelas anak mereka, 6 putra dan 5 putri.
Sesuai dengan judulnya, My Family My Team, di buku ini Bu Gen bercerita tentang keluarganya yang sudah menjadi satu tim, baik ketika di rumah saat mengerjakan pekerjaan rumah maupun saat di luar rumah ketika menjalankan bisnis keluarga mereka.
Keluarga yang memiliki kelebihan membesarkan 11 kids without baby sitter, without nanny, without maid, memberdayakan kesebelas putra-putrinya dalam mengelola rumah yang berkonsep hotel. Ada yang bertanggung jawab terhadap kebersihan rumah, room service, house keeping, kitchen, laundry, bahkan memandikan dan mengurusi adik bayinya. Semua dikerjakan tanpa bantuan pembantu. It's really a great team!
Selain terbiasa mandiri dalam pekerjaan rumah, kesebelasan GenHalilintar pun mandiri dalam mencari uang. Mungkin karena sering mengikuti kegiatan orang tuanya sebagai pengusaha, mereka pun sudah pandai berniaga sejak usia muda. Contohnya Atta, si sulung yang sudah menjalankan bisnis jual-beli mobil pada usia 13 tahun. Sedangkan adiknya, Sohwa, sudah menjadi owner sekaligus sales person untuk booth pameran fashion muslim dan handphone bersama abangnya. Begitu pula adik-adiknya.
So, it's a great team bukanlah isapan jempol belaka. Sungguh keluarga yang luar biasa! Pertanyaannya sekarang, bagaimana mereka bisa seperti itu?
Menurut pasangan Gen Halilintar, modal utama mereka dalam membangun keluarga adalah always being connected to Allah. Jadi, ketika ada masalah apa pun, mereka selalu mengadu dan minta petunjuk kepada Allah. Juga dalam mendidik anak-anak. Karena Allah yang menciptakan mereka, maka Allah juga yang berkuasa atas mereka. Maka, hanya kepada Allah memasrahkan segala urusan, di samping ikhtiar yang tetap berjalan.
Bukti lain betapa mereka selalu connected dengan Allah adalah saat menghadapi kelahiran anak kesebelas, Qahtan. Saat itu usia Bu Gen sudah 39 tahun lebih, sehingga dokter menyarankan untuk operasi caesar. Hal ini sangat tidak diinginkan, mengingat kesepuluh anak sebelumya bisa lahir normal. Menghadapi masalah ini, suami istri itu mengadu dan memohon ampun kepada Allah. Selain itu, Bu Gen juga minta maaf kepada suami dan orang tuanya. Beliau berpikir, ini mungkin karena dosa-dosa yang telah ia lakukan.
Setelah istighfar, berdoa, dan menguatkan keyakinan penuh bahwa Allah akan menolongnya, akhirnya Qahtan lahir dengan proses normal, tidak dengan operasi. Itulah kekuatan doa dan besarnya keyakinan hanya kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Selain menjaga connection dengan Allah, rahasia keberhasilan keluarga GenHalilintar, ternyata terletak pada figur sang ayah. Di sini ayah benar-benar menjadi panutan dan tauladan tidak hanya untuk isterinya, tapi juga anak-anak. Terucap dari lisan Bu Gen sendiri, betapa beliau banyak belajar dari suaminya, Pak Halilintar.
Jadi, benarlah apa yang selalu dikatakan oleh para pakar parenting, bahwa seorang ibu memang madrasah bagi anak-anaknya, tapi ayah lah yang menjadi kepala madrasah/sekolah. Berhasil tidaknya sebuah sekolah, tergantung kepada kepala sekolahnya. Andai semua laki-laki seperti Pak Halilintar, impian seorang teman, mungkin tak akan ada kenakalan remaja dan berbagai penyimpangan lainnya.
Wallahu a'lam bishawwab.